Jumat, 04 September 2015

ARTI KAMPUNG: BETONG - PERING - BELANG - HELUNG

ARTI KAMPUNG: BETONG - PERING - BELANG - HELUNG

Ada kampung  Betong  di desa Golo Ketak (?) - Boleng, Manggarai Barat.
Ada kampung  Belang  di desa Golo  Lalong - Borong , Manggarai Timur.
Ada kelompok Belang Lesa di Wela - Cancar - Manggarai
Ada kampung  Pering di desa Gelong (? / Bangka Lelak?)  - Lelak, Manggarai
Ada kampung  Pering di desa .......... (? / Bangka Lelak?)  - Reok , Manggarai.
Ada  kampung  Gurung di desa.....(Compang Cibal) - Cibal - Manggarai.
Ada  kampung  Gurung di desa.....() -  Kuwus / Lembor  - Manggarai  Barat
Ada kampung  Helung  di desa Compang (Loha) - Masang Pacar - Manggarai Barat

Mengapa betong, belang, pering, helung dan  gurung?  Mengapa  kampung diberi seperti itu? Ini adalah suatu gerakan kesadaran untuk mengingat kembali asal - usul. Bahwa  pada mulanya  manusia Manggarai  berasal  dari rumpun bambu yang diterpa   cahaya (terang) matahari. Jadi manusia Manggarai pada hakekatnya adalah anak cahaya.  "Wesak nera neteng  beang, tutung sulu neteng uku, wewa  gerak  neteng bendar,  ba nggalas neteng tana, pati adil neteng   nai." (Tabur cahaya di setiap  medan, menyalakan pelita di tiap suku, mewartkan terang di setiap lokasi, membawa kejernihan di setiap  tempat, membagi keadilan pada setiap hati).  (JPS, 4 Sept. 2015).

Gerakan kesadaran  ini diungkapkan lewat penamaan,  termasuk  dalam nama  kampung seperti disebutkan di atas. Gerakan ini sesungguhnya aktivitas pengabadian.
Selain dengan penamaan  pada kampung, pengabadian ini dilakukan dengan  cara  lain, misalnya  lewat nyanyian-nyanyaian adat, misalnya  dalam lagu-lagu berikut:
  1. Sanda Gurung
  2. Benggong - banggong
  3. Betong wa Melo paki telo lata Lengkong
  4. .....O Gurung: ... nai   daku e...o....gurung-gurung e.... o ae a..e...lur  lau..lur lau a  gurung e...
  5. ........................
  6. (JPS, 12 Sept. 2015)

Ada  kampung Langke di desa  Beokina  desa Golo Langkok Kec.  Rahong Utara - Manggarai; Langke Rembong di Ruteng.
Ada kampung Ara di Perang,  desa Ngampang Mas (?) - Borong - Manggarai Timur
Ada kampung Welu di desa Ketang (?)  - kecamatang Lelak  dan di desa Raka, Ndoso, dan Colol.




Nama kampung lain: Tumbuhan
  1. Ara - Ngapang Mas - Borong
  2. Welu - Colol / Lelak  / Ndoso
  3. Latung:  Cibal / Pacar
  4. Wela : Cibal / Cancar - Ruteng
  5. Nio :  Narang
  6. Teno : Kolang
  7. Kalo:  Ndoso
  8. Lale : Welo / Ponggeok
  9. Karot : Ruteng / Lelak
  10. Lando: Ruteng / Ndoso
  11. Langke
  12. Nao


