Selasa, 23 Desember 2014

SIAPAKAH ORANG MANGGARAI ITU ---- 2


Nenu loreng  weki (bayang - bayang sepanjang badan) ,Nuk loreng mose (Pikiran  sepanjang hidup)
(JPS, 10 November 2021).


Orang Manggarai adalah  orang yang memiliki cita-cita. Cita-cita itu   umumnya diungkapkan dalam  motto  yang tergambar  dalam paci / pasi/  rait. Paci ini sering diungkapkan  saat pekikan caci  atau  ketika  mengeksprersikan diri dalam  exorcisme dari suatu tekanan / pembebasan  jiwa dari  suatu   pergulatan kehidupan. Paci / pasi / rait  serentak mengungkapkan  visi kehidupan dalam  mana  orang menyatakan  muatan hidup / gambaran kekuatan atau  kualitas  hidupnya yang terungkap secara simbolis  atau metafora. Melalui  Paci / pasi / rait orang Manggarai mengekspresikan cita-citanya. Paci  misalnya,  besi  wara, lalong paan: (besi bara, ayam jantan dari Paan) (https://vinadigm.wordpress.com/menjajak-hari-demi-hari/menjadi-murid-lagi-bagian-25-surat-cinta-buat-nusantara/);  Paci / pasi / rait berciri khas puitik (durit) dan  cenderung dihubungkan dengan suku (uku) dan  kampung halaman (beo) dan mengungkapkan karakter pemimiliknya, seperti yang tercatat di bawah ini: 

  1. Besi wara  lalong Pa'n
  2. Kala Rengga  reba  Wela; 
  3. Masyur: Nera Beang Lehang Tana Bombang Palapa
  4. Sama laki toto  ngali agu rani  nai 
  5. Jarot  labok tana
  6. Lalong rombeng  Keor  kole
  7. Todo Lolo Bali
  8. Wewa  nera  ata wela: Fransiskus Jelata
  9. Motang Rua: Kraeng Guru Rombo Pongkor  Ame Numpung
  10. NGGERANG: Wewa Nera Neteng Beang
  11. Lomes Panggal: Anak Reba Wangkar
  12. Surat  Edar  reba  Wesa
  13. Damar  Wulan  reban  Bulan (desa  Bulan, Kec. Lelak, Kab. Manggarai).





Orang Manggarai adalah  orang yang mengungkapkan kualitas / keberadaan  hidupnya  melalui bahasa  metafora / simbolis melalui  paci.



(JPS, 7 Januari 2015  dan 14 Peb. 2014).

Orang Manggarai adalah  orang yang memiliki bahasa, yakni bahasa Manggarai. Bahasa menujukkan bangsa / suku.  Bahasa Manggarai menunjukkan suku bangsa Manggarai.  Bahasa Manggarai memiliki 4 kelompok.

P. Jilis Verheijen SVD, antropolog dan pakar linguistik adalah yang pertama kali membagi wilayah daerah bahasa Manggarai ke dalam 4 bagian: dialek barat, timur, tengah dan dialek SH. Di bagian barat ada dialek Kempo, Boleng, Matawae, Welak dan dialek Komodo di pulau Komodo. Bagian Manggarai tengah menggunakan bahasa Manggarai “murni” dan dianggap sebagai monodialektis dengan aksen yang spesifikal sekali. Di bagian timur kita temukan dialek dan bahasa-bahasa Rongga, Mbaen, Bai’/Toe’, Pae’, Rembong dan Ning, masing-masing dengan spesifik yang memuat pengaruh besar dari bahasa-bahasa Flores Tengah, seperti Ngada, Nage Keo dan Lio. Dialek SH lebih mengacu kepada daerah-daerah Kolang, Pacar, Berit, Rego dan Nggalak, di mana huruf “S” dari bahasa Manggarai diucapkan sebagai “H”. Misalnya: “salang” (jalan) diucapkan “halang”. Semua bahasa dan dialek di atas memiliki struktur dan gramatika yang mirip dengan bahasa induk (Manggarai), meskipun banyak perbedaan dalam kosakata, lafal dan pengucapan. Demikianlah, bahasa memiliki tiga peranan penting dalam struktur sosial: sebagai bagian integral dari budaya tersebut, sebagai indeks atau tanda pengenal dan sebagai simbol ideologi masyarakat. (Willem Berybe: Triple Manggarai – Three in One, Sir!, dalam http://tombokilo.blogspot.com/2007/12/riple-manggarai-three-in-one-sir.html)  (Sumber: https://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/manggarai-dan-dialek-dialeknya/, diakses pada 7  Pebruari 2015, pukul  12:54).

Orang Manggarai adalah orang yang memiliki  daerah  real yang diklaim sebagai  wilayah  yang menjadi kewenangannya berdasarkan limpahan nenek moyang. Ini  seacra  geografis terbentang  dari selat Sape di Barat dan  Wae Mokel di Timur Untk letak geografisnya:......

(JPS,  7 Pebruari 2015).

Orang Manggarai adalah orang yang  perilakunya kadang  kontrakdiktoris: sebagaimana terungkap dalam  goet  berikut : "tombo eta  golo, pande  wa ngampeng" ): bicara/ omongnya di bukit /gunung /puncak  (tinggi-tinggi / ideal, tapi  perbuatan / kelakuan / pelaksanaannya di  kedalaman bawah / dasar /. Dengan ini mau dikatakan ada jurang  antara  kata  dan perbuatan, tutur  dan  tindakan ada  gap, jauh panggang  dari  api.

(JPS,  7 Pebruari 2015).

Orang Manggarai adalah orang yang melihat  kematian sebagai  hal yang sakral, suci. Atas  dasar  ini, orang Manggarai pada saat orang meninggal membawa / menyerahkan kain putih (kain bakok / wuwus) sebagai  kain untuk menutup jenasah orang yang meninggal. Saat melayat, orang Manggarai membawa kain putih selain uang  duka (seng  wae lu')  dan  kelengkapan  lainnya.

JPS, 10 Pebruari 2015


Orang Manggarai adalah orang yang memiliki harapan agar  beraksi  cepat dalam menunaikan sesuatu. Harapan ini diungkapkan dalam goet:  "neka  mejeng hese, neka  ngonde holes:  (jangan lambat berdiri, jangan malas bergerak / menengok / menoleh).


JPS, 14  Pebruari 2015

Orang  Manggarai  adalah insan yang  menghendaki pertumbuhan / perkembangan  yang  lebih  baik  bagi anak-naknya. Ini terungkap  dalam  timangan  saat  setelah  mandi. sambil   mengajak sang  bayi  bercakap-cakap sang  ibu  bertutur: " Wan  wae  etan  ase" ( air  turunlah ke  bawah, si adik,  bertumbuhlah ke  atas).

JPS,   21  Pebruari 2015

Orang  Manggarai  adalah insan yang dalam praksis (aksi) mengenal  resiprokasi (tindak berbalasan). Hal ini terutama dalam tindakan budaya, misalnya  ritual adat, semisal undangan atraksi  caci. Bila  kampung A  mengundang  kampung  B, maka  akan tiba  gilirannya  kampung  B akan mengundang  kampung A.  Aksi resiprokasi ini tertanam kuat  dalam relung  hati orang Manggarai. Ingatan ini bersifat  kolektif, sehingga  kalau  belum dibalas, maka  akan selalu diingatkan. Tindakan resiprokasi  ini menjalar  ke  banyak hal dalam kegiatan sosial, termasuk dalam pengumpulan dana untuk membiayai sekolah (pesta sekolah),  sumbangan kematian / kelahiran / perkawinan. Orang Manggarai  sering mengatakannya dalam goet:  manga   weri  manga  todo, manga  teing, manga  tiba  (ada masanya untuk  menanam, ada masanya untuk  menuai; memberi  dan  menerima). Contoh  kasus: undang  antar  kampung  untuk Caci:  Wela   dengan  Lasang; Wela  dengan Baru; - Wela - dengan Ngkor; Wela  dengan  Teras.


