Nenu loreng weki (bayang - bayang sepanjang badan) ,Nuk loreng mose (Pikiran sepanjang hidup)
(JPS, 10 November 2021).
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki cita-cita. Cita-cita itu umumnya
diungkapkan dalam motto yang tergambar dalam paci / pasi/ rait. Paci
ini sering diungkapkan saat pekikan caci atau ketika
mengeksprersikan diri dalam exorcisme dari suatu tekanan / pembebasan
jiwa dari suatu pergulatan kehidupan. Paci / pasi / rait serentak
mengungkapkan visi kehidupan dalam mana orang menyatakan muatan hidup /
gambaran kekuatan atau kualitas hidupnya yang terungkap secara
simbolis atau metafora. Melalui Paci / pasi / rait orang Manggarai mengekspresikan cita-citanya. Paci misalnya, besi wara, lalong paan:
(besi bara, ayam jantan dari Paan)
(https://vinadigm.wordpress.com/menjajak-hari-demi-hari/menjadi-murid-lagi-bagian-25-surat-cinta-buat-nusantara/); Paci / pasi / rait berciri khas puitik (durit) dan cenderung dihubungkan dengan suku (uku) dan kampung halaman (beo) dan mengungkapkan karakter pemimiliknya, seperti yang tercatat di bawah ini:
- Besi wara lalong Pa'n
- Kala Rengga reba Wela;
- Masyur: Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa
- Sama laki toto ngali agu rani nai
- Jarot labok tana
- Lalong rombeng Keor kole
- Todo Lolo Bali
- Wewa nera ata wela: Fransiskus Jelata
- Motang Rua: Kraeng Guru Rombo Pongkor Ame Numpung
- NGGERANG: Wewa Nera Neteng Beang
- Lomes Panggal: Anak Reba Wangkar
- Surat Edar reba Wesa
- Damar Wulan reban Bulan (desa Bulan, Kec. Lelak, Kab. Manggarai).
Orang Manggarai adalah orang yang mengungkapkan kualitas / keberadaan hidupnya melalui bahasa metafora / simbolis melalui paci.
(JPS, 7 Januari 2015 dan 14 Peb. 2014).
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki bahasa, yakni bahasa Manggarai. Bahasa menujukkan bangsa / suku. Bahasa Manggarai menunjukkan suku bangsa Manggarai. Bahasa Manggarai memiliki 4 kelompok.
P. Jilis Verheijen SVD, antropolog dan
pakar linguistik adalah yang pertama kali membagi wilayah daerah bahasa
Manggarai ke dalam 4 bagian: dialek barat, timur, tengah dan dialek SH.
Di bagian barat ada dialek Kempo, Boleng, Matawae, Welak dan dialek
Komodo di pulau Komodo. Bagian Manggarai tengah menggunakan bahasa
Manggarai “murni” dan dianggap sebagai monodialektis dengan aksen yang
spesifikal sekali. Di bagian timur kita temukan dialek dan bahasa-bahasa
Rongga, Mbaen, Bai’/Toe’, Pae’, Rembong dan Ning, masing-masing dengan
spesifik yang memuat pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah,
seperti Ngada, Nage Keo dan Lio. Dialek SH lebih mengacu kepada
daerah-daerah Kolang, Pacar, Berit, Rego dan Nggalak, di mana huruf “S”
dari bahasa Manggarai diucapkan sebagai “H”. Misalnya: “salang” (jalan)
diucapkan “halang”. Semua bahasa dan dialek di atas memiliki struktur
dan gramatika yang mirip dengan bahasa induk (Manggarai), meskipun
banyak perbedaan dalam kosakata, lafal dan pengucapan. Demikianlah,
bahasa memiliki tiga peranan penting dalam struktur sosial: sebagai
bagian integral dari budaya tersebut, sebagai indeks atau tanda pengenal
dan sebagai simbol ideologi masyarakat. (Willem Berybe: Triple
Manggarai – Three in One, Sir!, dalam http://tombokilo.blogspot.com/2007/12/riple-manggarai-three-in-one-sir.html) (Sumber: https://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/manggarai-dan-dialek-dialeknya/, diakses pada 7 Pebruari 2015, pukul 12:54).
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki daerah real yang diklaim sebagai wilayah yang menjadi kewenangannya berdasarkan limpahan nenek moyang. Ini seacra geografis terbentang dari selat Sape di Barat dan Wae Mokel di Timur Untk letak geografisnya:......
(JPS, 7 Pebruari 2015).
Orang Manggarai adalah orang yang perilakunya kadang kontrakdiktoris: sebagaimana terungkap dalam goet berikut : "tombo eta golo, pande wa ngampeng" ): bicara/ omongnya di bukit /gunung /puncak (tinggi-tinggi / ideal, tapi perbuatan / kelakuan / pelaksanaannya di kedalaman bawah / dasar /. Dengan ini mau dikatakan ada jurang antara kata dan perbuatan, tutur dan tindakan ada gap, jauh panggang dari api.
(JPS, 7 Pebruari 2015).
Orang Manggarai adalah orang yang melihat kematian sebagai hal yang sakral, suci. Atas dasar ini, orang Manggarai pada saat orang meninggal membawa / menyerahkan kain putih (kain bakok / wuwus) sebagai kain untuk menutup jenasah orang yang meninggal. Saat melayat, orang Manggarai membawa kain putih selain uang duka (seng wae lu') dan kelengkapan lainnya.
JPS, 10 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki harapan agar beraksi cepat dalam menunaikan sesuatu. Harapan ini diungkapkan dalam goet: "neka mejeng hese, neka ngonde holes: (jangan lambat berdiri, jangan malas bergerak / menengok / menoleh).
JPS, 14 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang menghendaki pertumbuhan / perkembangan yang lebih baik bagi anak-naknya. Ini terungkap dalam timangan saat setelah mandi. sambil mengajak sang bayi bercakap-cakap sang ibu bertutur: " Wan wae etan ase" ( air turunlah ke bawah, si adik, bertumbuhlah ke atas).
JPS, 21 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang dalam praksis (aksi) mengenal resiprokasi (tindak berbalasan). Hal ini terutama dalam tindakan budaya, misalnya ritual adat, semisal undangan atraksi caci. Bila kampung A mengundang kampung B, maka akan tiba gilirannya kampung B akan mengundang kampung A. Aksi resiprokasi ini tertanam kuat dalam relung hati orang Manggarai. Ingatan ini bersifat kolektif, sehingga kalau belum dibalas, maka akan selalu diingatkan. Tindakan resiprokasi ini menjalar ke banyak hal dalam kegiatan sosial, termasuk dalam pengumpulan dana untuk membiayai sekolah (pesta sekolah), sumbangan kematian / kelahiran / perkawinan. Orang Manggarai sering mengatakannya dalam goet: manga weri manga todo, manga teing, manga tiba (ada masanya untuk menanam, ada masanya untuk menuai; memberi dan menerima). Contoh kasus: undang antar kampung untuk Caci: Wela dengan Lasang; Wela dengan Baru; - Wela - dengan Ngkor; Wela dengan Teras.
JPS, kamar mandi , ingat saat cukur, tunda pulang, tulis refleksi ini dulu 21 Peb. 2015.