Nama kampung lain: Hewan / Binatang

  1. Ka - Gagak  - Ruteng
  2. Ngkeling / Keling -  Nuri - Masang Pacar







Senin, 15 Juni 2015

SIAPAKAH ORANG MANGGARAI ITU ---- 3

Orang Manggarai adalah orang yang kalau memberi  mengharapkan  balasan. "Memberi  agar diberi"  (teing  kudut  tong). Dalam berbagai kegiatan orang Manggarai cenderung  menyataakan harapan ini, misalnya  dalam beragam acara  adat. Bila suatu kampung mengundang  orang kampung lain untuk  mengikuti acara penting,  ada harapan bahwa suatu saat mereka  diundang  sebagai balasan atas  undangan mereka. Demikian  juga dalam soal  urusan pengumpulan dana untuk  urusan perkawinan (kumpul kope). Orang lakukan itu agar  suatu saat  orang  lain juga  datang  pada saat  dia  menikah. (JPS, 16 Juni 2015).
Orang Manggarai adalah orang yang memiliki  budaya. Salah satu budaya Manggarai yang paling  populer adalah Caci. Caci adalah  permainan  menguji ketangkasan   di mana kaum lelaki     saling bergantian dalam kegiatan mencambuk (pakiongga) dan menangkis cambukkan (lecutan) (ta'ng). Ketika mencambuk (paki ongga) menggunakan lecutan yang disebut Larik (lempa)  yang dibuat dari kulit kerbau yang sudah diiris sebesar jari orang dewasa dan dikeringkan. Tameng untuk menahan pukulan disebut Nggiling - terbuat dari kulit kerbau yang sibuat berbentuk lingkararan seperti nyiru dan disisipi kayu di tengah sebagai pegangan . Psangan Nggiling adalah Koret yang terbuat dari sejumlah rotan atau ranting bambu. Pemain caci biasanya menggunakan konstum tertentu misalnya kain songke dan peindung diri yakni panggang (pelindung kepala),  tubi rapa, nggorong, songke, celana putih, selendang, sapu tangan. , sambil telanjang dada  dan kaki .  Selain itu masih ada  upacara adat kelahiran, persekolahan, perkawinan, kematian. Orang Manggarai juga memiliki tenunan, yakni Songke.
(JPS, 16 Juni 2015, 28 April 2021)
Orang Manggarai adalah orang yang  melihat kematian sebagai suatu momok, sebagai sesuatu yang menakutkan.  Orang yang nakal, teledor,  atau nyelenah sering kali diingatkan dengan  pertanyaan retoris berikut "Toe rantang mata hau ko" (tidakah kamu takut akan kematian? demikian orang tua atau sesepuh atau senior mengingatkan seseorang yang lalai / teledor.  
VMG - JPS, 20 Juni 2015
Orang Manggrai adalah insan yang umumnya bengis /sangar. "wajah sangar". Bahkan bukan hanya wajah yang sangar tetapi juga watak. Orang berbeda budaya, terutama orang Jawa melihat orang Manggarai temperamen, emosional, bicara besar (mulut besar), cepat main tangan (memukul), tidak sabar. Karena berwajah sangar, maka kerap dipekerjakan sebagai sekurity (satpam)/ penagih utang (deb collector) . "Orang Manggarai (Flores) banyak yang berprofesi sebagai "tentara," demikian seloroh teman menyoroti orang Manggarai yang  sering kali mengisi posisi sekuriti di perusahan-perusahan di tanah rantau.
VMG - JPS, 20 Juni 2015
Orang Manggrai adalah insan yang secara ekonomi umumnya  berada pada level kelas menengah ke bawah.
VMG - JPS, 20 Juni 2015
Orang manggarai adalah insan yang  kaya  dengan adat budaya, mulai dengan  kelahiran, sekolah, perkawinan hingga  kematian. Dalam kaitan  dengan  perkawinan dan kematian,  tampak mencolok bahwa  ada banyak  materi yang dikorbankan  hal mana  itu bisa menjadi hambatan untuk  memupuk kesejahteraan hidup. "Orang Manggarai miskin karena  adat,' protes  beberapa  orang, terutama berkaitan kewajiban adat yang diembankan kepada  saudari (anak wina)  manakala perkawinan dan kematian  terjadi pada pihak saudara  (anak rona). Kewajiban saudari untuk  berpartisipasi dalam acara  suadara (anak rona) berkaitan dengan  acara perkawinan, kematian dan  sekolah  disebut  sida (sida mata, sida laki, sida sekola). . Berkaitan dengan  belis (mahar perkawinan), banyak orang menilai bahwa  belis  wanita di Manggarai sangat mahal, terutama  bila perempuannya  memiliki status sosial yang tinggi misalnya  cantik  dan juga  sekolah tinggi serta punya pekerjaan. (JPS,  21 Juni 2015)
Orang manggarai adalah insan yang kerap bicara dalam bahasa kiasan / metafor / simbolis. Contoh, na' waen pake, na' uten kuse, na' tilun ipung (katak  tinggalkan  kuah, kepiting tinggalkan sayur, siput sisakan  telinga. Leluhur  manggarai konon berasal dari katak, kepiting. Tujuan kehidupan, terutama kehidupan perkawinan adalah untuk  meneruskan keturunan). Gen dan  karakter  leluhur, orang tua akan diteruskan kepada anak - cucu. Berkaitan dengan tanda (penanda   dan petanda) , parang /golok  (kope - laki-laki ) - meriam bambu - kematian, rumah  adat (gendang) - tanah ulayat  (lingko peang),  dll ; Manusia  disimbolkan  sebagai  tumbuhan dan hewan: Sebagai tumbuhan, tampak seperti  dalam goet berikut: Wake seler  ngger  wa, saung  bembang  ngger  eta (berakar  kokoh ke  bawah, bertumbuh subur / mekar  ke  atas),  wiko le ulu - jengok lau wai'  (wiko di  hulu mata air, jerangau di hilir);  hewan : taboo ( seki) : katak, ikan, anjing, landak,  (pake, ipung / kuse, asu, rutung), dll (  JPS, 22 n 23   Juni 2015. 
Contoh bahasa kiasan lain adalah: wisi lose (harafiah:  bentang tikar).  Term  wisi lose  berkaitan erat dengan  rumah . Bagi orang Manggarai  rumah identik dengan tugas manusia (laki - perempuan)  yang memberikan perlindungan, kenyamanan, kehangatan. Namun, wisi lose, lebih mengungkapkan tugas perempuan. Perempuan memiliki peran untuk membuat dan memelihara tikar. Tikar itu dipakai untuk keperluan manusia,  alas  dan atau  penghangat tidur.  (JPS, 21 Juli 2015).