JPS,  kamar  mandi , ingat  saat  cukur, tunda pulang, tulis  refleksi ini dulu    21 Peb. 2015.
JPS,   21  Pebruari 2015

 Orang Manggarai adalah insan yang mengutamakan nama baik  dan kehormatan diri bila berhadaan dengan orang lain.  Bila ada tamu yang datang, maka diberikanlah suguhan terbaik meski harus  merugi karena  berhutang. Kerugian karena berhutang itu disimpan baik - baik. Kerahasiaannya dijaga, tak usah mengeluh karena hal itu, apalagi dibicarakan. Tentang hal ini go'et Manggarai mengungkapkannya dalam tuturan berikut: Toe   turas  tuda, toe  tombol sokol, toe nggaut  raung, toe ndekok te selong"   ( pinjaman tak diceritakan, kredit  tak digembar-gemborkan, kurang tak diomelin,  meminjam itu bukanlah dosa).  JP, 7   Maret  2015; baru diketik 20 Agustus 2015.



Orang  Manggarai  adalah insan yang berpengharapan,  berpasrah pada Yang di Atas. Ini terungkap dalam  ungkapan keseharian: 'mau toe  baeng  le   Morin (semoga Tuhan berbelas kasih). Sikap pasrah sarat harapan ini  merupakan sikap mental yang terbuka terhadap penyelenggaraan ilahi. Hal ini membuat orang Manggarai  cepat respon tatkala  ada tawaran yang lebih menarik untuk memperbaiki nasib dengan mengandalkan kerendahan hati, kejujuran , mau belajar  sebagai  modal   utama di tengah kondisi ekonomi yang terseret. Mentalitas ini yang mengubah banyak kalangan dari kelas  bawah di Manggarai  menjadi orang  yang sukses, antara  lain, meski beranak banyak  dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan bahkan compang camping tetapi tetap bisa  menyekolahkan anak-anak,  paling kurang   hingga jenjang pendidikan menengah bahkan pendidikan tinggi (universitas). Coba simak keluarga sederhana di kampung yang  memiliki 5 hingga  8 anak  dengan pekerjaan sebagagai petani, namun bisa mengkuliahkan  hampir semua anak-anak. Dalam satu keluarga bisa  3 - 4  orang  sarjana.  VMG - JPS, 15 Maret 2015. 


Orang  Manggarai  adalah insan yang  bangga  dengan  tanah airnya, Manggarai, apa  dan  bagaimanapun keadaannya. "Maram ndusuk  kiong e...tana ya... tana ru  ta  ngkiong e....., maram lalen  ngkiong e...tana ya...  tana  mbate  ta Ngkiong e..... neka  one  kuni agu  kalo ta  Ngkiong...ngkiong  e..... (Biar ditumbuhi tumbuhan / kayu Ndusuk - ya Ngkiong itu tetaplah  tanah milik, biar ditumbuhi tumbuhan Lale Ngkiong e... tanah kita,  tanah warisan bapa, wahai Ngkiong.... wahai Ngkiong. bunyi burung Ngkiong, jangan melupakan dan meninggalkan  air (kelahiran)  ya Ngkiong...Ngkiong e....
VMG - JPS,  17 Maret 2015

Orang Manggarai adalah orang yang diharapkan  tahu berbalas budi, terutama kepada keluarga (Bapa, mama, om dan tanta serta keluarga inti. Ini diungkapkan dalam  nyanyian rakyat, sebagai berikut : "Eme haeng pakem  e... anak e... nuk koe amem e..., eme haeng delekm e...anak e... nuk koe endem  e..., eme haeng tuna e... anak e..., nuk koe tua's e...., eme haeng  ikang e...anak e... nuk koe  inang's  e....(sekiranya ananda mendapatkan katak,  ingatlah  ayahmu, sekiranya  ananda mendapatkan keberuntungan,  ingatlah ibumu, seandainya mendapatkan tuna wahai ananda, ingatlah  pamanmu, seandainya mendaptkan  ikan wahai ananda, ingatlah  tantamu).

Jl. Bulevard - JPS - Harapan Indah - KBT - Stasiun Kranji, di atas Motor,  17 Januari 2015 - jalan ke tempat kuliah - STFD  Jakarta.

Orang Manggarai adalah orang  yang  dalam  aktivitasnya ada  intensi. Ini terungkap dalam go'et:
Mbeot  landing  geong//Lako landing lalo ()//Pala landing kesasar (da't)//Sokol landing do'ng//Tuda landing  kurang//Selong landing geong; uwa  haeng  wulang//langkas  haeng ntala// lempo haeng  leso

JPS, 19 Maret 2015

Orang Manggarai adalah orang  yang percaya  akan adanya kehidupan setelah kematian.  Dalam pandangan orang Manggarai, jiwa  tidak  dapat  mati. Ada kehidupan setelah kematian. Jiwa itu hidup kekal, abadi.  Di sini orang Manggarai percaya akan kelahiran kembali (reinkarnasi). Dalam acara kematian, ada istilah "pedeng bokong". Acara ini dibuat   saat  lepas pisah jenasah dengan keluarga. Dalam ritus ini, pembaca doa adat menyampaikan tuturan adat  bahwa  orang yang meninggal janganlah  mengambil sendiri harta milik keluarga, misalnya padi di lumbung, tanaman di kebun. Tindakan mengambil sendiri ini bisa berupa aksi binatang seperti tikus, babi hutan, kecoa, dll. Jiwa orang yang meninggal bisa  masuk pada binatang -binatang ini  untuk merusak harta benda milik bersama. Demi menghindari hal  ini, maka  saat pedeng  bokong (beri bekal),  diberikan jatah untuk dia,biar  tidak beraksi sendiri dalam rupa tindakan liar binatang - binatang  tadi.  Selain pemberian "jatah bekal" pada saat   lepas  pisah   dengan jenasah, masih ada acara lain dalam menghormati dan menjalin hubungan dengan orang yang sudah meninggal (leluhur)  yakni  adak teing  hang  (ritus  pemberian makanan). Ritus  ini untuk melanggengkan pola hubungan  anatar yang  hidup di dunia sini dengan dunia  seberang. Dengan melakukan hal ini, roh-roh merasa diperhatikan. Di sini sesungguhnya  ada  hubungan resiprokal antara  manusia  dan roh-roh mereka yang  sudah meninggal.  Keluarga yang hidup untuk mereka, dan mereka (roh-roh)  untuk orang  hidup.  Orang  yang  hidup membutuhkan kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, umur panjang). Hal-hal ini diharapkan dimintakan leluhur  kepada Yang  kuasa agar dilimpahkan kepada keluarga  yang  masih ada di dunia. Sementara, arwah-arwah leluhur mengharapkan perhatian yang tanpa batas  dari keluarga  yang masih  hidup agar mereka  tidak kelaparan di sana, tidak "mengemis makanana/ minuman)  pada  orang  lain. Bila mereka  lapar, sangat mugkin mereka tak membela keluarga  yang   masih  hidup, malah mencelakakan, misalnya dengan membiarkan sakit bahkan dibuat  mati   pada  saat  sedang  bayi / kanak-kanak (roe'  ngoel, rekok  lebo). 
JPS, 20 dan 27  Maret 2015.