JPS, 21 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang mengutamakan nama baik dan kehormatan diri bila berhadaan dengan orang lain. Bila ada tamu yang datang, maka diberikanlah suguhan terbaik meski harus merugi karena berhutang. Kerugian karena berhutang itu disimpan baik - baik. Kerahasiaannya dijaga, tak usah mengeluh karena hal itu, apalagi dibicarakan. Tentang hal ini go'et Manggarai mengungkapkannya dalam tuturan berikut: Toe turas tuda, toe tombol sokol, toe nggaut raung, toe ndekok te selong" ( pinjaman tak diceritakan, kredit tak digembar-gemborkan, kurang tak diomelin, meminjam itu bukanlah dosa). JP, 7 Maret 2015; baru diketik 20 Agustus 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang berpengharapan, berpasrah pada Yang di Atas. Ini terungkap dalam ungkapan keseharian: 'mau toe baeng le Morin (semoga Tuhan berbelas kasih). Sikap pasrah sarat harapan ini merupakan sikap mental yang terbuka terhadap penyelenggaraan ilahi. Hal ini membuat orang Manggarai cepat respon tatkala ada tawaran yang lebih menarik untuk memperbaiki nasib dengan mengandalkan kerendahan hati, kejujuran , mau belajar sebagai modal utama di tengah kondisi ekonomi yang terseret. Mentalitas ini yang mengubah banyak kalangan dari kelas bawah di Manggarai menjadi orang yang sukses, antara lain, meski beranak banyak dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan compang camping tetapi tetap bisa menyekolahkan anak-anak, paling kurang hingga jenjang pendidikan menengah bahkan pendidikan tinggi (universitas). Coba simak keluarga sederhana di kampung yang memiliki 5 hingga 8 anak dengan pekerjaan sebagagai petani, namun bisa mengkuliahkan hampir semua anak-anak. Dalam satu keluarga bisa 3 - 4 orang sarjana. VMG - JPS, 15 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang bangga dengan tanah airnya, Manggarai, apa dan bagaimanapun keadaannya. "Maram ndusuk kiong e...tana ya... tana ru ta ngkiong e....., maram lalen ngkiong e...tana ya... tana mbate ta Ngkiong e..... neka one kuni agu kalo ta Ngkiong...ngkiong e..... (Biar ditumbuhi tumbuhan / kayu Ndusuk - ya Ngkiong itu tetaplah tanah milik, biar ditumbuhi tumbuhan Lale Ngkiong e... tanah kita, tanah warisan bapa, wahai Ngkiong.... wahai Ngkiong. bunyi burung Ngkiong, jangan melupakan dan meninggalkan air (kelahiran) ya Ngkiong...Ngkiong e....
VMG - JPS, 17 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang diharapkan tahu berbalas budi, terutama kepada keluarga (Bapa, mama, om dan tanta serta keluarga inti. Ini diungkapkan dalam nyanyian rakyat, sebagai berikut : "Eme haeng pakem e... anak e... nuk koe amem e..., eme haeng delekm e...anak e... nuk koe endem e..., eme haeng tuna e... anak e..., nuk koe tua's e...., eme haeng ikang e...anak e... nuk koe inang's e....(sekiranya ananda mendapatkan katak, ingatlah ayahmu, sekiranya ananda mendapatkan keberuntungan, ingatlah ibumu, seandainya mendapatkan tuna wahai ananda, ingatlah pamanmu, seandainya mendaptkan ikan wahai ananda, ingatlah tantamu).
Jl. Bulevard - JPS - Harapan Indah - KBT - Stasiun Kranji, di atas Motor, 17 Januari 2015 - jalan ke tempat kuliah - STFD Jakarta.
Orang Manggarai adalah orang yang dalam aktivitasnya ada intensi. Ini terungkap dalam go'et:
Mbeot landing geong//Lako landing lalo ()//Pala landing kesasar (da't)//Sokol landing do'ng//Tuda landing kurang//Selong landing geong; uwa haeng wulang//langkas haeng ntala// lempo haeng leso
JPS, 19 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Dalam pandangan orang Manggarai, jiwa tidak dapat mati. Ada kehidupan setelah kematian. Jiwa itu hidup kekal, abadi. Di sini orang Manggarai percaya akan kelahiran kembali (reinkarnasi). Dalam acara kematian, ada istilah "pedeng bokong". Acara ini dibuat saat lepas pisah jenasah dengan keluarga. Dalam ritus ini, pembaca doa adat menyampaikan tuturan adat bahwa orang yang meninggal janganlah mengambil sendiri harta milik keluarga, misalnya padi di lumbung, tanaman di kebun. Tindakan mengambil sendiri ini bisa berupa aksi binatang seperti tikus, babi hutan, kecoa, dll. Jiwa orang yang meninggal bisa masuk pada binatang -binatang ini untuk merusak harta benda milik bersama. Demi menghindari hal ini, maka saat pedeng bokong (beri bekal), diberikan jatah untuk dia,biar tidak beraksi sendiri dalam rupa tindakan liar binatang - binatang tadi. Selain pemberian "jatah bekal" pada saat lepas pisah dengan jenasah, masih ada acara lain dalam menghormati dan menjalin hubungan dengan orang yang sudah meninggal (leluhur) yakni adak teing hang (ritus pemberian makanan). Ritus ini untuk melanggengkan pola hubungan anatar yang hidup di dunia sini dengan dunia seberang. Dengan melakukan hal ini, roh-roh merasa diperhatikan. Di sini sesungguhnya ada hubungan resiprokal antara manusia dan roh-roh mereka yang sudah meninggal. Keluarga yang hidup untuk mereka, dan mereka (roh-roh) untuk orang hidup. Orang yang hidup membutuhkan kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, umur panjang). Hal-hal ini diharapkan dimintakan leluhur kepada Yang kuasa agar dilimpahkan kepada keluarga yang masih ada di dunia. Sementara, arwah-arwah leluhur mengharapkan perhatian yang tanpa batas dari keluarga yang masih hidup agar mereka tidak kelaparan di sana, tidak "mengemis makanana/ minuman) pada orang lain. Bila mereka lapar, sangat mugkin mereka tak membela keluarga yang masih hidup, malah mencelakakan, misalnya dengan membiarkan sakit bahkan dibuat mati pada saat sedang bayi / kanak-kanak (roe' ngoel, rekok lebo).
JPS, 20 dan 27 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang mau selamat, mau baik. Ini tersirat dalam ungkapan spontan bila ada ancaman,baik fisik maupun kata-kaya yang sijumpainya: "Toe raung ge mori". Ungkapan go'et ini mau menerangkan bahwa apa yang orang ucapkan / atau peristiwa alam yang mengancam yang terjadi menfancam dirinya, misalnya geledakan petir, nyaris terkena pohon tumbang, dll, tsk mau terjadi pada dirinya. Orang (Maggarai) ini mau selamat, aman,
(JPS, 23 Maret 2015) - Terinspirasi dari kisah tombo Nipi diha Sinta - Nipi tentang rowa ended Megy. Nggo' jaong: toe raung ge Mori....
Orang Manggarai adalah orang yang belis (mas kawin) nya cukup mahal. Mas kawin aslinya berupa hewan (kerbau, kuda, babi) dan uang. Namun seiring perkembangan waktu, semuanya diganti dengan uang. Belis perempuan Manggarai sekarang sangat bervariasi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta. Besar kecilnya belis ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya kondisi perekonomian orang tua pengantin perempuan dan laki-laki. Bila orang tua pengantin perempuan merupakan golongan menengah ke atas, maka nilai belisnya besar. Demikian sebaliknya. Selain kondisi sosial pengantin, faktor lainnya adalah pendidikan dan pekerjaan pengantin perempuan. Bila pendidikan tinggi dan kerja elit (guru,perawat/bidan/dokter, PNS) sudah tentu belisnya mahal. (Bdkn http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html). JPS 27 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang melihat alat musik, persisnya gendang sebagai sarana yang memiliki nilai kekuasaan (souverenitas) adat terhadap warganya. Gendang biasanya disimpan di rumah adat (Mbaru Gendang). Gendang memiliki peran sebagai pembawa kebenaran (gendang pande benar), gendang memiliki fungsi untuk membangunkan kesadaran (gendang pande wela), gendang memutuskan penghalang /perintang sehingga orang bisa lewat dengan aman (gendang te retas sengkang mena), gendang berfungsi untuk memerintahkan (gendang te jera) maka jangan takut ( runi tambur: neka rantang kraeng...) untuk melaksanakan perintah dari tokoh adat. Tentang peran gendang sebagai alat untuk membangun kesadaran ini, bisa disimak dalam kisah orang yang hilang karena diculik peri (makhluk halus) di kampung yang dicari dengan menggunakan Gendang. Di Wela, misalnya sekitar tahun 1980 - an, ketika Kraeng Ben Slamat hilang dari rumahnya pada sore / malam hari, orang memutuskan untuk mencari. Geandang sebagai salah satu senjata yang dipakai. Pencarian ke arah hutan. Lampu dibawa dan gendang dibunyikan sambil suara teriakan digemakan untuk memanggilnya. Menjelang pagi, ditemukan di hutan. Dia menjadi sadar dan bisa merespons panggilan. Lalu dia divawa ke rumahnya. Konon, dia dibawa oleh leluhurnya dengan tujuan untuk mengobati matanya yang sedang sakit. Leluhur itu membawanya ke hutan. Keluarga menacari dan membututinya. Leluhurnya takut karena mendengar bunyi. Lalu mereka melepaskan dia di situ. Maka Kraeng Ben Selamat ini berhasil ditemukan lalu dibawa ke rumah. Kisah kedua, Ema tua Kolu. Dia hilang. Lalu dicari dengan membunyikan gendang. Lalu ditemukan di hutan, dekat Wae Sewe, Golowelu, Kuwus.