Orang manggarai adalah insan yang  percaya  bahwa   semua ada di muka bumi ini akan berakhir,  berubah, tak ada yang  abadi / permanen/tetap. Ini diungkapkan dalam  go'et: lando teu, te' muku, seru wohe (tebu berbunga, pisang masak,  cocokan hidung   kerbau lapuk). Semuanya akan berakhir (mati ) tak ada yang  abadi. (VMG - JPS, 23 Juni 2015).
Orang  Manggarai adalah insan yang  etos dagangnya / bisnisnya  rendah,  terutama jika dibandingkan dengan etnis lainnya, misalnya Cina,  Bima, Bugis, Padang, Batak, Jawa.  (JPS, 21 Juli 2015).
Orang Manggarai adalah insan yang dalam acara adat  mengenal dualisme kelompok yang saling bersinergi. Dalam acara adat perkawinan  dan  kenduri (kelas), misalnya  ada term: anak  rona (pemberi pengantin perempuan)  - anak wina (pemberi pengantin laki-laki), dalam  permainan sasi, ada term : ata isi tana (tuan tanah / rumah)  - ata meka landang (tamu / pendatang). (JPS, 21 Juli 2015).
Orang Manggarai adalah insan yang menaruh respek dan harapan yang besar pada bidang pendidikan (sekolah) sebagai wahana untuk memerangi kebodohan dan kemiskinan serta keterbelakangan. Dalam rangka hal ini maka orang Manggarai bersatu guna menyukseskan hal ini. Persatuan yang berbasis semangat kekeluargaan dan  gotong royong ini ditunjukkan dalam acara wuat wa'i. Acara wuat wa'i dilaksanakan ketika seseorang  - anak Manggarai -  telah menempuh pendidikan tinggi atau telah menamatkan pendidikan menengah (umumnya SMA, namun ada juga yang SMP) dan  hendak melanjutkan  pendidikan ke jenjang berikutnya. Dalam rangka kesuksesan  sekolahnya dia dan keluarganya memohon dukungan moril dan   material  warga kampung  dan atau keluarga besarnya. Dukungan keluarga dan warga kampung bisa diungkapkan  secara material dalam bentuk kehadiran, mulai persiapan hingga hari H (puncak), berupa sumbangan tenaga, beras, gula, kopi, sayur-sayuran, kayu api, binatang peliharaan (anjing, babi, ayam) dan uang. Sedangkan sumbangan moril bisa diungkapkan melalui doa, wejangan atau nasihat baik saat  persiapan maupun pada saat puncak acara Acara wuat wa'i. Dalam acara ini, warga kampung mendatangi rumah atau kemah tempat acara berlangsung. Warga bersalaman dengan "yubularis" dan keluarga (tokoh yang mendampinginya), lalu duduk / berdiri sambil ngorol, lalu acara makan dan minum  lalu  dilanjutkan dengan acara hiburan, misalnya nyanyian / tarian. Acara wuat wa'i mengandung  aspek  perutusan  bagi "yubilaris". Perutusan itu berupa harapan untuk menjadi lebih baik setelah menyenyam pendidikan sebagaimana terungkap dalam go'et: "Eme lalong bakok du lakom, porong lalong rombeng du kolem; eme lalong rompok/pondong du ngom, porong lalong rombeng du kolem" (Harafiah: Jika saat pergi dari keluarga / kampung halaman menjadi  ayam jantan putih (satu warga), kiranya saat pulang menjadi ayam jantan beragam  warna. Lalong  rompok/ pondong  juga berarti  ayam jantan mungil (kecil). Lalong rombeng berarti ayam jantan dewasa dan berpengalaman. (Ini bahasa kiasan. Maksud sebenarnya adalah semoga setelah sekolah menjadi orang yang berilmu,  berupa menjadi orang sukses: bisa memecaahkan masalah, berdirkari, mandiri dan bisa membanggakan  diri sendiri, keluarga dan kampung halaman).  (JPS, 22 Juli 2015).
  Orang Manggarai adalah insan seni. Manggarai mengenal beragam seni, misalnya:
  1. Seni arsitektur: rumah adat (mbaru niang). Sebagaimana tampak dalam rumah adat Todo (Niang Todo) dan rumah adat Wae Rebo (Niang Wae Rebo) berikut ini:


 
 
2. Seni Tari: Tarian Caci: Caci, Danding
3. Seni Sastra: Sastra lisan: Nunduk: Lanur, Timung Te', Nggerang
4. Seni Tenun: Songke  dan Towe / Lipa Todo; keranjang, tikar, topi Manggarai





 
 