Orang Manggarai  adalah  orang  yang  mau selamat, mau baik. Ini tersirat dalam ungkapan spontan bila  ada  ancaman,baik fisik maupun kata-kaya  yang  sijumpainya: "Toe  raung  ge  mori".  Ungkapan go'et  ini mau menerangkan bahwa  apa yang orang ucapkan / atau  peristiwa  alam yang mengancam yang terjadi menfancam dirinya, misalnya geledakan petir,  nyaris terkena  pohon tumbang, dll,  tsk  mau terjadi  pada  dirinya. Orang (Maggarai) ini  mau  selamat, aman,

(JPS, 23  Maret 2015) - Terinspirasi dari   kisah   tombo Nipi  diha  Sinta - Nipi tentang  rowa  ended  Megy. Nggo'  jaong: toe  raung  ge Mori....

Orang Manggarai adalah orang yang    belis (mas kawin) nya  cukup  mahal. Mas kawin  aslinya  berupa hewan (kerbau, kuda,  babi) dan uang. Namun seiring perkembangan waktu, semuanya diganti dengan uang. Belis perempuan Manggarai sekarang  sangat bervariasi, mulai dari  puluhan hingga ratusan  juta. Besar kecilnya belis ditentukan oleh beberapa  faktor, misalnya kondisi perekonomian orang  tua pengantin perempuan dan laki-laki. Bila orang tua  pengantin perempuan merupakan golongan menengah ke atas, maka nilai belisnya besar. Demikian sebaliknya. Selain kondisi sosial pengantin, faktor  lainnya adalah  pendidikan dan pekerjaan  pengantin perempuan. Bila  pendidikan tinggi dan kerja  elit (guru,perawat/bidan/dokter, PNS) sudah tentu belisnya  mahal. (Bdkn  http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/25/belis-di-manggarai-flores-barat-504084.html).  JPS 27 Maret 2015.

Orang Manggarai adalah orang yang melihat  alat musik, persisnya gendang  sebagai sarana yang memiliki nilai  kekuasaan (souverenitas) adat terhadap warganya. Gendang  biasanya disimpan di rumah adat (Mbaru Gendang). Gendang memiliki peran sebagai pembawa kebenaran (gendang pande benar), gendang memiliki fungsi untuk membangunkan kesadaran (gendang pande wela), gendang  memutuskan penghalang /perintang sehingga orang bisa  lewat dengan aman (gendang te  retas sengkang mena), gendang berfungsi untuk memerintahkan (gendang te  jera) maka jangan  takut  ( runi tambur: neka rantang kraeng...)  untuk melaksanakan perintah dari tokoh adat. Tentang peran gendang  sebagai alat  untuk membangun kesadaran ini, bisa disimak dalam kisah orang yang hilang karena diculik peri (makhluk halus) di kampung  yang  dicari dengan menggunakan Gendang. Di Wela, misalnya sekitar tahun 1980 - an, ketika  Kraeng  Ben Slamat  hilang  dari  rumahnya pada  sore / malam  hari,  orang memutuskan untuk mencari. Geandang sebagai salah satu senjata yang dipakai. Pencarian ke arah  hutan. Lampu dibawa  dan gendang dibunyikan sambil  suara teriakan digemakan untuk memanggilnya. Menjelang  pagi, ditemukan di hutan. Dia menjadi sadar dan bisa merespons panggilan. Lalu dia divawa ke  rumahnya. Konon, dia dibawa oleh leluhurnya dengan tujuan untuk mengobati matanya yang sedang sakit. Leluhur itu membawanya ke hutan. Keluarga menacari dan membututinya. Leluhurnya takut karena mendengar bunyi.  Lalu mereka  melepaskan dia di situ. Maka Kraeng Ben Selamat ini  berhasil ditemukan  lalu dibawa  ke  rumah. Kisah kedua, Ema tua  Kolu. Dia hilang. Lalu dicari  dengan membunyikan gendang. Lalu ditemukan di  hutan,  dekat  Wae  Sewe, Golowelu, Kuwus. 
(Inspirasi  dari  https://vinadigm.wordpress.com/artikel-artikel-lepas/sekilas-tentang-disertasi/),  JPS, 27 Maret 2015 



Orang Manggarai adalah orang yang diajarkan untuk konsisten, jangan mencla - mencle. Ini sejalan dengan prinsip adat  dalam  goet : Ipo ata  poli wa tana / wancang)  toe  ngance  la'it  kole (apa yang sudah diputuskan tak bisa dimentahkan  kembali).

 JPS, 27 Maret 2015


Orang Manggarai adalah orang yang melihat dirinya - manusia - sebagai pusat kosmos. Mengapa? Karena posisinya yang berada di tengah (pusat) dalam sistem kehidupan  pertanahan (kebun)  dan perumahan. Dalam sistem pertanahan (perkebunan) adat (lingko lodok),  di pusat (lodok) ditanam kayu Teno. Dalam mitologi, kayu teno itu berasal dari manusia. Konon ada  ada keluarga dengan 13 anak. Dari ke  13 anak, 6 orang laki-laki, 6 orang perempuan dan 1 orang banci.Musim lapar tiba. Di sana sini kekurangan makanan. Sang ayah mendapat wahyu dalam mimpi. "Anakmu yang  banci hendaklah dibunuh demi menghidupkan yang lain," demikian perintah leluhur kepada sang ayah. Meski berat, perintah leluhur ini harus dijalankan. Anak yang banci ini dibunuh  di mezbah batu, lalu dagingyan dicincang lalu disebarkan ke seluruh kebun. Beberapa waktu kemudian muncullah berbagai jenis makanan. Keluarga itu selamat dari  krisis pangan. Di dekat batu mezbah itu berdiri kayu Teno.  Untuk mengenang dia, dalam adat Manggarai, pemimpin yang mengurus tanah disebut Tua' Teno. Tua Teno punya tugas menghidupkan warga dengan cara membagi tanah  seadil-adilnya. Hal ini diungkapkan dalam go'et: Paki gisi arit, singke gisi iret. 
Unsur kedua adalah rumah. Dalam sistem pembangunan rumah orang Manggarai, di ujung atas siri bongkok  ada gambar kepala  manusia dengan tanduk kerbau (lingga). Lingga dan  tiang utama rumah (siri bongkok ) masing-masing merupakan  simbol laki-laki  dan wanita. Tiang utama itu merupakan pusat rumah adat
Manggarai. Dari kedua simbol adat ini tampak bahwa  manusia  berada di pusat, maka bagi orang Manggarai, manusia adalah pusat kosmos kehidupan.

Selain manusia, sifat kepemimpinan merupkan hal yang sentral. Kepemimpinan memiliki peran sentral  bagi  orang Manggarai. Orang yang memimpin urusan pertanahan adat disebut  tua'  teno.

JPS, 9 April 2015, Friday, April 21, 2015.