(Inspirasi dari https://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/sekilas-tentang-disertasi/), JPS, 27 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang diajarkan untuk konsisten, jangan mencla - mencle. Ini sejalan dengan prinsip adat dalam goet : Ipo ata poli wa tana / wancang) toe ngance la'it kole (apa yang sudah diputuskan tak bisa dimentahkan kembali).
JPS, 27 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang melihat dirinya - manusia - sebagai pusat kosmos. Mengapa? Karena posisinya yang berada di tengah (pusat) dalam sistem kehidupan pertanahan (kebun) dan perumahan. Dalam sistem pertanahan (perkebunan) adat (lingko lodok), di pusat (lodok) ditanam kayu Teno. Dalam mitologi, kayu teno itu berasal dari manusia. Konon ada ada keluarga dengan 13 anak. Dari ke 13 anak, 6 orang laki-laki, 6 orang perempuan dan 1 orang banci.Musim lapar tiba. Di sana sini kekurangan makanan. Sang ayah mendapat wahyu dalam mimpi. "Anakmu yang banci hendaklah dibunuh demi menghidupkan yang lain," demikian perintah leluhur kepada sang ayah. Meski berat, perintah leluhur ini harus dijalankan. Anak yang banci ini dibunuh di mezbah batu, lalu dagingyan dicincang lalu disebarkan ke seluruh kebun. Beberapa waktu kemudian muncullah berbagai jenis makanan. Keluarga itu selamat dari krisis pangan. Di dekat batu mezbah itu berdiri kayu Teno. Untuk mengenang dia, dalam adat Manggarai, pemimpin yang mengurus tanah disebut Tua' Teno. Tua Teno punya tugas menghidupkan warga dengan cara membagi tanah seadil-adilnya. Hal ini diungkapkan dalam go'et: Paki gisi arit, singke gisi iret.
Unsur kedua adalah rumah. Dalam sistem pembangunan rumah orang Manggarai, di ujung atas siri bongkok ada gambar kepala manusia dengan tanduk kerbau (lingga). Lingga dan tiang utama rumah (siri bongkok ) masing-masing merupakan simbol laki-laki dan wanita. Tiang utama itu merupakan pusat rumah adat
Manggarai. Dari kedua simbol adat ini tampak bahwa manusia berada di pusat, maka bagi orang Manggarai, manusia adalah pusat kosmos kehidupan.
Selain manusia, sifat kepemimpinan merupkan hal yang sentral. Kepemimpinan memiliki peran sentral bagi orang Manggarai. Orang yang memimpin urusan pertanahan adat disebut tua' teno.
JPS, 9 April 2015, Friday, April 21, 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang dalam menyelesaikan masalah mengenal prinsip sesama mengenal sesama, sehingga bila ada masalah. Ini sama dengan prinsip mencungkil duri dengan duri. Penerapan prinsip ini misalnya bisa ditelisik pada kisah strategi penaklukan Nggerang. Nggerang takluk kalah setelah melalui pendekatan terhadap keluarganya. Keluarga intinya ditekan oleh penguasa Bima. Ayah secara tak sengaja membunuh Nggerang. Nggerang meniggal di tangan ayahnya. Ayah yang mengenal anaknya dipakai untuk menaklukkan Nggerang. Hal yang mirip sama juga terjadi dengan penaklukan Motang Rua oleh Belanda dengan menaklukan (menawan/menyiksa/menangkap) anggota keluarganya. Paman (amang) yang bagitu dikagumi Motang Rua berhasil ditangkap. Penagkapan ini berhasil memancing Motang Rua, pahlawan Manggarai, keluar dari persembunyian di Cunca Lando, Ndoso lalu menyerahkan diri kepada Belanda.
Prinsip di atas berlaku juga ketika mencari orang yang hilang karena dicuri atau diboyong peri (darat). Kisah pencarian orang hilang menggunakan gendang menerangkan hal ini. Kisah Ben Selamat (Emad Tori) dan Emad ....(Ata tua' Kolu) menjelaskan hal ini. Mereka berhasil ditemukan di hutan karena dicari menggunakan gendang. Mengapa Gendang? Gendang asli Manggarai terbuat dari kulit manusia, yakni Nggerang. Nggerang ini keturunan darat. Peri (darat) mengenal sesama peri (darat). Sehingga ketika terjadi kehilangan, gendang dijadikan sebagai senjata ampuh yang dipakai untuk menemukan orang yang diboyong oleh peri (darat).
VMG - JPS,10 April 2015
Orang Manggarai adalah orang yang dalam memiliki prinsip hukum yang melahirkan keadilan, sebagaimana diungkapkan dalam go'et:
Neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Ini adalah prinsip hukum, sekaligus puisi ttg keadilan dalam pergaulan manusia Manggarai yg bersifat universal (Geby Mahal; https://www.facebook.com/notes/agustinus-tetiro/hukum-malu-dan-sastra-esai-untuk-hut-emas-kraeng-gabriel-mahal/785211008229617?pnref=lhc, diakses, 24 April 2015, pkl 22"20).
JPS, 24 April 2015, pkl 22:20
Orang Manggarai adalah orang yang bangga dengan tanah kelahirannya (kuni agu kalo) sehingga dirasa perlu memberikan nama lain, berupakan predikat yang menggambarkan keindahan, estetika. Terhadap tanah Manggarai, diberi predikat " tana (bumi) congka sae". Congka sae merupakan tarian adat di mana menggunakan pakaian adat (songke, bali belo, selendang). Hemat saya, dengan membaptis nama "bumi songka sae"orang Manggarai menggambarkan diri sebagai seniman / seniwati. Selain itu, Manggarai disebut Nuca Lale. Nama ini memang sebutan asli untuk Manggarai. Nuca =pulau, lale = pohon sukun, jadi Nuca Lale artinya pulau sukun.
JPS, 25 April 2015.
Orang Manggarai adalah makhluk sosial. Ikatan kekeluargaan sangat dekat. Cenderung primordial (kekeluargaan /sukuisme). Hal ini ditentukan oleh jargon "ata de ru /dite (dami) - keluarga sendiri / keluarga kami. Ikatan kekeluargaan ini sering dijadikan modal sosial oleh para politisi. Terkadang kekeluargaan pecah karena pilihan politik yang berbeda.
JPS, 25 April 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang menyimbolkan dirinya dengan binatang atau tumbuhan . Simbol binatang misalnya kerbau, musang, tikus, komodo, landak, katak. Dengan tumbuhan misalnya jewawut atau sorgum (mesak,). Berkaitan dengan binatang, kerbau (kaba) menjadi simbol favorit. Ini bisa dilihat dari rumah adat yang di bagian atasnya ada gambar kepala manusia menjunjung lingga (gasing) dan tanduk kerbau. Lingga ini merupakan simbol kelelakian yang dihubungkan dengan tiang utama (siri bongkok) nan koneksi dengan tanah. Siri bongkok itu merupakan simbol wanita. Di sini laki- laki dan wanita menjadi pusat kosmos Manggarai. Dengan simbol ini orang Manggarai digambarkan manusia berotak dan berotot (O2), pemikir dan pekerja. Bukan hanya manusia yang berpikir tetapi sekalian sebagai pekerja. Namun, ada sisi lain, yakni kerakter kerbau yang bergerak lamban, bukan tak mungkin mempengaruhi mentalitas orang Manggarai. Di balik O2 ada L (lamban, lelet). Sebagai pekerja, manusia Manggarai tampak sebagai petarung, tak memilih-milih pekerjaan, kerja kasar sekalipun, sejauh itu halal. Maka tak heran orang Manggarai berpanggang raga menunaikan kerja kasar baik di daerah asal maupun di daerah seberang saat merantau ke berbagai pelosok daerah. Di daerah rantau pekerjaan yang kerap dijabat oleh orang Manggarai adalah sekuriti (keamanan). "Orang Mangarai sebagaimana orang Flores lain kerap berprofesi sebagai 'tentara',' guyon seorang teman asal Jawa. ' Tentara' yang dimaksud di sini adalah satpam (sekuriti). ( VMG - JPS, 16 Juni 2015)
(JPS, 7 Pebruari 2015).