5. Seni Suara: Nyanyian: Sanda, Mbata, Danding; Landu


Orang Manggarai adalah  insan yang dalam rangka melangsungkan keturunan  mengadakan perkawinan lawan jenis. Ada tiga (3) jenis perkawinan orang Manggarai, yaitu: tungku (tungku su, tungku sanggot, tungku neteng nara),  sako,   sangkang. Tungku adalah perkawinan silang (cross cousin), anak laki-laki saudari dengan anak perempuan saudara. Ini perkawinan ideal bagi orang Manggarai. Sako adalah perkawinan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam  garis patrilineal antara  saudara  sesuku. Sangkang adalah perkawinan  beda jenis kelamin  dengan orang di luar suku. Dalam budaya Manggarai tak dikenal homoseks (perkawinan sejenis). Lelaki  Manggarai  zaman dulu  bisa beristeri lebih dari satu (poligami). Hal ini menunjukkan status sosial, baik dari segi kekuasaan, misalnya raja maupun dari segi ekonomi (ata bora). Kemungkinan itu ada manakaala laki-laki kaya dan berasal dari kalangan bangsawan. Selain menunjukan status sosial, juga  dalam rangka menambah jumlah penduduk.Pada  zaman dahulu, jumlah penduduk masih sedikit. Maka bagi lelaki yang memiliki kuasa, memiliki banyak istri merupakan suatu kebanggaan secara sosial. Lagi pula anak dipandang sebagai aset ekonomi sebagaimana ungkapan banyak anak banyak rezeki. Dalam perkawinan, tujuan perkawinan  adalah untuk mendapatkan  banyak keturunan. Tujuan ini  kerap disampaikan dalam  doa adat. Dalam acara puncak perkawinan (wagal)  misalnya  dalam torok  selalu didaraskan doa memohon  kesuburan perkawinan, anak banyak - keturunan berlimpah, sebagaimana tercermin dalam go'et berikut: "anak banar, wing do; Ras baling rasap, res baling lele; tai' sala wai' borek sala bosel"
Sekarang pologami  akan berkurang  karena ada larangan agama, termasuk agama Katolik dan juga pertimbangan praktis warga mengingat penduduk sudah semakin bertambah banyak, sementara daya dukung alam agar terbatas. Ada suatu paradoks  dalam hubungan antara jumlah penduduk dengan   daya dukung alam, yakni  manusia terus bertambah sementara tanah tak pernah bertambah. Manusia beranak pinak sementara tanah tak pernah  bertambah. Kesadaran ini juga yang membuat orang Manggarai untuk memikirkan kembali tujuan perkawinan asali  sebagaimana disampaikan dalam doa adat di atas. Bagi orang zaman modern, kerap mengikuti anjuran  pemerintah untuk membangun  keluarga sejahtera dengan  mengikuti program KB: dua anak cukup.
(JPS, 22 Juli 2015, JPS 16 Juni 2016).
Orang Manggarai adalah insan yang diajarkan untuk disiplin, konsisten, terutama  berkaitan dengan kepuutusan hukum adat, misalnya perdaamaian adat. Kepuutusan adat seyogyanya dipatuhi, terutama menyangkut perdamian adat (hambor), sebagaimana terungkap dalam go'et: ipo ata poli wa tana (wancang)  toe ngance lai't kole (ludah yang sudah jatuh ke tanah tak bisa dijilat kembali).
(JPS, 22 Juli 2015).
sumber: http://wisata.nttprov.go.id/index.php/2014-01-20-04-39-05/atraksi-budaya/46-kebudayaan-masyarakat-manggarai-barat)
Orang Manggarai adalah  insan  petarung, pemenang bukan pecundang. Bagaimana menjelaskan hal ini? Lihat saja bubungan rumah adat. Di situ ada gambar manusia dan tanduk kerbau. Dalam sejarahnya, salah satu nenek moyang Manggarai berasal dari Minangkabau (Sumatra Barat). Konon, perantau Pararujung , Padang, Sumatra Barat yang sampai di Manggarai membawa serta kerbau yang telah memenangkan pertarungan besar. Maka menjadi orang Manggarai adalah menjadi pemenang, terutama menang menaklukkan diri sendiri karena musuh terbesar adalah diri sendiri (JPS, 23 Juli 2015).

Orang Manggarai adalah  insan yang kerap menggunakan bahasa kiasan / metafora dalam kehidupan, terutama dalam ritual adat (kelahiran, perkawinan dan kematian).  Misalnya manusia diibaratkan dengan pohon, misalnya bambu, sehingga muncul goet:  "Eme wakak  betong asa, manga wake  nipu tae, eme muntung gurung pu', manga wungkut  nipu curup".  (inspirasi dari ongko weki - rowa hia kraeng Marianus Saridin. Meninggal di RS Persahabatan Jakarta Timur, disemayamkan di Rumah Duka RS Sint Carolus, Jakarta Pusat, 23 Juli 2015, dibawa pulang ke Manggarai via pesawat, turun di Maumere, 24 Juli 2015). Sapaan adat dibawakan oleh Kraeng Paskal Baut. Dia sangat piawai untuk maksud ini). JPS, 24 Juli 2015.