Orang Manggarai adalah orang yang dalam menyelesaikan masalah mengenal prinsip sesama mengenal sesama, sehingga bila ada masalah. Ini sama dengan prinsip  mencungkil duri dengan duri. Penerapan prinsip ini misalnya  bisa ditelisik pada kisah strategi penaklukan Nggerang. Nggerang takluk  kalah setelah melalui pendekatan  terhadap keluarganya. Keluarga intinya ditekan oleh penguasa Bima. Ayah secara tak sengaja membunuh Nggerang. Nggerang meniggal di tangan ayahnya. Ayah yang mengenal anaknya dipakai untuk menaklukkan Nggerang. Hal yang mirip sama  juga terjadi dengan penaklukan Motang Rua oleh Belanda  dengan menaklukan (menawan/menyiksa/menangkap) anggota keluarganya. Paman (amang) yang bagitu dikagumi Motang Rua  berhasil ditangkap. Penagkapan ini berhasil memancing Motang Rua, pahlawan Manggarai,  keluar  dari persembunyian  di Cunca Lando, Ndoso  lalu menyerahkan diri kepada Belanda. 
Prinsip di atas berlaku juga ketika mencari orang yang  hilang karena  dicuri  atau diboyong  peri  (darat). Kisah pencarian orang  hilang menggunakan gendang menerangkan hal ini. Kisah Ben Selamat (Emad Tori) dan Emad ....(Ata  tua' Kolu) menjelaskan hal ini. Mereka berhasil ditemukan  di hutan  karena dicari menggunakan gendang. Mengapa  Gendang? Gendang asli Manggarai terbuat dari kulit manusia, yakni Nggerang. Nggerang ini keturunan  darat. Peri (darat)  mengenal sesama peri  (darat). Sehingga ketika   terjadi kehilangan, gendang dijadikan sebagai senjata ampuh yang dipakai untuk menemukan orang yang diboyong oleh peri (darat). 

VMG - JPS,10  April 2015


Orang Manggarai adalah orang yang dalam memiliki prinsip hukum yang melahirkan keadilan, sebagaimana diungkapkan dalam go'et:
Neka daku ngong data, neka data ngong daku. Eme daku, daku muing. Eme data, data muing. Ini adalah prinsip hukum, sekaligus puisi ttg keadilan dalam pergaulan manusia Manggarai yg bersifat universal (Geby Mahal; https://www.facebook.com/notes/agustinus-tetiro/hukum-malu-dan-sastra-esai-untuk-hut-emas-kraeng-gabriel-mahal/785211008229617?pnref=lhc, diakses, 24 April 2015, pkl 22"20).
JPS,  24 April 2015, pkl 22:20


Orang Manggarai adalah  orang yang bangga dengan  tanah  kelahirannya (kuni agu  kalo)  sehingga dirasa  perlu memberikan nama lain, berupakan  predikat  yang menggambarkan keindahan, estetika. Terhadap tanah Manggarai, diberi predikat " tana  (bumi)  congka sae". Congka  sae merupakan  tarian adat di mana menggunakan pakaian  adat (songke, bali belo, selendang).  Hemat  saya, dengan membaptis  nama "bumi songka sae"orang  Manggarai  menggambarkan diri sebagai  seniman / seniwati. Selain  itu, Manggarai  disebut  Nuca  Lale. Nama  ini memang  sebutan asli untuk Manggarai. Nuca =pulau, lale =  pohon sukun, jadi Nuca Lale artinya  pulau sukun.

JPS, 25 April 2015.

Orang Manggarai adalah makhluk sosial. Ikatan kekeluargaan sangat dekat. Cenderung primordial (kekeluargaan /sukuisme). Hal ini ditentukan oleh  jargon  "ata  de ru /dite   (dami) - keluarga sendiri / keluarga kami.  Ikatan kekeluargaan  ini sering dijadikan  modal sosial   oleh para politisi. Terkadang kekeluargaan  pecah  karena  pilihan  politik  yang  berbeda.

JPS, 25 April 2015.


Orang Manggarai adalah  orang  yang  menyimbolkan dirinya dengan  binatang atau tumbuhan . Simbol binatang misalnya kerbau, musang, tikus, komodo,  landak, katak. Dengan  tumbuhan misalnya  jewawut  atau sorgum (mesak,). Berkaitan dengan   binatang, kerbau (kaba)  menjadi simbol favorit. Ini bisa dilihat dari rumah adat yang di bagian  atasnya ada gambar kepala manusia menjunjung lingga (gasing) dan  tanduk kerbau. Lingga ini   merupakan  simbol kelelakian  yang dihubungkan dengan tiang utama (siri bongkok)  nan koneksi dengan  tanah. Siri bongkok itu merupakan simbol wanita.  Di sini laki- laki  dan  wanita  menjadi  pusat  kosmos Manggarai. Dengan simbol ini orang Manggarai digambarkan manusia berotak dan berotot (O2), pemikir  dan pekerja. Bukan hanya manusia  yang berpikir  tetapi sekalian sebagai pekerja. Namun, ada sisi lain, yakni kerakter kerbau yang bergerak lamban, bukan tak mungkin mempengaruhi mentalitas orang Manggarai. Di balik O2 ada L (lamban, lelet). Sebagai pekerja, manusia Manggarai tampak sebagai petarung, tak memilih-milih pekerjaan, kerja   kasar sekalipun, sejauh itu halal. Maka  tak heran orang Manggarai berpanggang raga menunaikan  kerja  kasar baik di  daerah asal maupun di  daerah seberang saat merantau ke berbagai pelosok  daerah.  Di daerah rantau pekerjaan yang kerap dijabat oleh orang Manggarai adalah sekuriti (keamanan). "Orang Mangarai  sebagaimana orang Flores lain kerap berprofesi sebagai  'tentara','  guyon seorang teman  asal Jawa. ' Tentara' yang  dimaksud di sini adalah  satpam (sekuriti). ( VMG - JPS, 16 Juni 2015)
Simbol binatang lain yang dipakai orang Manggarai adalah katak (pake),  musang (kula), landak (rutung).  Lalu simbo tumbuhan, misalnya  sorgum (mesak miteng / mesak rajong).  Simbol-simbol ini   berkaitan dengan totem (seki) 




JPS, 1 Mei 2015


Orang Manggarai adalah  manusia yang menganut  fatalisme, hidup ditentukan oleh  nasib (wada). Tentang nasib yang tidak baik  orang Manggarai mengkomplain (memprotes) bahkan mengumpatnya   seperti dalam tuturan goet berikut: wada puka dana, nasib puka dani (nasib sial). Leluhur Manggarai percaya bahwa nasib orang sudah ditentukan ketika dia masih dalam kandungan ibu. Ketika  akan dan sedang  mengandung, seorang ibu mendapat mimpi tentang  calon  janin / bayi dalam kandungannya.  Mimpi itu mengisahkan tentang bayi, berupa jenis kelamin,  usia, kesehatan, kesejahteraan. Hidup setelah melahirkan hanya perwujudn dari  apa yang sudah didesain dalam mimpi. Untuk jenis  kelamin, bila mimpinya  pergi timba air, pakai  tabung bambu (gogong) maka itu anak perempuan, bila mimpi pergi timba air dan ketemu keluarga yang memberi parang, itu tanda bahwa bayi itu laki-laki.