Orang Manggarai adalah orang yang melihat kematian sebagai hal yang sakral, suci. Atas dasar ini, orang Manggarai pada saat orang meninggal membawa / menyerahkan kain putih (kain bakok / wuwus) sebagai kain untuk menutup jenasah orang yang meninggal. Saat melayat, orang Manggarai membawa kain putih selain uang duka (seng wae lu') dan kelengkapan lainnya.
JPS, 10 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki harapan agar beraksi cepat dalam menunaikan sesuatu. Harapan ini diungkapkan dalam goet: "neka mejeng hese, neka ngonde holes: (jangan lambat berdiri, jangan malas bergerak / menengok / menoleh).
JPS, 14 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang menghendaki pertumbuhan / perkembangan yang lebih baik bagi anak-naknya. Ini terungkap dalam timangan saat setelah mandi. sambil mengajak sang bayi bercakap-cakap sang ibu bertutur: " Wan wae etan ase" ( air turunlah ke bawah, si adik, bertumbuhlah ke atas).
JPS, 21 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang dalam praksis (aksi) mengenal resiprokasi (tindak berbalasan). Hal ini terutama dalam tindakan budaya, misalnya ritual adat, semisal undangan atraksi caci. Bila kampung A mengundang kampung B, maka akan tiba gilirannya kampung B akan mengundang kampung A. Aksi resiprokasi ini tertanam kuat dalam relung hati orang Manggarai. Ingatan ini bersifat kolektif, sehingga kalau belum dibalas, maka akan selalu diingatkan. Tindakan resiprokasi ini menjalar ke banyak hal dalam kegiatan sosial, termasuk dalam pengumpulan dana untuk membiayai sekolah (pesta sekolah), sumbangan kematian / kelahiran / perkawinan. Orang Manggarai sering mengatakannya dalam goet: manga weri manga todo, manga teing, manga tiba (ada masanya untuk menanam, ada masanya untuk menuai; memberi dan menerima). Contoh kasus: undang antar kampung untuk Caci: Wela dengan Lasang; Wela dengan Baru; - Wela - dengan Ngkor; Wela dengan Teras.
JPS, kamar mandi , ingat saat cukur, tunda pulang, tulis refleksi ini dulu 21 Peb. 2015.
JPS, 21 Pebruari 2015
Orang Manggarai adalah insan yang mengutamakan nama baik dan kehormatan diri bila berhadaan dengan orang lain. Bila ada tamu yang datang, maka diberikanlah suguhan terbaik meski harus merugi karena berhutang. Kerugian karena berhutang itu disimpan baik - baik. Kerahasiaannya dijaga, tak usah mengeluh karena hal itu, apalagi dibicarakan. Tentang hal ini go'et Manggarai mengungkapkannya dalam tuturan berikut: Toe turas tuda, toe tombol sokol, toe nggaut raung, toe ndekok te selong" ( pinjaman tak diceritakan, kredit tak digembar-gemborkan, kurang tak diomelin, meminjam itu bukanlah dosa). JP, 7 Maret 2015; baru diketik 20 Agustus 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang berpengharapan, berpasrah pada Yang di Atas. Ini terungkap dalam ungkapan keseharian: 'mau toe baeng le Morin (semoga Tuhan berbelas kasih). Sikap pasrah sarat harapan ini merupakan sikap mental yang terbuka terhadap penyelenggaraan ilahi. Hal ini membuat orang Manggarai cepat respon tatkala ada tawaran yang lebih menarik untuk memperbaiki nasib dengan mengandalkan kerendahan hati, kejujuran , mau belajar sebagai modal utama di tengah kondisi ekonomi yang terseret. Mentalitas ini yang mengubah banyak kalangan dari kelas bawah di Manggarai menjadi orang yang sukses, antara lain, meski beranak banyak dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan compang camping tetapi tetap bisa menyekolahkan anak-anak, paling kurang hingga jenjang pendidikan menengah bahkan pendidikan tinggi (universitas). Coba simak keluarga sederhana di kampung yang memiliki 5 hingga 8 anak dengan pekerjaan sebagagai petani, namun bisa mengkuliahkan hampir semua anak-anak. Dalam satu keluarga bisa 3 - 4 orang sarjana. VMG - JPS, 15 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang bangga dengan tanah airnya, Manggarai, apa dan bagaimanapun keadaannya. "Maram ndusuk kiong e...tana ya... tana ru ta ngkiong e....., maram lalen ngkiong e...tana ya... tana mbate ta Ngkiong e..... neka one kuni agu kalo ta Ngkiong...ngkiong e..... (Biar ditumbuhi tumbuhan / kayu Ndusuk - ya Ngkiong itu tetaplah tanah milik, biar ditumbuhi tumbuhan Lale Ngkiong e... tanah kita, tanah warisan bapa, wahai Ngkiong.... wahai Ngkiong. bunyi burung Ngkiong, jangan melupakan dan meninggalkan air (kelahiran) ya Ngkiong...Ngkiong e....
VMG - JPS, 17 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang diharapkan tahu berbalas budi, terutama kepada keluarga (Bapa, mama, om dan tanta serta keluarga inti. Ini diungkapkan dalam nyanyian rakyat, sebagai berikut : "Eme haeng pakem e... anak e... nuk koe amem e..., eme haeng delekm e...anak e... nuk koe endem e..., eme haeng tuna e... anak e..., nuk koe tua's e...., eme haeng ikang e...anak e... nuk koe inang's e....(sekiranya ananda mendapatkan katak, ingatlah ayahmu, sekiranya ananda mendapatkan keberuntungan, ingatlah ibumu, seandainya mendapatkan tuna wahai ananda, ingatlah pamanmu, seandainya mendaptkan ikan wahai ananda, ingatlah tantamu).
Jl. Bulevard - JPS - Harapan Indah - KBT - Stasiun Kranji, di atas Motor, 17 Januari 2015 - jalan ke tempat kuliah - STFD Jakarta.
Orang Manggarai adalah orang yang dalam aktivitasnya ada intensi. Ini terungkap dalam go'et:
Mbeot landing geong//Lako landing lalo ()//Pala landing kesasar (da't)//Sokol landing do'ng//Tuda landing kurang//Selong landing geong; uwa haeng wulang//langkas haeng ntala// lempo haeng leso
JPS, 19 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang percaya akan adanya kehidupan setelah kematian. Dalam pandangan orang Manggarai, jiwa tidak dapat mati. Ada kehidupan setelah kematian. Jiwa itu hidup kekal, abadi. Di sini orang Manggarai percaya akan kelahiran kembali (reinkarnasi). Dalam acara kematian, ada istilah "pedeng bokong". Acara ini dibuat saat lepas pisah jenasah dengan keluarga. Dalam ritus ini, pembaca doa adat menyampaikan tuturan adat bahwa orang yang meninggal janganlah mengambil sendiri harta milik keluarga, misalnya padi di lumbung, tanaman di kebun. Tindakan mengambil sendiri ini bisa berupa aksi binatang seperti tikus, babi hutan, kecoa, dll. Jiwa orang yang meninggal bisa masuk pada binatang -binatang ini untuk merusak harta benda milik bersama. Demi menghindari hal ini, maka saat pedeng bokong (beri bekal), diberikan jatah untuk dia,biar tidak beraksi sendiri dalam rupa tindakan liar binatang - binatang tadi. Selain pemberian "jatah bekal" pada saat lepas pisah dengan jenasah, masih ada acara lain dalam menghormati dan menjalin hubungan dengan orang yang sudah meninggal (leluhur) yakni adak teing hang (ritus pemberian makanan). Ritus ini untuk melanggengkan pola hubungan anatar yang hidup di dunia sini dengan dunia seberang. Dengan melakukan hal ini, roh-roh merasa diperhatikan. Di sini sesungguhnya ada hubungan resiprokal antara manusia dan roh-roh mereka yang sudah meninggal. Keluarga yang hidup untuk mereka, dan mereka (roh-roh) untuk orang hidup. Orang yang hidup membutuhkan kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, umur panjang). Hal-hal ini diharapkan dimintakan leluhur kepada Yang kuasa agar dilimpahkan kepada keluarga yang masih ada di dunia. Sementara, arwah-arwah leluhur mengharapkan perhatian yang tanpa batas dari keluarga yang masih hidup agar mereka tidak kelaparan di sana, tidak "mengemis makanana/ minuman) pada orang lain. Bila mereka lapar, sangat mugkin mereka tak membela keluarga yang masih hidup, malah mencelakakan, misalnya dengan membiarkan sakit bahkan dibuat mati pada saat sedang bayi / kanak-kanak (roe' ngoel, rekok lebo).