Orang Manggarai adalah insan yang diajarkan hidup jujur, adik, menghargai milik orang lain, jangan  mengklaim milik orang sebagai milik sendiri sebagai mana terungkap dalam larangan adat dalam go'et berikut: neka anggom le, anggom lau, eme data, data muing, neka daku  ngeng (demeng)   data” yang berarti: jangan caplok sana, caplok sini, kalau punya orang, akui dan hargailah, kalau punya sendiri barulah boleh boleh dipakai / digunakan. Dalam arti luas, bisa diartikan sebagai berikut: “janganlah memiliki kekayaan karena merampas dan menggelapkan harta orang lain.” Dalam arti lebih luas: jadilah manusia dengan penghormatan terhadap martabat dan hak orang lain, bukan menjadi kaya material di atas isak tangis dan darah orang lain. (https://www.facebook.com/gerard.bibang?fref=nf&pnref=story), JPS, 25 Juli 2015.
  Orang Manggarai adalah insan yang  plural / majemuk. Dalam  dirinya ada beragam komponen, misalnya  pikiran, perasaan, kehendak. Selain itu  ada  beragam komponen  fisik seperti kepala, badan dan kaki. Kemajemukan diri ini  tampak juga dalam hidup sosial bahwa dalam  suatu komunitas, kampung (baik tradisional maupun modern) ada beragam  suku (panga). Jarang dalam suatu komunitas hanya terdiri dari suatu suku. Mungkin yang unik hanya  suku Wae Rebo, yang  hanya terdiri dari  satu suku, yakni keturunan  Maro.Sedangkan yang lainnya sangat plural. Menurut kisah bahwa manusia Manggarai sekarang datang dari berbagai  benua (daerah / pulau), seperti Eropa (orang Cibal), orang India (suku......di Kota Komba, Manggarai Timur), orang  Minangkabau (Wae Rebo, Todo),  Sulaweli Selatan (orang suku Welo di Wela, Sano, Maras, Sama; suku Karot Lelak), dari Sumba (orang Kempo /Lembor / , orang Narang),  orang Timor (orang Suka di Wae Rana, Kota Komba), orang Flores Timur / Sika (misi Gereja Katolik: kirim guru-guru Flotim ke Manggarai: ada nama Kabelen, Beribe, Wisang, de Rosary, Fernandes. Namun jangan lupa ada juga yang  yang mengaku bahwa nenek moyangnya orang asli Manggarai, seperti orang-orang  orang Rampasasa yang disinyalir merupakan keturunan orang fobit (manusia kerdil) sebagaimana hasil penggalian Homo Florensiensis.
VMG - JPS, 29 Juli 2015
Orang Manggarai adalah insan yang metaforis. Diri manusia diibaratkan dengan pohon. Ini tampak dalam goet-goet : panga wa, panga eta (cabang /ranting / dahan  bawah, cabang atas), ujung pu', pongo lobo. Dalam kisah bahwa manusia pertama  muncul dari  pohon bambu: bengkar one mai belang, bok one mai betong (muncul dari pecahan bambu belang,  tumbuh dari tunas bambu). VMG - JPS, 29 Juli 2015 -  VMG - JPS, 29 Juli 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang gensian, terutama di daerahnya sendiri agak gensi untuk melakukan pekerjaan  yang tampaknya sepele padahal memiliki nilai ekonomis, misalnya mengumpulkan barang bekas lalu dikumpul lalu dijual. Orang Manggarai agak gensi dengan pekerjaan begituan. Orang melakukan hal itu di daerah Manggarai adalah orang Jawa.
Orang Manggarai adalah insan yang melihat hidup dan mati merupakan anugerah Sang Pencipta  yang berlaku adil bagi semua. Siapa yang lahir dia harus mati karena semua itu dianugrahkan kepada semua makhluk hidup. Ini terungkap dalam go'et: Mose agu mata pati lite neteng ata" (hidup dan mati  Kau berikan (anugerahkan) kepada setiap orang).
JPS, 3 Agustus 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang pada umumnya  konsumtif  dan serakah, termasuk  kepada alam. Coba cek kondisi alam, terutama Manggarai. Kondisinya betapa mengenaskan.  Bakal ada krisis besar melanda Manggarai bila orang manggarai tetap serakah terhadap alam. Ada ajaran adat agar memelihara alam, termasuk hutan, tetapi ajaran itu sering dilanggar. Ajaran itu bisa disimak dalam go'et  atau  lirik  lagu, misalnya neka tapa  satar rantang mata kaka , neka lusa  puar rantang mora usang, neka  nggelak wejang  rantang manga  lehar, neka ngkolak osang  rantang tua longka, neka ropo golo renatang tua ronco, neka horo poso rantang tua  wae  ronco.
JPS, 3 dan 22  Agustus 2015.