VMG  dan  JPS, 2Mei 2015


Orang Manggarai adalah  manusia yang menganut  paham bahwa manusia adalah makhluk biseksual. Keyakinan ini bisa disimak dalam  istilah kelahiran: ka'e  dan ase (mensia / manusia). Ketika lahir, ada 2 persona yang hadir, yakni  yang satu disebut ase / mensia (manusia), bayi manusia, dan satu yang lain disebut kae' / imar (ari-ari). Kae' (ari-ari) selalu berjenis kelamin berlawanan dengan ase (bayi manusia). Bila jenis kelamin bayi laki-laki, maka jenis kelamin  kae' adalah perempuan. Demikian sebaliknya, bila bayi manusia berjenis kelamin perempuan, maka kae' berjenis kelamin laki-laki. Hubungan antara bayi dengan kae' sangat dekat. Kae' bisa jadi penyelamat bagi bayi, terutama bila  sakit. Perlakuan terhadap kae harus  pantas. Kae' biasanya langsung dikuburkan  setela proses kelahiran. Biasanya dikuburkan di sekitar rumah. Dalam hubungan selanjutnya, ketika memasuki masa akil baliq  hingga dewasa, kae' ini sering muncul dalam bentuk perasaan seksualitas yang kerap ditampilkan dalam  peristiwa romantis dalam mimpi yang sering disebut mimpi basah. Laki-laki akan bertemu perempuan idamannya / teman / orang yang pernah dikenal, bahkan mamanya, demikaian juga perempuan bisa ketemu laki-laki idamannya / teman / kenalan bahkan ayahnya. Selain dalam mimpi romantis, biseksualitas hubungan manusia Manggarai bisa ditemukan dalam istilah wina wa untuk laki-laki dan rona wa untuk perempuan. Suasana hati manusia sering dipengaruhi oleh wina wa - rona wa. Wina wa - rona wa adalah pribadi yang lain di alam jiwa, alam bawah sadar. Gagasan  wina wa - rona wa, kae,  mirip dengan gagasan   jiwa (anima - animus) -nya Carl Gustave Jung (lihat: http://noviapiaviapiyuk.blogspot.com/2013/05/teori-kepribadian-menurut-carl-gustav.htmldan http://m-belajar.blogspot.com/2014/06/teori-teori-psikologi-kepribadian-carl.html


JPS, 5 Mei 2015


Orang Manggarai adalah orang yang memiliki adat istiadat.  Berkaitan dengan perkawinan, Orang Manggarai menjunjung tinggi sopan santu, norma-norma kehidupan. Posisi pribadi dalam keluarga / klan (uku / wau') harus benar-benar diperhatikan. Posisi ideal perkawinan adalah  perkawinan silang (cross cousin) keturunan saudara dan saudari. Hal ini dalam Bahasa Manggarai disebut tungku. Perkawinan tungku adalah ikatan hidup bersama dalam satu keluarga di mana anak laki-laki saudari menikah dengan anak perempuan  dari saudara. Sedapat boleh menghindari penyimpangan (jurak). Jurak adalah perkawinan yang ditabukan, misalnya menikah / kawin dengn keluarga inti (bapa /ibu/ saudari) atau masih  denngan anggota keluarga  dekat. Hal-hal yang termasuk tabu dalam perkawinan adalah bila kawin dengan ipar, atau dengan tanta. Hal ini disebut dengan  "wae'k lewing nare, senteng lewing teneng, rakang lewing hang, sompo lewing lompo" (tarik periuk tanak (masak), membawa periuk  tanak, menggotong periuk nasi, mangangka periuk masak / tanak).  Hal-hal seperti itu berusaha untuk dihindari.
JPS, 9 Mei 2015


Orang Manggarai adalah manusia  binatang. Sebagai manusia Manggarai  yang memiliki unsur manusia (laki-laki dan perempuan). Unsur kehewanannya muncul dalam simbol binatang, yakni kerbau (kaba). Apa hanya  kerbau sebagai simbol kehewanan manusia Manggarai?  Sesungguhnya tidak. Menyelisik adat mahar/ belis  (pasa) perkawinan,  binatang  lain yang bisa menyimbolkan manusia Manggarai adalah babi (ela), sapi (japi) dan  kuda (jarang) dan ayam (manuk), kambing (mbe) .    Unsur manusia merupakan perpaduan laki-laki (ata rons) dan perempuan. Unsur laki-laki bisa dilihat pada bagian   rumah adat. Di bagian ats rumah adat (mbaru gendang / tembong) ada gambar kepala (laki-laki), tanduk kerbau  dan alat kelamin laki-laki (lingga). Sebagai  penyambung gambar kepala manusia itu menuju ke tanah ada  tiang  utama, yakni  siri bongkok. Siri bongkok itu simbol perempuan. Pada puncak siri bongkok ada gambar kepala manusia yang di atas kepala itu ada lingga (simbol kelamin laki-laki).  Jadi manusia manusia ada unsur manusia, sekaligus binatangnya (kerbau).  Gambar-gambar itu menunjukkan bahwa  manusia Manggarai  mengamini apa yang dirumuskankan Aristoteles tentangan manusia sebagai "animal rationale"  serentak mengamini manusia sebagai  makhuk biseks sebgaimana gagasan Karl Justav Jung: anima - animus (ata rona - ata ine wai).  Selain itu, gambar berikut menunjukkan struktur kepemimpinan   dalam keluarga Manggarai bahwa laki-laki merupakan kepala rumah Tangga, perempuan sebagai  ibu rumah tangga. Gambar tanduk kerbau  merupakan simbol kekuatan. Orang manggarai harus tangguh seperti kerbau. Tentu tak luput dari sisi lain (negatif) kerbau, yakni  lamban dan tampak malas. Mental negatif ini sudah disadari oleh nenek moyang Manggarai maka leluhur mewariskan ajaran: dua't  gula  -gula agu we mane-mane (berangkat kerja di pagi hari, pulang ke rumah di kala senja), neka mejeng hese, neka ngonde holes (jangan lamaban untuk berdiri (beraksi), jangan malas mencari akal).   Perhatikan gambar berikut.


JPS, Jum'at,  15 dan 22  Mei 2015.

Orang Manggarai adalah orang yang mengamini bahwa waktu bersifat siklis. Waktu siklis di sini dimaksud sebagai bahwa waktu itu berputar melingkar, pergi tapi akan kembali lagi.  Irama hidup orang Manggarai  mengikuti perputaran  waktu. Ketika pagi tiba, bangun lalu menuju ke tempat kerja. Ketika sore  menjemput, bergegas pulang ke rumah untuk bertemua keluarga dan beristirahat. Tatkala musim hujan tiba, orang beramai-ramai menabur benih (padi, jagung, kacang-kacangan), lalu di musim  panen siap sibuk mengumpulkan hasil panenan. Peredaran waktu itu ditentukan  oleh pergerakan bintang-bintang di langit. Bagi orang Manggarai, ada  tiga (3) jenis bintang yang dikenal, yakni: Ntala Mane, Ntala Gewang,  Ntala Ros. Ntala Mane adalah bintang sore, muncul pada sore hari ketika matahari terbenam. Ntala Gewang muncul pada subuh, pagi hari. Ntala Ros muncul pada larut malam. Bila Ntala Ros  tiba maka itu penanda bahwa  musim tanam sudah tiba. Tujuan hidup menurut orang Manggarai adalah meraih impian berupa kesuksesan hidup. Impian itu digantung tinggi-tinggi. Impian yang tinggi itu diibaratkan dengan benda-benda angkasa, terutama  bintang (ntala) dan bulan (wulang). Orang Manggarai menggantungkan cita-citanya di langit  dan berupaya  untuk meraihnya. Hal ini diungkapkan dalam goet: Uwa  haeng  wulang, langkas  haeng ntala ( bertumbuhlah mencapai  bulan,  dan tinggilah mencapai bintang). Simbol-simbol idealisme ini diabadikan dalam motif  kain adat Manggarai,  songke.  Dalam songke ada  empat (4) motif, yakni: Ntala, Lolo Cumbi, Mata Ntewar, Mata Puni. Motif  Ntala  melambangkan kehidupan orang Manggarai yang dipengaruhi dan mengikuti petunjuk waktu. Motif lolo cumbi (segitiga) melambangkan relasi manusia berdimensi tiga, yakni: dengan Sang Pencipta, sesama dan alam. Motif Mata Ntewar (ulat sutra)  melambangkan kehidupan yang terus diperbarui, ditransformasi.   Motif mata puni (belah ketupat) melambangkan sikap mental  yang tahan banting, tangguh seperti kerbau, kokoh seperti komodo. (Sumber inspirasi:
Weta Victor Selamet-Baeng, diakses  dari:https://www.facebook.com/groups/671486879599981/?pnref=lhc, pada 16 Mei 2015, pkl 18:50).
 