JPS, 20 dan 27 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang mau selamat, mau baik. Ini tersirat dalam ungkapan spontan bila ada ancaman,baik fisik maupun kata-kaya yang sijumpainya: "Toe raung ge mori". Ungkapan go'et ini mau menerangkan bahwa apa yang orang ucapkan / atau peristiwa alam yang mengancam yang terjadi menfancam dirinya, misalnya geledakan petir, nyaris terkena pohon tumbang, dll, tsk mau terjadi pada dirinya. Orang (Maggarai) ini mau selamat, aman,
(JPS, 23 Maret 2015) - Terinspirasi dari kisah tombo Nipi diha Sinta - Nipi tentang rowa ended Megy. Nggo' jaong: toe raung ge Mori....
Orang Manggarai adalah orang yang belis (mas kawin) nya cukup mahal. Mas kawin aslinya berupa hewan (kerbau, kuda, babi) dan uang. Namun seiring perkembangan waktu, semuanya diganti dengan uang. Belis perempuan Manggarai sekarang sangat bervariasi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta. Besar kecilnya belis ditentukan oleh beberapa faktor, misalnya kondisi perekonomian orang tua pengantin perempuan dan laki-laki. Bila orang tua pengantin perempuan merupakan golongan menengah ke atas, maka nilai belisnya besar. Demikian sebaliknya. Selain kondisi sosial pengantin, faktor lainnya adalah pendidikan dan pekerjaan pengantin perempuan. Bila pendidikan tinggi dan kerja elit (guru,perawat/bidan/dokter, PNS) sudah tentu belisnya mahal. (Bdkn http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html). JPS 27 Maret 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang melihat alat musik, persisnya gendang sebagai sarana yang memiliki nilai kekuasaan (souverenitas) adat terhadap warganya. Gendang biasanya disimpan di rumah adat (Mbaru Gendang). Gendang memiliki peran sebagai pembawa kebenaran (gendang pande benar), gendang memiliki fungsi untuk membangunkan kesadaran (gendang pande wela), gendang memutuskan penghalang /perintang sehingga orang bisa lewat dengan aman (gendang te retas sengkang mena), gendang berfungsi untuk memerintahkan (gendang te jera) maka jangan takut ( runi tambur: neka rantang kraeng...) untuk melaksanakan perintah dari tokoh adat. Tentang peran gendang sebagai alat untuk membangun kesadaran ini, bisa disimak dalam kisah orang yang hilang karena diculik peri (makhluk halus) di kampung yang dicari dengan menggunakan Gendang. Di Wela, misalnya sekitar tahun 1980 - an, ketika Kraeng Ben Slamat hilang dari rumahnya pada sore / malam hari, orang memutuskan untuk mencari. Geandang sebagai salah satu senjata yang dipakai. Pencarian ke arah hutan. Lampu dibawa dan gendang dibunyikan sambil suara teriakan digemakan untuk memanggilnya. Menjelang pagi, ditemukan di hutan. Dia menjadi sadar dan bisa merespons panggilan. Lalu dia divawa ke rumahnya. Konon, dia dibawa oleh leluhurnya dengan tujuan untuk mengobati matanya yang sedang sakit. Leluhur itu membawanya ke hutan. Keluarga menacari dan membututinya. Leluhurnya takut karena mendengar bunyi. Lalu mereka melepaskan dia di situ. Maka Kraeng Ben Selamat ini berhasil ditemukan lalu dibawa ke rumah. Kisah kedua, Ema tua Kolu. Dia hilang. Lalu dicari dengan membunyikan gendang. Lalu ditemukan di hutan, dekat Wae Sewe, Golowelu, Kuwus.
(Inspirasi dari https://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/sekilas-tentang-disertasi/), JPS, 27 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang diajarkan untuk konsisten, jangan mencla - mencle. Ini sejalan dengan prinsip adat dalam goet : Ipo ata poli wa tana / wancang) toe ngance la'it kole (apa yang sudah diputuskan tak bisa dimentahkan kembali).
JPS, 27 Maret 2015
Orang Manggarai adalah orang yang melihat dirinya - manusia - sebagai pusat kosmos. Mengapa? Karena posisinya yang berada di tengah (pusat) dalam sistem kehidupan pertanahan (kebun) dan perumahan. Dalam sistem pertanahan (perkebunan) adat (lingko lodok), di pusat (lodok) ditanam kayu Teno. Dalam mitologi, kayu teno itu berasal dari manusia. Konon ada ada keluarga dengan 13 anak. Dari ke 13 anak, 6 orang laki-laki, 6 orang perempuan dan 1 orang banci.Musim lapar tiba. Di sana sini kekurangan makanan. Sang ayah mendapat wahyu dalam mimpi. "Anakmu yang banci hendaklah dibunuh demi menghidupkan yang lain," demikian perintah leluhur kepada sang ayah. Meski berat, perintah leluhur ini harus dijalankan. Anak yang banci ini dibunuh di mezbah batu, lalu dagingyan dicincang lalu disebarkan ke seluruh kebun. Beberapa waktu kemudian muncullah berbagai jenis makanan. Keluarga itu selamat dari krisis pangan. Di dekat batu mezbah itu berdiri kayu Teno. Untuk mengenang dia, dalam adat Manggarai, pemimpin yang mengurus tanah disebut Tua' Teno. Tua Teno punya tugas menghidupkan warga dengan cara membagi tanah seadil-adilnya. Hal ini diungkapkan dalam go'et: Paki gisi arit, singke gisi iret.
Unsur kedua adalah rumah. Dalam sistem pembangunan rumah orang Manggarai, di ujung atas siri bongkok ada gambar kepala manusia dengan tanduk kerbau (lingga). Lingga dan tiang utama rumah (siri bongkok ) masing-masing merupakan simbol laki-laki dan wanita. Tiang utama itu merupakan pusat rumah adat
Manggarai. Dari kedua simbol adat ini tampak bahwa manusia berada di pusat, maka bagi orang Manggarai, manusia adalah pusat kosmos kehidupan.
Selain manusia, sifat kepemimpinan merupkan hal yang sentral. Kepemimpinan memiliki peran sentral bagi orang Manggarai. Orang yang memimpin urusan pertanahan adat disebut tua' teno.
JPS, 9 April 2015, Friday, April 21, 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang dalam menyelesaikan masalah mengenal prinsip sesama mengenal sesama, sehingga bila ada masalah. Ini sama dengan prinsip mencungkil duri dengan duri. Penerapan prinsip ini misalnya bisa ditelisik pada kisah strategi penaklukan Nggerang. Nggerang takluk kalah setelah melalui pendekatan terhadap keluarganya. Keluarga intinya ditekan oleh penguasa Bima. Ayah secara tak sengaja membunuh Nggerang. Nggerang meniggal di tangan ayahnya. Ayah yang mengenal anaknya dipakai untuk menaklukkan Nggerang. Hal yang mirip sama juga terjadi dengan penaklukan Motang Rua oleh Belanda dengan menaklukan (menawan/menyiksa/menangkap) anggota keluarganya. Paman (amang) yang bagitu dikagumi Motang Rua berhasil ditangkap. Penagkapan ini berhasil memancing Motang Rua, pahlawan Manggarai, keluar dari persembunyian di Cunca Lando, Ndoso lalu menyerahkan diri kepada Belanda.
Prinsip di atas berlaku juga ketika mencari orang yang hilang karena dicuri atau diboyong peri (darat). Kisah pencarian orang hilang menggunakan gendang menerangkan hal ini. Kisah Ben Selamat (Emad Tori) dan Emad ....(Ata tua' Kolu) menjelaskan hal ini. Mereka berhasil ditemukan di hutan karena dicari menggunakan gendang. Mengapa Gendang? Gendang asli Manggarai terbuat dari kulit manusia, yakni Nggerang. Nggerang ini keturunan darat. Peri (darat) mengenal sesama peri (darat). Sehingga ketika terjadi kehilangan, gendang dijadikan sebagai senjata ampuh yang dipakai untuk menemukan orang yang diboyong oleh peri (darat).