Orang Manggarai adalah insan yang kadang   berjudi  bila mana  ada momen berkumpul, misalnya pada peristiwa kematian (VMG / JPS ........ dan 23 Agustus 2015). 
 Orang manggarai adalah insan yang  berprinsip ada masalah ada solusi. Ini terungkap  dalam  go'et: "Darat  paka  bae  jangkad // poti  paka  bae  gojingd //  (peri  harus  tahu siasatnya,  setan harus  tahu menyembuhkannya). Dalam beberapa kisah lisan, dituturkan bahwa ada leluhur  orang Manggarai yang bisa mengubah peri menjadi manusia  (perempuan). Dalam kisah  Suku Kuleng (Ngkuleng) dikisahkan bahwa Tamelo berhasil menaklukkan peri sehingga menjadi manusia yang kemudian menjadi istrinya. Perkawinan Tamelo  dengan peri ini melahirkan Jermelo. Jermelo kemudian menurunkan suku-suku Lambaleda, Cibal, Riwu, Sita, Poka, Desu, Kolang (Torok Golo). Selain  Temelo pada Suku Kuleng, ada Nggirang dari suku Ker - Kolang. Nggirang  berhasil menerobos ke dunia peri dan hidup di sana. Dengan bantuan seutas  tali alam (Wase Ajo - bahasa Manggarai) dia masuk ke dalam dunia peri (ata pele sina) . Dia berhasil  menggaet peri lalu membawa lari  ke  bumi (dunia)  manusia. Ketika  mereka sampai di dunia manusia (ata pele se')  dia memotong tali alam (Wase Ajo - bahasa Manggarai) sehingga  peri ini tak  bisa pulang kembali ke dunianya (ata pele sina). Mereka menikah. Girang ini merupakan  leluhur  orang Ker  di Kolang, Kuwus, manggarai Barat.  Girang  awal mulnya  berasal dari Bugis, Goa - Makasar, Sulawesi. (JPS,  29 Agustus 2015).
Orang manggarai adalah insan yang berusaha bergerak maju menaklukkan tantangan. Disadari bahwa dari hari ke hari tantangan  semakin  sulit, namyak dan beragam. Orang Manggarai dipanggil untuk menaklukan tantangan itu. Bila berhasil  hidup ini betapa  indah dan bahagianya. Kisah perjuangan  anak manusia Manggarai ini kerap ditampilkan dalam  mitos-mitos dan kisah sejarah leluhur yang awal mula  datang  dari  pantai lalu perlahan menuju pedalaman pegunungan. Puncak bukit dijadikan sebagai   destinasi perjalanan  karena menawarkan keluasan dan kelapangan. Dari puncak bukit bisa dilihat beragam bentang alam. Dari situ baru dibuat keputusan penting tentang perjalanan hidup selanjutnya. Situasi mencapai puncak adalah panggilan jiwa bagi setiap orang Manggarai untuk  mengasah mental bertarung. (VMG - JPS, 4 Sept. 2015).
Orang Manggarai adalah  anak cahaya, insan bersinar. Mitos penciptaan mewartakan bahwa   pada mulanya  manusia berasal  dari rumpun bambu yang  dihasilkan dari perpaduannya  dengan  cahaya (terang) mahatari. Jadi manusia Manggarai pada hakekatnya adalah anak cahaya. Maka menjadi orang Manggarai adalah menjadi terang  "Wesak nera neteng  beang, tutung sulu neteng uku, wewa  gerak  neteng bendar,  ba nggalas neteng tana, pati adil neteng   nai. (Tabur cahaya di setiap  medan, menyalakan pelita di tiap suku, mewartkan terang di setiap lokasi, membawa kejernihan di setiap  tempat, membagi keadilan pada setiap hati).  (JPS, 4 Sept. 2015)
Orang Manggarai adalah insan yang ketika  mengkonsumsi makanan lebih mengutamakan jumlah (kuantitas) daripada kualitas (gisi). Karena itu tak heran bila orang Manggarai makan banyak, terutama korbohidrat. Prinsip orang Manggarai dalam konteks ini, yang terpenting  kenyang (tamal / tamat  penong bea = asal mengenyangkan perut).
( JPS, 12 Sept. 2015).
  Orang Manggarai adalah insan yang dari segi aal usul datang  dari berbagai daerah, termasuk dari   wilayah Flores lainnya,  misalnya  Flores Timur, Sikka (Maumere), Ende, Ngada. Ini tak lepas  dari  gerakan pendidikan. Orang Manggarai   terlambat mendapat pendidikan formal jika dibandingkan dengan orang Manggarai lainnya. Maka  dalam rangka membantu memajukan pendidikan di Manggarai,  maka tenaga-tena guru dari Flores  bagian  lain dikirim ke Manggarai. Mereka  ahirnya menyebar fi Manggarai. Dari Flores Timur, misalnya nama-nama seperti Beribe (di wilayah Kempo, Manggarai Barat), Kebelen (di Lewur - Manggarai Bart  dan  Lembor, Manggarai Barat; Maumere, misalnya Fernandes, Wisang *di Ruteng), de Ornay  (di Reo ? Dampek).