JPS, 16 Mei 2015
Orang Manggarai  adalah orang yang terdiri dari perpaduan orang asli dan para pendatang. Orang asli itu bisa ditunjukkan dengan ditemukan Homo Floresiensis di Liang Bua, kecamatan  Rahong Utara (?), Manggarai.  Berdasarkan  penelitian,  Homo Florensiensis ini hidup  belasan ribu tahun yang lalu  (dating from 38,000 to 13,000 years ago).
Tentang ini, Wikipedia mencatat:
 The specimens were discovered on the Indonesian island of Flores in 2003 by a joint Australian-Indonesian team of archaeologists looking for evidence of the original human migration of Homo sapiens from Asia to Australia.[1][3] They were not expecting to find a new species, and were surprised at the recovery of a nearly complete skeleton of a hominin they dubbed LB1 because it was unearthed inside the Liang Bua Cave. Subsequent excavations recovered seven additional skeletons, dating from 38,000 to 13,000 years ago.[2] An arm bone provisionally assigned to H. floresiensis is about 74,000 years old. The specimens are not fossilized and have been described as having "the consistency of wet blotting paper"; once exposed, the bones had to be left to dry before they could be dug up.[18][19]  (http://en.wikipedia.org/wiki/Homo_floresiensis).

  Selain orang asli (Homo Florensiensis), orang Manggarai  juga merupakan pendatang  dari berbagai suku bangsa di dunia. Orang Manggarai sebagai kaum imigran berasal dari Eropa, terutama Turki. Mengapa sampai orang Turki sampai di Manggarai?  Orang Turki sampai di Manggarai secara tak sengaja dengan adanya pasukan angkalan laut Turki (Otoman) yang datang ke Aceh dalam rangka membela  Kesultanan Aceh yang kedaulatannya terancam oleh Portugis. Kesultenan Aceh meminta bantuan kepada  Otoman di Turki  sebagai sesama kerjaan Muslim. Otoman Turki mengirim 200 perahu  yang  memuat  pasukan bantuan. Dalam perjalanan menuju Aceh, tak semua perahu tiba di tempat tujuan, Aceh.Ada yang terdampar di lain tempat, termasuk  terdampar di  pantai di Manggarai, yakni di Nanga Rawa - Kisol - Borong, Manggarai Timur. Konon, salah satu nama  mereka yang terdampar di Nanga Rawa itu adalah Jermelo. Jermelo inilah yang menjadi cikal bakal orang-orang Manggarai yang nama belakangnnya dimulai dengan Je, misalnya Jelatu, Jemau, Jemparus, Jeratu, Jemahu, Jelalu, dll. 
Selain dari Eropa, pendatang lain yang menuju Manggarai berasal dari Minangkabau, Sumatra Barat.  Mereka mendarat di Werloka - Komodo, Manggarai  Barat.   lalu masuk dan menyebar  ke seluruh Manggarai. Tokoh  dari Minangkabau di Manggarai dikenal dengan nama Masyur. Keturunan Masyur  ada di Todo, Wae Rebo, Pongkor  dan  Manus, dan bagian lain di Manggarai.  Pendatang lainnya  berasal dari  Sulawesi Selatan (Bone, Sopeng, Wajo, Luwu). Mereka mendarat di pantai-pantai di Manggarai seperti di Bari (Berit), Reo, Pota.  Mereka yang mengaku keturunan Makasar mendiami Reo, Pota, Cibal, Lamaleda dan juga  beberapa suku di Kecamatan Ruteng, seperti seperti suku Maras Welo  yang tersebar di Wela, Sano / Goloworok, Senda - Lewur, Sama, Coal, juga mereka yang tinggal di Karot (Lelak)   / Rego (Masang Pacar).
Masih ada  lagi pendatang lain yang masuk ke Manggarai yakni suku Jawa. Konon, ketika kerajaan Majapahit berkuasa, ada ekspedisi ke Flores, terutama ke Manggarai. Sebagai kenang-kenangan, maka beberapa  tempat di  Manggarai diberi nama seperti tempat di Jawa, misalnya, Rana Kuleng (  Kuleng dekat dengan kata Kulan di Jawa, seperti Kulon Progo), selain itu ada jenis sayuran yang diberi nama Jawa, misalnya  mentimun Jawa (Timung Jawa), Benteng Jawa (ibu kota kecamatan Lambaleda - Manggarai Timur), sama  dengan nama  Jawa. Di Narang  Todo, ada  kisah bahwa seorang perempuan Jawa, Mbadu  menikah dengan lelaki Todo yang bernama Kode Rae Radi Ngampang Bali.
Selain itu ada juga pendatang  dari Sumba. Mereka menghuni kawasan Kempo, Lembor. Selain itu ada juga yang berasal dari Timor. Mereka  tinggal di  daerah Wae Rana.
Itu beberapa informasi tentang  keberagaman asal orang Manggarai. Pembauran melalui perkawinan menghasilkan manusia Manggarai  sekarang ini.
JPS,  23 Mei 2015.
Orang Manggarai adalah insan  berusaha realistis dengan kenyataan. Untuk maksud itu diharapkan setiap orang tahu diri. Bila ada yang tidak tahu atau lupa diri maka akan ditegur dan dikata-katai dengan ucapan berikut: "Malon magot lempa kendong"Go'et ini mengajarkan orang untuk mawas diri.  Go'et ini terkesan sinis yang sarkas. Kerap mematikan semangat dan menciutkan mental.  Bila dimaknai secara positif, ungkapan ini sebenarnya suatu cambuk untuk bangkit  memberikan yang terbaik dan berjuang secara maksimal.
Bekasi - Harapan Indah - KBT - Stasiun Cakung - Kramat, 28 Mei 2015, JPS, 29 Mei 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang menghendaki dan mengharapakn pertumbuhan yang muda. Ini terungkap dalam go'et saat memandikan  anak kecil (bayi). Go'et itu adalah: "Wan wae, etan ase"  (Air ke bawah, adik ke atas). Ini menyiratkan harapan kaum tua akan pertumbuhan dan perkembangan bagi yang  muda. 
 
JPS, 29 Mei 2015
 
Orang Manggarai adalah:
Punya impian: uwa haeng wulang  langkas  haeng ntala
Biseks - kae / imar (ari-ari)  - agu  ase (mensia) - bdkn  konsep Carl Gustave Jung: anima - animus. Biseks ini  ada dalam siri bongkok. Siri bongkok (inewai) yang di - ngando - nya ada  laki-laki (gambar manusia  dengan  lingga (seperti  gasing (mangka) ). Tapi itu sebenarnya  metaforea untuk alat kelamin pria.
Manusia  sebagai pusat kehidupan - Lingko   (lodok - sising)
Hutan (gunung) dan kampung ada hubungan ibarat  anak rona - anak wina
Terdiri dari beragam suku: asli (homo florensiensis), Eropa, Mongol, Negroid, Melayu : Bosowa (Sulsel), Minangkabau, Majapahit (Jawa), Sumba, Timor (Beku - suku suka di Wae Rana - Manggarai Timur), Kalimantan (suku .Mengenai asal warga masyarakat Suku Rongga, Kornelia menuturkan, berdasarkan penuturan nenek moyang Suku Rongga Motu Kaju yang terus dituturkan kepada anak-anak mereka bahwa keturunan Suku Rongga sub klan Motu Kaju berasal dari Kalimantan. Dikisahkan dua pasang suami istri yang berlayar dari Kalimantan dan turun di Pantai Sari Kondo bersama dengan dua anak bayi. Pasangan ini juga membawa seekor anjing.  Saat mereka tiba di Sari Kondo, mereka kesulitan mendapatkan  air minum karena  daerah itu merupakan  padang savana. Nah, pada suatu pagi mereka melihat tubuh anjing ini basah kuyup. Suami-istri ini lantas berpikir bagaimana caranya mengetahui sumber air tersebut. Lantas keduanya menggosok tubuh anjing dengan abu supaya mereka bisa mengikuti  jejak anjing itu. Mereka mengikuti  jejak anjing tersebut sampai berhenti di sumber mata air yakni  Wae Motu.