VMG - JPS,10 April 2015
Orang Manggarai adalah orang yang dalam memiliki prinsip hukum yang melahirkan keadilan, sebagaimana diungkapkan dalam go'et:
Neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Ini adalah prinsip hukum, sekaligus puisi ttg keadilan dalam pergaulan manusia Manggarai yg bersifat universal (Geby Mahal; https://www.facebook.com/notes/agustinus-tetiro/hukum-malu-dan-sastra-esai-untuk-hut-emas-kraeng-gabriel-mahal/785211008229617?pnref=lhc, diakses, 24 April 2015, pkl 22"20).
JPS, 24 April 2015, pkl 22:20
Orang Manggarai adalah orang yang bangga dengan tanah kelahirannya (kuni agu kalo) sehingga dirasa perlu memberikan nama lain, berupakan predikat yang menggambarkan keindahan, estetika. Terhadap tanah Manggarai, diberi predikat " tana (bumi) congka sae". Congka sae merupakan tarian adat di mana menggunakan pakaian adat (songke, bali belo, selendang). Hemat saya, dengan membaptis nama "bumi songka sae"orang Manggarai menggambarkan diri sebagai seniman / seniwati. Selain itu, Manggarai disebut Nuca Lale. Nama ini memang sebutan asli untuk Manggarai. Nuca =pulau, lale = pohon sukun, jadi Nuca Lale artinya pulau sukun.
JPS, 25 April 2015.
Orang Manggarai adalah makhluk sosial. Ikatan kekeluargaan sangat dekat. Cenderung primordial (kekeluargaan /sukuisme). Hal ini ditentukan oleh jargon "ata de ru /dite (dami) - keluarga sendiri / keluarga kami. Ikatan kekeluargaan ini sering dijadikan modal sosial oleh para politisi. Terkadang kekeluargaan pecah karena pilihan politik yang berbeda.
JPS, 25 April 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang menyimbolkan dirinya dengan binatang atau tumbuhan . Simbol binatang misalnya kerbau, musang, tikus, komodo, landak, katak. Dengan tumbuhan misalnya jewawut atau sorgum (mesak,). Berkaitan dengan binatang, kerbau (kaba) menjadi simbol favorit. Ini bisa dilihat dari rumah adat yang di bagian atasnya ada gambar kepala manusia menjunjung lingga (gasing) dan tanduk kerbau. Lingga ini merupakan simbol kelelakian yang dihubungkan dengan tiang utama (siri bongkok) nan koneksi dengan tanah. Siri bongkok itu merupakan simbol wanita. Di sini laki- laki dan wanita menjadi pusat kosmos Manggarai. Dengan simbol ini orang Manggarai digambarkan manusia berotak dan berotot (O2), pemikir dan pekerja. Bukan hanya manusia yang berpikir tetapi sekalian sebagai pekerja. Namun, ada sisi lain, yakni kerakter kerbau yang bergerak lamban, bukan tak mungkin mempengaruhi mentalitas orang Manggarai. Di balik O2 ada L (lamban, lelet). Sebagai pekerja, manusia Manggarai tampak sebagai petarung, tak memilih-milih pekerjaan, kerja kasar sekalipun, sejauh itu halal. Maka tak heran orang Manggarai berpanggang raga menunaikan kerja kasar baik di daerah asal maupun di daerah seberang saat merantau ke berbagai pelosok daerah. Di daerah rantau pekerjaan yang kerap dijabat oleh orang Manggarai adalah sekuriti (keamanan). "Orang Mangarai sebagaimana orang Flores lain kerap berprofesi sebagai 'tentara',' guyon seorang teman asal Jawa. ' Tentara' yang dimaksud di sini adalah satpam (sekuriti). ( VMG - JPS, 16 Juni 2015)
Simbol binatang lain yang dipakai orang Manggarai adalah katak (pake), musang (kula), landak (rutung). Lalu simbo tumbuhan, misalnya sorgum (mesak miteng / mesak rajong). Simbol-simbol ini berkaitan dengan totem (seki).
JPS, 1 Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia yang menganut fatalisme, hidup ditentukan oleh nasib (wada). Tentang nasib yang tidak baik orang Manggarai mengkomplain (memprotes) bahkan mengumpatnya seperti dalam tuturan goet berikut: wada puka dana, nasib puka dani (nasib sial). Leluhur Manggarai percaya bahwa nasib orang sudah ditentukan ketika dia masih dalam kandungan ibu. Ketika akan dan sedang mengandung, seorang ibu mendapat mimpi tentang calon janin / bayi dalam kandungannya. Mimpi itu mengisahkan tentang bayi, berupa jenis kelamin, usia, kesehatan, kesejahteraan. Hidup setelah melahirkan hanya perwujudn dari apa yang sudah didesain dalam mimpi. Untuk jenis kelamin, bila mimpinya pergi timba air, pakai tabung bambu (gogong) maka itu anak perempuan, bila mimpi pergi timba air dan ketemu keluarga yang memberi parang, itu tanda bahwa bayi itu laki-laki.
VMG dan JPS, 2Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia yang menganut paham bahwa manusia adalah makhluk biseksual. Keyakinan ini bisa disimak dalam istilah kelahiran: ka'e dan ase (mensia / manusia). Ketika lahir, ada 2 persona yang hadir, yakni yang satu disebut ase / mensia (manusia), bayi manusia, dan satu yang lain disebut kae' / imar (ari-ari). Kae' (ari-ari) selalu berjenis kelamin berlawanan dengan ase (bayi manusia). Bila jenis kelamin bayi laki-laki, maka jenis kelamin kae' adalah perempuan. Demikian sebaliknya, bila bayi manusia berjenis kelamin perempuan, maka kae' berjenis kelamin laki-laki. Hubungan antara bayi dengan kae' sangat dekat. Kae' bisa jadi penyelamat bagi bayi, terutama bila sakit. Perlakuan terhadap kae harus pantas. Kae' biasanya langsung dikuburkan setela proses kelahiran. Biasanya dikuburkan di sekitar rumah. Dalam hubungan selanjutnya, ketika memasuki masa akil baliq hingga dewasa, kae' ini sering muncul dalam bentuk perasaan seksualitas yang kerap ditampilkan dalam peristiwa romantis dalam mimpi yang sering disebut mimpi basah. Laki-laki akan bertemu perempuan idamannya / teman / orang yang pernah dikenal, bahkan mamanya, demikaian juga perempuan bisa ketemu laki-laki idamannya / teman / kenalan bahkan ayahnya. Selain dalam mimpi romantis, biseksualitas hubungan manusia Manggarai bisa ditemukan dalam istilah wina wa untuk laki-laki dan rona wa untuk perempuan. Suasana hati manusia sering dipengaruhi oleh wina wa - rona wa. Wina wa - rona wa adalah pribadi yang lain di alam jiwa, alam bawah sadar. Gagasan wina wa - rona wa, kae, mirip dengan gagasan jiwa (anima - animus) -nya Carl Gustave Jung (lihat: http://noviapiaviapiyuk.blogspot.com/2013/05/teori-kepribadian-menurut-carl-gustav.htmldan http://m-belajar.blogspot.com/2014/06/teori-teori-psikologi-kepribadian-carl.html
JPS, 5 Mei 2015
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki adat istiadat. Berkaitan dengan perkawinan, Orang Manggarai menjunjung tinggi sopan santu, norma-norma kehidupan. Posisi pribadi dalam keluarga / klan (uku / wau') harus benar-benar diperhatikan. Posisi ideal perkawinan adalah perkawinan silang (cross cousin) keturunan saudara dan saudari. Hal ini dalam Bahasa Manggarai disebut tungku. Perkawinan tungku adalah ikatan hidup bersama dalam satu keluarga di mana anak laki-laki saudari menikah dengan anak perempuan dari saudara. Sedapat boleh menghindari penyimpangan (jurak). Jurak adalah perkawinan yang ditabukan, misalnya menikah / kawin dengn keluarga inti (bapa /ibu/ saudari) atau masih denngan anggota keluarga dekat. Hal-hal yang termasuk tabu dalam perkawinan adalah bila kawin dengan ipar, atau dengan tanta. Hal ini disebut dengan "wae'k lewing nare, senteng lewing teneng, rakang lewing hang, sompo lewing lompo" (tarik periuk tanak (masak), membawa periuk tanak, menggotong periuk nasi, mangangka periuk masak / tanak). Hal-hal seperti itu berusaha untuk dihindari.