Orang Manggarai adalah insan yang diharapkan bergerak lincah,  kreatif, sebagaimana tertuang dalam  goet, "neka  mejeng hese, neka ngonde holes" (jangan lambat berdiri, jangan  malas menoleh)
( JPS, 13Sept. 2015).  Catat  Sambil  ngantuk karena kekenyangan.
  Orang Manggarai adalah insan yang  memiliki identitas bahasa yang  menekankan hierarki dalam ucapan/tuturan, terutama  antara orang yang terhormat /dituakan   dengan  orang sebaya. Misalnya,  kata  ganti  orang  kedua tunggal. Ada 2 kata, yakni: hau  (kau) dan  ite (kamu). Hau (kau) untuk orang yang sederajat, sedangkan ite untuk orang yang dihormati / dituakan.  Jadi dalam arti tertentu, bahasa Manggarai  tidak egaliter - seperti bahasa Inggris - tetapi  mengenal hierarki.  (JPS,  19 September 2015,  terinspirasi  penjelasan Prof. Dr. Agus Nugroho, saat kuliah .........  dan Kesetaraan, Kamis, 17 Sept. 2015).
Orang Manggarai adalah insan yang  dididik untuk memiliki perasaan  malu. Rasa malu penting untuk  menciptakan perubahan perilaku dan perubahan sosial.  Kepada setiap orang dianjurkan untuk  melalukan sesuatu dengan baik, tanpa  cela. Bila orang melakukan kesalahan maka akan diolok / diejek / dicemoohkan  sebagai orang yang tidak memiliki perasaan malu. Ini kerap  penghinaan. Dalam ucapan sehari-hari orang kerap mengungkapkan penyesalan terhadap orang itu dalam  goet  berikut: "Toe  ritak sisang, toe senger sembe"  ( Harafiah : Otot bisep / lengan  tak tahu malu,  rusuk tak kenal malu. Dalam terjemahan yang lebih  pas: tubuh / badam  tak ada perasaan malu). Ungkapnan ini suatu penghinaan sebenarnya.  (JPS, 24 September 2015). --- Inspirasi  dari  Prof. Franz Magnis Suseno, SJ, dalam kulaiah Filsafat Praktis: Etika Jawa,  Senin, 21 September 2015 - STFD).
Orang Manggarai adalah  anak cahaya. Dalam  budaya  Manggarai beberapa entitas, seperti ayam, bambu  merupakan simbol central dalam kehidupan orang Manggarai. Bambu dipakai dalam berbagai dimensi kehidupan, mulai  lahir (pemakaian sembilu (lampek) untuk memotong ari-ari,  anak-anak hingga dewasa bahkan mati ( meriam bambu untuk mengumandangkan / mengumunkan bahwa ada kematian), simbol ini kerap dipakai. Demikian juga ayam, dipakai sejak lahir (untuk makanan  dan  untuk memberi nama  anak yang telah dilahirkan itu dalam acara pemberian  nama (sear  sumpeng), ayam  favorit  digunakan. Menagapa  bambu  dan  ayam? Menurut mitologi penciptaan Manggarai,  bambu merupakan instrumen (sarana)  penciptaan manusia. Persekutuan / perjumpaan  cahaya matahari (nera mataleso) dengan bambu (betong) menghasilkan sepasang manusia awal yang menjadi cikap bakal  nenek moyang orang Manggarai. 
Sementara  ayam  merupakan  hasil persekutuan cahaya matahari (nera mataleso)  dengan seorang perempuan. Dalam mitos dikisahkan bahwa  seorang perempuan berjemur diri mencari kehangatan di pagi hari. Hasil jemur  diri itu adalah  dia merasakan  sesuatu  yang  nikmat pada organ vital  tubuhnya. Tak lama setelah itu  dia  mengandung, lalu melahirkan ayam jantan.  Dalam negosiasi  tempat tinggal, ayam meminta agar tidur di atas bubungan rumah (bukan di dalam ataupun  di bawah kolong rumah seperti makhluk / binatang lainnya)  agar  dia  bisa  dekat dengan "Yang empunya"   dan   cepat  emndengat isyarat yang diberikan oleh "Yang empunya"    untuk secepatnya dia sampaikan kepada manusia. itu adalasan mengapa ayam  tinggal di atas  (rumah / pohon). Menyimak mitos-mitos ini, kita tegaskan  sekali lag bahwa  orang Manggarai merupakan  keturunan cahaya.  Sadar akan  asal usulnya ini, maka  dalam  doa  dan harapan disampaikan niat yang mau mengaskan kembali keberadaannya  sebahaimana  dalam goet: "Bambu (betong)  dan  ayam (manuk / lalong)
1.Eme  wakak betong asa,  manga  wake  nipu  tae; eme  muntung pu'  gurung  manga  wungkut nipu curup. Bengkar one  mai  belang, bok one mai  betong
2. Eme lalong  bakok du  lakom, porong  lalong  rombeng  du  kolem.
Ungkapan dan  harapan ini terdapat  dalam doa - doa  adat  maupun  dalam bentuk nyanyian.
VMG  dan  JPS, 30 Sept. 2015.
Orang Manggarai adalah  insan simbolis, makhluk yang statis namun dinamis. Dalam bahasa-bahasa adat, terutama dalam go'et-go'et hal ini  terpampang jelas, misalnya, manusia disimbolkan dengan  tumbuhan (pohon). Laki-laki disimbolkan dengan pinang (raci/rasi), dan perempuan disimbolkan dengan sirih (kala). Dalam acara perkawinan, simbolisasi ini sangat kentara  dalam  pemakaian  kata-kata seperti  go'et : "manga ita kala rana le pa'ng, ami mai tuluk pu'n agu batu mbau"  (harafiah: kami melihat sirih perdana di persimpangan jalan, oleh kaena itu kami datang untuk mencari pohonnya dan menjejaki induk semangnya). Selain dalam rupa sirih dan pinang juga dalam bentuk  minuman yang dihasilkan oleh pohon enau:  Kombinasi  simbolisasi manusia dalam  pinang (rasi / raci), moke (tuak) ini diungkapkan dalam doa-doa saat upacara adat, seperti didaraskan  dalam  frase  berikut:"Neka  bunta  tuak " (janganlah tuak berceceran / bertumpahan); neka pora rasi (janganlah pinang rusak sia-sia (tua  tak berguna).
Simbolisasi manusia  dengan pohon menunjukkan bahwa manusia Manggarai merupakan makhluk yang statis namun dinamis. Kestatisan ditampakan pada pohon yang tak bisa bergerak karena tertancap ke dalam tanah, namun meski demikian tetap bertumbuh (berkembang),  tertancap ke bawah dan  tertumbuh ke atas serta melebar ke samping. Kedinamisan dalam kestatisan ini menunjukkan karakter manusia Manggarai bahwa tubuh (fisik) manusia   berubah sesuai dengan usia, namun  jiwa  tetap statis. Tubuh (fisik) berubah namun jiwa tetap (abadi).
 JPS, Okt. 5, . 2015  dan  Stasiun Cakung - KBT - Jl. Bulevard Harapan Indah - VMG - di atas motor, 1 Desember 2015, JPS 2 Desember 2015.
 