Hingga saat ini bukti sejarahnya masih ada di sumber mata air Wae Motu di Kelurahan Watu Nggene. Buktinya adalah mata air dan batu megalitik yang masih ada sampai sekarang.
Untuk diketahui bahwa asal usul keturunan orang Manggarai sangat bervariasi, seperti di wilayah Kolang berasal dari Minangkabau, wilayah Cibal juga dari Minangkabau, wilayah Todo dan sekitarnya nenek moyangnya berasal dari Gowa bercampur dengan Minangkabau sedangkan beberapa suku kecil di Manggarai Raya ada yang berasal dari keturunan Belu.
Agustinus Nggose, seorang tokoh masyarakat di Manggarai Timur menjelaskan, nenek moyang Suku Nggai berasal dari Belu. Dikisahkan Agustinus, sesuai yang dituturkan nenek moyang mereka, orang Belu berlayar menuju ke Aimere lalu melanjutkan  perjalanan  ke wilayah Rajong, Wukir di Elar Selatan. Dari situ menuju ke Watu Tonda dengan membentuk sebuah kampung. Kemudian pindah lagi ke Kampung Munde, Desa Komba hingga saat ini.

"Jadi asal usul nenek moyang orang Manggarai Raya sangat bervariasi, boleh dikata berasal  dari seluruh Nusantara.
(sumber: http://travel.kompas.com/read/2014/12/07/094800427/Menarilah.Bersama.Penari.Vera.di.Flores.
Banyak menggunakan bahasa metafora:  misalnya,  babi (ela) sebagai simbol perempuan. Gong gendang simbol perempuan, pasi / langgor simbol laki-laki.   (JPS, 7  n 8 Juni Juni 2015)
Kadang berpikir komunal (sosialis). Ada rasa memilki terhadap komunitas. Apa yang menjadi milik suku /kampung  menjadi miliknya. Berbicara soal kampung berarti membincangkan manusia, tanah, harta, hewan - ternak - lingkungan. Ada sikap posesif terhadap hal-hal itu.  Sisi negatifnya  adalah terkadang  bisa melanggar kewenangan (privasi) anggota keluarga  lain. Pada zaman  dulu, dalam konteks hubungan dengan manusia, tujuan hidup manusia adalah untuk meregenerasikan keturunan. Bila dalam  suku / klan (panga) belum ada keturunan dan saudaranya meninggal dan mewariskan istri maka  bila  ada suadara  lain bisa  kawin dengan istri saudara itu. Ini yang disebut lili luang. Tujuannya selain untuk meawiskan dan menjaga anak-anak juga untuk menjaga  tradisi  dan properti (hewan ternak, rumah, tanah, dll).
Orang Manggarai  percaya akan determinasi (fatalisme). Determinasi percaya bahwa hidup ini sudah ditentukan (diatur) oleh penguasa (Tuhan)  atau dewa sebelum seseorang dilahirkan. Determinasi ini sudah ditentukan baik soal jenis kelamin, umur, dan peruntungan (kaya atau miskin), kesehatan, perjodohan. Untuk soal jenis kelamin sudah ditentukan /diketahui  saat mimpi orang tua / keluarga saat seseorang sedang dikandung ibu. Biasanya mimpi tentang  air (timba air), dll. Untuk soal umur,  dalam kisah leluhur,  konon  begitu seseorang dilahirkan, sang dewata (Tuhan) memberikan kepadanya  air dalam wadah tempurung kelapa. Ukuran wadah tempurung kelapa dan  volume air di dalamnya  merepresentasikan panjang / pandeknya  usia yang empunya. Bila dianugerahi tempurung kelapa yang besar dengan volume air yang banyak, maka orang itu  akan berusia panjang, sebaliknya bila  tempurungnya kecil dan volume airnya sedikit  maka  orang itu berusia pendek. Orang yang bernasib tidak baik tentu sangat menyanyangkan  hal ini bahkan mengumpatnya sebagaimana  tersirat dalam ungkapan adat (go'et) Manggarai  berikut: nasib puka dani, wada puka dana.(nasib sial/malang).
Orang Manggarai percaya bahwa  rumah merupakan simbol manusia . Tiang pancang (siri bongkok) rumah adat merupakan  perpaduan wanita dengan laki-laki.  Wanita di bawah, laki-laki di atas.  (JPS,  10 Juni 2015.)
Orang Manggarai  adalah orang yang diharapkan bisa bergerak cepat,  lincah, cekatan  dalam melakukan sesuatu. "Neka mejeng hese, neka ngonde holes" (jangan lambat berdiri, jangan  malas menoleh (berstrategi, bertaktik). "Paka dengka agu dangka  nai ( hati harus lincah dan  kreatif).  (JPS,  11 Juni 2015.
Orang Manggarai  adalah insan yang mengajarkan dualitas dalam kosmologi kehidupan.  Dualitas itu sekaligus menggambarkan pembagian kewenangan tugas kehidupan bahwasanya perempuan (istri)  mengurusi rumah  dan laki-laki (suami) mengurusi  kebun. Hal ini diungkapkan dalam dalam go'et: gendang one lingko peang (genderang di dalam, kebun komunal di luar). Perempauan (Ibu)  mengurusi rumah,  laki-laki (ayah) mengurusi kebun. Perempuan  bertugas di dalam (rumah) / domistik   dan    Laki-laki bertugas di luar, di kebun. (JPS, 13 Juni 2015). Pembagaian  tegas akan tugas laki-laki dan perempuan ini, bisa dilihat secara  tegas dalam situasi khusus, persisinya, saat perang antara kampung dalam memperebutkan  tanah ulayat. Saat perang memperebutkan tanah ini (sampang tana) kaum  laki-laki berperang di tanah sengketa, perempuan  berkumpul menjaga rumah  adat (rumah gendang/ tembong).  Biasanya pihak yang menang perang di tanah sengketa akan melakukan penyerangan lanjutan ke kampung lawan. Saat itu kampung dijaga para perempuan. Para perempuan akan berjuang mati-matian mempertahankan kampung (rumah), terutama rumah adat. Mereka akan menghalang-halangi  musuh untuk masuk dan mengusasi kampung. Dalam beberapa perang tanding di Manggarai, konon, ada perempuan yang sampai telanjang  dalam  upaya agar  kampung (rumah, terutama rumah adat) jangan sampai dibakar atau dihancurkan. Mengapa sampai mereka melakukan hal itu? Karena bagi perempuan, rumah / kampung adalah  simbol dirinya. Sementara untuk  kebun (tanah) adalah  simbol laki-laki.
Dalam kaitan dengan peran gendang, ada kenyataan di kampung tertentu bahwa  ketika seorang tetua adat meninggal, ditabuhkan genderang (tambor)  saat beliau dibaringkan di pelataran rumah adat.  Bagaimana menjelaskan fenomena ini, bukankah kematian adalah pesta duka cita sementara bebunyian genderang adalah ungkapan sukacita? Apa maksud bunyi genderang itu? Bunyi genderang itu (tambur)   merupakan   mars dan himne  untuk mengenang dan mengantar  beliau selaku pemimpin kampung, pemimpin semua orang ke alam (dunia)  seberang, ke dalam tanah (kubur) / boa. Beliau telah menjadi "suami" bagi kampung (rumah gendang)  dan  bagi semua warga yang dipimpinnya. Maka   bunyi genderang merupakan mars dan himne untuknya sebagai ungkapan  penghormatan  kepadanya atas jasa-jasanya serta dukungan baginya  ketika berangkat menuju dunia seberang. Di tahun 1980 - an, di Wela, Cancar Manggarai, Flores pernah melakukan hal ini. Ketika Aji (keturunan suku  Maras Welo,  suku pendiri kampung Wela) meninggal, dilakukan tabuhan genderang. Jenis irama  gendang yang dibunyikan saat itu adalah tambur. Kraeng Satnis Nami (sekarang  almarhum) yang menambuhkan genderang (paki tambur).