JPS, 9 Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia binatang. Sebagai manusia Manggarai yang memiliki unsur manusia (laki-laki dan perempuan). Unsur kehewanannya muncul dalam simbol binatang, yakni kerbau (kaba). Apa hanya kerbau sebagai simbol kehewanan manusia Manggarai? Sesungguhnya tidak. Menyelisik adat mahar/ belis (pasa) perkawinan, binatang lain yang bisa menyimbolkan manusia Manggarai adalah babi (ela), sapi (japi) dan kuda (jarang) dan ayam (manuk), kambing (mbe) . Unsur manusia merupakan perpaduan laki-laki (ata rons) dan perempuan. Unsur laki-laki bisa dilihat pada bagian rumah adat. Di bagian ats rumah adat (mbaru gendang / tembong) ada gambar kepala (laki-laki), tanduk kerbau dan alat kelamin laki-laki (lingga). Sebagai penyambung gambar kepala manusia itu menuju ke tanah ada tiang utama, yakni siri bongkok. Siri bongkok itu simbol perempuan. Pada puncak siri bongkok ada gambar kepala manusia yang di atas kepala itu ada lingga (simbol kelamin laki-laki). Jadi manusia manusia ada unsur manusia, sekaligus binatangnya (kerbau). Gambar-gambar itu menunjukkan bahwa manusia Manggarai mengamini apa yang dirumuskankan Aristoteles tentangan manusia sebagai "animal rationale" serentak mengamini manusia sebagai makhuk biseks sebgaimana gagasan Karl Justav Jung: anima - animus (ata rona - ata ine wai). Selain itu, gambar berikut menunjukkan struktur kepemimpinan dalam keluarga Manggarai bahwa laki-laki merupakan kepala rumah Tangga, perempuan sebagai ibu rumah tangga. Gambar tanduk kerbau merupakan simbol kekuatan. Orang manggarai harus tangguh seperti kerbau. Tentu tak luput dari sisi lain (negatif) kerbau, yakni lamban dan tampak malas. Mental negatif ini sudah disadari oleh nenek moyang Manggarai maka leluhur mewariskan ajaran: dua't gula -gula agu we mane-mane (berangkat kerja di pagi hari, pulang ke rumah di kala senja), neka mejeng hese, neka ngonde holes (jangan lamaban untuk berdiri (beraksi), jangan malas mencari akal). Perhatikan gambar berikut.
JPS, Jum'at, 15 dan 22 Mei 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang mengamini bahwa waktu bersifat siklis. Waktu siklis di sini dimaksud sebagai bahwa waktu itu berputar melingkar, pergi tapi akan kembali lagi. Irama hidup orang Manggarai mengikuti perputaran waktu. Ketika pagi tiba, bangun lalu menuju ke tempat kerja. Ketika sore menjemput, bergegas pulang ke rumah untuk bertemua keluarga dan beristirahat. Tatkala musim hujan tiba, orang beramai-ramai menabur benih (padi, jagung, kacang-kacangan), lalu di musim panen siap sibuk mengumpulkan hasil panenan. Peredaran waktu itu ditentukan oleh pergerakan bintang-bintang di langit. Bagi orang Manggarai, ada tiga (3) jenis bintang yang dikenal, yakni: Ntala Mane, Ntala Gewang, Ntala Ros. Ntala Mane adalah bintang sore, muncul pada sore hari ketika matahari terbenam. Ntala Gewang muncul pada subuh, pagi hari. Ntala Ros muncul pada larut malam. Bila Ntala Ros tiba maka itu penanda bahwa musim tanam sudah tiba. Tujuan hidup menurut orang Manggarai adalah meraih impian berupa kesuksesan hidup. Impian itu digantung tinggi-tinggi. Impian yang tinggi itu diibaratkan dengan benda-benda angkasa, terutama bintang (ntala) dan bulan (wulang). Orang Manggarai menggantungkan cita-citanya di langit dan berupaya untuk meraihnya. Hal ini diungkapkan dalam goet: Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala ( bertumbuhlah mencapai bulan, dan tinggilah mencapai bintang). Simbol-simbol idealisme ini diabadikan dalam motif kain adat Manggarai, songke. Dalam songke ada empat (4) motif, yakni: Ntala, Lolo Cumbi, Mata Ntewar, Mata Puni. Motif Ntala melambangkan kehidupan orang Manggarai yang dipengaruhi dan mengikuti petunjuk waktu. Motif lolo cumbi (segitiga) melambangkan relasi manusia berdimensi tiga, yakni: dengan Sang Pencipta, sesama dan alam. Motif Mata Ntewar (ulat sutra) melambangkan kehidupan yang terus diperbarui, ditransformasi. Motif mata puni (belah ketupat) melambangkan sikap mental yang tahan banting, tangguh seperti kerbau, kokoh seperti komodo. (Sumber inspirasi:
Terdiri dari beragam suku: asli (homo florensiensis), Eropa, Mongol, Negroid, Melayu : Bosowa (Sulsel), Minangkabau, Majapahit (Jawa), Sumba, Timor (Beku - suku suka di Wae Rana - Manggarai Timur), Kalimantan (suku .Mengenai asal warga masyarakat Suku Rongga, Kornelia menuturkan,
berdasarkan penuturan nenek moyang Suku Rongga Motu Kaju yang terus
dituturkan kepada anak-anak mereka bahwa keturunan Suku Rongga sub klan
Motu Kaju berasal dari Kalimantan. Dikisahkan dua pasang suami istri
yang berlayar dari Kalimantan dan turun di Pantai Sari Kondo bersama
dengan dua anak bayi. Pasangan ini juga membawa seekor anjing. Saat mereka tiba di Sari Kondo, mereka kesulitan mendapatkan air minum karena
daerah itu merupakan padang savana. Nah, pada suatu pagi mereka melihat
tubuh anjing ini basah kuyup. Suami-istri ini lantas berpikir bagaimana
caranya mengetahui sumber air tersebut. Lantas keduanya menggosok tubuh
anjing dengan abu supaya mereka bisa mengikuti jejak anjing itu. Mereka mengikuti jejak anjing tersebut sampai
berhenti di sumber mata air yakni Wae Motu.
Agustinus Nggose, seorang tokoh masyarakat di Manggarai Timur
menjelaskan, nenek moyang Suku Nggai berasal dari Belu. Dikisahkan
Agustinus, sesuai yang dituturkan nenek moyang mereka, orang Belu
berlayar menuju ke Aimere lalu melanjutkan perjalanan ke wilayah Rajong, Wukir di
Elar Selatan. Dari situ menuju ke Watu Tonda dengan membentuk sebuah
kampung. Kemudian pindah lagi ke Kampung Munde, Desa Komba hingga saat
ini.
JPS, 1 Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia yang menganut fatalisme, hidup ditentukan oleh nasib (wada). Tentang nasib yang tidak baik orang Manggarai mengkomplain (memprotes) bahkan mengumpatnya seperti dalam tuturan goet berikut: wada puka dana, nasib puka dani (nasib sial). Leluhur Manggarai percaya bahwa nasib orang sudah ditentukan ketika dia masih dalam kandungan ibu. Ketika akan dan sedang mengandung, seorang ibu mendapat mimpi tentang calon janin / bayi dalam kandungannya. Mimpi itu mengisahkan tentang bayi, berupa jenis kelamin, usia, kesehatan, kesejahteraan. Hidup setelah melahirkan hanya perwujudn dari apa yang sudah didesain dalam mimpi. Untuk jenis kelamin, bila mimpinya pergi timba air, pakai tabung bambu (gogong) maka itu anak perempuan, bila mimpi pergi timba air dan ketemu keluarga yang memberi parang, itu tanda bahwa bayi itu laki-laki.