Masih dalam kaitan dengan   gendang,  ketika  ada orang yang hilang - terutama diduga karena dibawa lari oleh makhluk halus ( wendo le darat), untuk menemukannnya  maka dicari sambil  membunyikan gendang? Mengapa demikian?  Ini ada kaitannya dengan kisah Nggerang,  perempuan blasteran manusia dan makhluk halus /  peri  (darat) yang dibunuh dan kulitnya dibuatkan gendang. Gendang sebagai  perempuan (bagaian dari Nggerang) mengetahaui ikhwal  dunia roh (peri) maka di sini berlaku prinsip: sesama mengenal sesama. Itulah triknya (sungke). Bunyi mars gendereang  menggentarkan makhluk halus (darat) sehingga mereka melepaskan  orang yang mereka kurung (sembunyi). Kasus pencarian manusia hilang menggunakan gendang ini pernah terjadi di Wela, Cancar, Ruteng, Manggarai. Penulis mengingat  pencarian Ben Slamat (Emad Tori) yang hilang menjelang malam, saat tidur sore. Saat itu, di tahun 1980-an,  dia istirahat. Dia menderita sakit mata. Dia tidur sore. Dalam mimpinya, dia diajak oleh leluhurnya ke tempat pengobatan matanya. Mereka berjalan dalam "dunia"  yang lain. Sementara itu dalam dunia manusia, keluarga mencarinya untuk makan malam. Anaknya menuju ke kmar tidur untuk  membangunkannya tapi...dia tak ada di kamar. Tanya tetangga rumah bahkan warga kampung tak ada. Disimpulkan bahwa dibawa lari makhluk halus /peri (darat). Untuk memastikannya maka dilakukan  ritus adat  wada nampo. Biasanya telur dipakai untuk maksud ini. Doa dilakukan oleh tetua adat atau dukun. Bila ritus adat itu mengindikasikan kebenaran dugaan dibawa lari oleh peri, maka  dilakukanlah upaya penyelamatan yakni mencari sambil membunyikan  gendang. Hal yang  sama dilakukan saat mencari Ben Slamat ini. Warga laki-laki dewasa  mencari malam-malam berdasarkan petunjuk dukun. Mereka mencari ke arah hutan/ mata air / danau. Saat itu arah pencarian adalah  ke arah timur, di hutan wae Siar / Wae Usang. Benar, Ben Selmat  didapatkan (dijumpai)  di hutan Wae Siar (/). Menjelang pagi, dia ditemukan.  
Kasus kedua, menimpa kakek Kolu (Emad ........). Kasus  hampir sama dengan Ben Slamat, dalam soal mimpi  diajak oleh leluhur  ke suatu tempat. Kakek  Kolu  berjalan ke arah  Selatan Barat Daya kampung. Warga mencarinay menggunakan  gendang dan berhasil ditemukan di  dekat Wae Sewe, Golowelu, Kuwus. (JPS, 13 Juni 2015 - hari Wisuda TK-SMA JPS, T.A. 2014/2015).
Orang Manggarai adalah orang yang diam aktif. Dalam diam  mengamati, mencermati situasi  lalu melakukan sesuatu.Ini yang orang sebut  diam menyimak.  Dalam diam berlangsung kegiatan berpikir lalu melakukan sesuatu. Ini mirip yang dilakukan  oleh ora (komodo) yang menjadi saudari dalam mitos Putri Naga Komodo.   VMG  13 Juni 2015, JPS 14 Jni 2015. 
 Orang Manggarai adalah orang yang melihat pengalaman (dunia) empiris sebagai hal yang relatif ( the emperical world is unreal or illusory). Suatu kriteria bernilai relatif, tergantung cara pandang. Ambil contoh. Dalam berbagai kisah (nunduk)  bahwa sesuatu yang tidak penting bagi manusia tapi ternyata penting bagi yang bukan manusia, terutama peri (makhluk halus). Apa contohnya? Contohnya asu nggowe ( asu de poti). Bagi manusia  itu  sebagai hal yang remeh temeh. Ternyata bagi peri (darat) itu sangat berarti, ibarat anjing  bagi manusia. Kisah negosiasi pembuatan beberapa  situs bersejarah, misalnya Compang, terutama  compang Pacar  sebagai contoh menjelaskan prinsip relativitas  di atas. Compang  Pacar konon dibuat oleh peri  dalam  waktu semalam. Tidak  tuntas  karena  ada  hal yang dilanggar oleh pihak manusia yang  mengadakan perjanjian dengan peri (darat) saat  itu.  Sikap relativitas ini  dalam hidup harian bisa ditemukan pada orang yang  agak cuek , tidak percaya  terhadap  segala sesuatu. Sikap ini dalam bahasa  Manggarai  disebut kembeleis,  kembeleja, mbéis, . Ini yang kemudian melahirkan mental kembeleis, segala sesuatu  diacuhkan, meski  hal penting sekalipun.
VMG -  JPS, 14 Juni 2015. 
Orang Manggarai adalah orang yang kalau memberikan   kritikan  tak  formal. Dalam hal yang serius ada  hal yang sepele, dalam hal yang sepele ada  hal yang serius: ba  le  jopak  jepek, ba le  jepek  jopak ( dalam candaan ada hal yang benar, dalam hal yang serius   ada unsur candaan). Kritikan-kitikan biasanya  ada  dalam urung  pendapat, dalam  siatuasi sentilan-sentilan  tanggapan dan usulan sebagaimana  dalam  go'et: sisa de  lipang, jangka de balak (tanggapan si lipang dan  sanggapan / usulan si ..  / tokek.....(balak) -----VMG -  JPS, 14 Juni 2015. 
Orang Manggarai adalah orang yang kalau memberi  mengharapkan  balasan. "Memberi  agar diberi"  (Teing  kudut  tong). Dalam berbagai kegiatan orang Manggarai cenderung  menyataakan harapan ini, misalnya  dalam beragam acara  adat. Bisa suatu kampung mengundang  orang kampung lain untuk  mengikuti acara penting,  ada harapan bahwa suatu saat mereka  diundang  sebagai balasan atas  undangan terhahulu. Demikian  juga dalam soal  urusan pengumpulan dana untuk  urusan perkawinan (kumpul kope). Orang lakukan itu agar  suatu saat  orang  lain juga  datang  pada saat  dia  menikah. (JPS, 16 Juni 2015).
  Orang Manggarai adalah  insan yang berjudi  bila  ada   kesempatan, terutama saat mete orang meninggal. Judi malah menjadi salah satu jalan untuk mendapatkan uang untuk beli gula / kopi. Ada persen yang dijatahkan kepada  keluarga berduka dari setiap  sesi permainan judi.  (JPS, 20 Agustus 2015)