VMG dan JPS, 2Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia yang menganut paham bahwa manusia adalah makhluk biseksual. Keyakinan ini bisa disimak dalam istilah kelahiran: ka'e dan ase (mensia / manusia). Ketika lahir, ada 2 persona yang hadir, yakni yang satu disebut ase / mensia (manusia), bayi manusia, dan satu yang lain disebut kae' / imar (ari-ari). Kae' (ari-ari) selalu berjenis kelamin berlawanan dengan ase (bayi manusia). Bila jenis kelamin bayi laki-laki, maka jenis kelamin kae' adalah perempuan. Demikian sebaliknya, bila bayi manusia berjenis kelamin perempuan, maka kae' berjenis kelamin laki-laki. Hubungan antara bayi dengan kae' sangat dekat. Kae' bisa jadi penyelamat bagi bayi, terutama bila sakit. Perlakuan terhadap kae harus pantas. Kae' biasanya langsung dikuburkan setela proses kelahiran. Biasanya dikuburkan di sekitar rumah. Dalam hubungan selanjutnya, ketika memasuki masa akil baliq hingga dewasa, kae' ini sering muncul dalam bentuk perasaan seksualitas yang kerap ditampilkan dalam peristiwa romantis dalam mimpi yang sering disebut mimpi basah. Laki-laki akan bertemu perempuan idamannya / teman / orang yang pernah dikenal, bahkan mamanya, demikaian juga perempuan bisa ketemu laki-laki idamannya / teman / kenalan bahkan ayahnya. Selain dalam mimpi romantis, biseksualitas hubungan manusia Manggarai bisa ditemukan dalam istilah wina wa untuk laki-laki dan rona wa untuk perempuan. Suasana hati manusia sering dipengaruhi oleh wina wa - rona wa. Wina wa - rona wa adalah pribadi yang lain di alam jiwa, alam bawah sadar. Gagasan wina wa - rona wa, kae, mirip dengan gagasan jiwa (anima - animus) -nya Carl Gustave Jung (lihat: http://noviapiaviapiyuk.blogspot.com/2013/05/teori-kepribadian-menurut-carl-gustav.htmldan http://m-belajar.blogspot.com/2014/06/teori-teori-psikologi-kepribadian-carl.html
JPS, 5 Mei 2015
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki adat istiadat. Berkaitan dengan perkawinan, Orang Manggarai menjunjung tinggi sopan santu, norma-norma kehidupan. Posisi pribadi dalam keluarga / klan (uku / wau') harus benar-benar diperhatikan. Posisi ideal perkawinan adalah perkawinan silang (cross cousin) keturunan saudara dan saudari. Hal ini dalam Bahasa Manggarai disebut tungku. Perkawinan tungku adalah ikatan hidup bersama dalam satu keluarga di mana anak laki-laki saudari menikah dengan anak perempuan dari saudara. Sedapat boleh menghindari penyimpangan (jurak). Jurak adalah perkawinan yang ditabukan, misalnya menikah / kawin dengn keluarga inti (bapa /ibu/ saudari) atau masih denngan anggota keluarga dekat. Hal-hal yang termasuk tabu dalam perkawinan adalah bila kawin dengan ipar, atau dengan tanta. Hal ini disebut dengan "wae'k lewing nare, senteng lewing teneng, rakang lewing hang, sompo lewing lompo" (tarik periuk tanak (masak), membawa periuk tanak, menggotong periuk nasi, mangangka periuk masak / tanak). Hal-hal seperti itu berusaha untuk dihindari.
JPS, 9 Mei 2015
Orang Manggarai adalah manusia binatang. Sebagai manusia Manggarai yang memiliki unsur manusia (laki-laki dan perempuan). Unsur kehewanannya muncul dalam simbol binatang, yakni kerbau (kaba). Apa hanya kerbau sebagai simbol kehewanan manusia Manggarai? Sesungguhnya tidak. Menyelisik adat mahar/ belis (pasa) perkawinan, binatang lain yang bisa menyimbolkan manusia Manggarai adalah babi (ela), sapi (japi) dan kuda (jarang) dan ayam (manuk), kambing (mbe) . Unsur manusia merupakan perpaduan laki-laki (ata rons) dan perempuan. Unsur laki-laki bisa dilihat pada bagian rumah adat. Di bagian ats rumah adat (mbaru gendang / tembong) ada gambar kepala (laki-laki), tanduk kerbau dan alat kelamin laki-laki (lingga). Sebagai penyambung gambar kepala manusia itu menuju ke tanah ada tiang utama, yakni siri bongkok. Siri bongkok itu simbol perempuan. Pada puncak siri bongkok ada gambar kepala manusia yang di atas kepala itu ada lingga (simbol kelamin laki-laki). Jadi manusia manusia ada unsur manusia, sekaligus binatangnya (kerbau). Gambar-gambar itu menunjukkan bahwa manusia Manggarai mengamini apa yang dirumuskankan Aristoteles tentangan manusia sebagai "animal rationale" serentak mengamini manusia sebagai makhuk biseks sebgaimana gagasan Karl Justav Jung: anima - animus (ata rona - ata ine wai). Selain itu, gambar berikut menunjukkan struktur kepemimpinan dalam keluarga Manggarai bahwa laki-laki merupakan kepala rumah Tangga, perempuan sebagai ibu rumah tangga. Gambar tanduk kerbau merupakan simbol kekuatan. Orang manggarai harus tangguh seperti kerbau. Tentu tak luput dari sisi lain (negatif) kerbau, yakni lamban dan tampak malas. Mental negatif ini sudah disadari oleh nenek moyang Manggarai maka leluhur mewariskan ajaran: dua't gula -gula agu we mane-mane (berangkat kerja di pagi hari, pulang ke rumah di kala senja), neka mejeng hese, neka ngonde holes (jangan lamaban untuk berdiri (beraksi), jangan malas mencari akal). Perhatikan gambar berikut.
JPS, Jum'at, 15 dan 22 Mei 2015.
Orang Manggarai adalah orang yang mengamini bahwa waktu bersifat siklis. Waktu siklis di sini dimaksud sebagai bahwa waktu itu berputar melingkar, pergi tapi akan kembali lagi. Irama hidup orang Manggarai mengikuti perputaran waktu. Ketika pagi tiba, bangun lalu menuju ke tempat kerja. Ketika sore menjemput, bergegas pulang ke rumah untuk bertemua keluarga dan beristirahat. Tatkala musim hujan tiba, orang beramai-ramai menabur benih (padi, jagung, kacang-kacangan), lalu di musim panen siap sibuk mengumpulkan hasil panenan. Peredaran waktu itu ditentukan oleh pergerakan bintang-bintang di langit. Bagi orang Manggarai, ada tiga (3) jenis bintang yang dikenal, yakni: Ntala Mane, Ntala Gewang, Ntala Ros. Ntala Mane adalah bintang sore, muncul pada sore hari ketika matahari terbenam. Ntala Gewang muncul pada subuh, pagi hari. Ntala Ros muncul pada larut malam. Bila Ntala Ros tiba maka itu penanda bahwa musim tanam sudah tiba. Tujuan hidup menurut orang Manggarai adalah meraih impian berupa kesuksesan hidup. Impian itu digantung tinggi-tinggi. Impian yang tinggi itu diibaratkan dengan benda-benda angkasa, terutama bintang (ntala) dan bulan (wulang). Orang Manggarai menggantungkan cita-citanya di langit dan berupaya untuk meraihnya. Hal ini diungkapkan dalam goet: Uwa haeng wulang, langkas haeng ntala ( bertumbuhlah mencapai bulan, dan tinggilah mencapai bintang). Simbol-simbol idealisme ini diabadikan dalam motif kain adat Manggarai, songke. Dalam songke ada empat (4) motif, yakni: Ntala, Lolo Cumbi, Mata Ntewar, Mata Puni. Motif Ntala melambangkan kehidupan orang Manggarai yang dipengaruhi dan mengikuti petunjuk waktu. Motif lolo cumbi (segitiga) melambangkan relasi manusia berdimensi tiga, yakni: dengan Sang Pencipta, sesama dan alam. Motif Mata Ntewar (ulat sutra) melambangkan kehidupan yang terus diperbarui, ditransformasi. Motif mata puni (belah ketupat) melambangkan sikap mental yang tahan banting, tangguh seperti kerbau, kokoh seperti komodo. (Sumber inspirasi:
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusTerimaksih banyak untuk ilmu pengetahuan khususNya sejarah tentang manggarai.saya pribadi merasa berayukur sudah mengambil bagian dalam membaca artikel ini,dan memperoleh pengetahuan yang sedikit demi sedik paham dengan kebudayaan masyarakat manggarai.semogha semua masyarakat manggarai semakin menyadari akan pentingNya menggalih kembali lebih dalam tentang pengetahuan maupun informasi tentang adat dan istiadat kita khususNya kaum milenial di manggarai.
BalasHapusSaya ingin meminta penjelasan/artikel mengenai keturunan/keluarga pahlawan Motang Rua yang masih hidup sampai saat ini.
BalasHapus