  Orang Manggarai adalah  insan  yang utilitaris, menekankan manfaat dalam hidup. Ini bisa disimak dalam pelbagai hal termasuk dalam syair lagu berikut: "Apa gunan benta kesa. Benta kesa benang kin weta, apa gunan benta kesa. (Apa gunanya panggil besan (ipar) . Panggil besan (ipar) tapi melarang saudari untuk dinikahkan denganku, apa gunanya panggil besan (ipar). JPS, 22 Oktober 2015.
  Orang Manggarai adalah  insan  yang  mudah dipecahbelahkan secara politik. Persatuan orang Manggarai rawan secara politik. Ikatan kekeluargaan yang sebelumnya begitu solid, bisa berantakan begitu politik memasukkkan wilayah paguyuban suku / kampung itu. Antara keluarga bisa tak saling tegur sapa. Antar suku bisa saling bermusuhan. Orang Manggarai  sangat rapuh persatuannya ketika berhadapan dengan dinamika politik, baik politik pemilihan  anggota dewan (DPR),  pemilu eksekutif (presiden, gubernur, bupati,  dan kepala desa).  Orang Manggarai belum memiliki mekasisme budaya berhadapan  dengan  pengaruh   politik yang mempengaruhi / menggerogotinya.  Hal ini  sangat terasa pada era 2000- an, di mana  pemilu sering dilakukan. Orang Manggarai  hanya  mau menikmati kenikmaan sesaat, lupa  tujuan  jangka  panjang  sebagaimana  tujuan  awal  dari paguyuban yang  dibentuk.
Orang Manggarai adalah  insan  yang  punya potensi terpendam untuk dugem (dunia gemerlap, pergi ke diskotik dan menikmati kehidupan malam di sana, bernyayi, menari, berdansa dengan alawan jenis di sana). Hal ini bisa dibaca dari kecenderungan orang Manggarai, terutaama orang muda   saat ikut pesta, baik pesta nikah maupun  pesta sekolah. Pesta sekolah umumnya pada malam hari. Orang pergi ke sana selain untuk memberikan sumbangan tapi juga untuk  menari, berdansa dengan pasangan atau pacar / calon pacar. JPS, 4 Desember 2015.
Orang Manggarai adalah  insan yang  bisa bertemu saat upacara suka (perkawinan) dan kematian. Pada moment ini semua relasi, terutama berkaitan dengan perkawinan, misalnya anak rona dan anak wina  datang. Semua datang dengan membawa serta tanggung jawab adat, membawa sesuatu untuk keluarga. Anak rona misalnya membawa binatang babi, ela pangga, sedangkan anak wina (woe) membawa ayam (manuk ute)  dan sejumlah uang (seng sida)  untuk keluarga berduka.   JPS, 1 Pebruari  2016. 
 Orang Manggarai adalah insan yang secara budaya mamiliki kekurangan (kelemahan) yakni, kembeleis, kembelu'ak, kembeleja (3K). Kotbah  Rm Karel Jande,Pr, misa Manggarai Keluarga Manggarai Bekasi, 24 Januari 2016 di Depsos Bulak Kapal, Bekasi, Jawa Barat.
  Orang Manggarai adalah insan yang  dwitunggal. Ini tampak problematis / paradoks, karena di satu sisi sebagai makhluk pribadi (individual) dan di lain sisi makhluk sosial. Keindividualannya ini tampak dalam kekhasannya: "wai' woleng lampa, lime woleng wajong/wejong" (kaki berlainan langkah, tangan berbeda lenggang). Kesosialannya tampak dalam ungkapan adat: "ipung setiwu neka woleng wintuk, pake sa wae neka woleng tae" (kepiting satu sungai jangan berlainan perilaku, katak . satu air jangan berbeda kata).
JPS, 22 Maret 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang diharapkan bisa memaafkan / melupakan kesalahan orang lain. Kesalahan yang dibuat orang lain kiranya bisa dilupakan bersama berjalannya waktu.  Kesalahan yang dilakukan sesama kiranya dilupakan bersama berjalannya matahari menuju peraduannya di ufuk barat dan serentak bersama mengalirnya air sungai menuju lautan. Ini diungkapkan dengan go'et Manggarai: sangged  sala, "one leso's sale'd, one wae's lau'd (semua kesalahan, biarlah berjalan bersama  tenggelamnya mentari,  hilang lenyap di kegelapan malam dan  hanyut bersama mengalirnya  air). 
Hasil obrolan dengan kraeng Beny Wardi, VMG, Sabtu, 2 April 2016, pkl 09:00 am-11:30 am.
Orang Manggarai adalah insan yang secara naluriah bisa mengenal sesama sedaerah dari sisi penampilan  misalnya  wajah. "Seperti ada gerak dari dalam yang mengungkapkan identitas itu. Kesamaan ini tampak saling menyapa."Yang sama mengenal yang sama" demikian Empedokles. Naluri kesamaan ini tampak  dalam gerak spontan dalam  tegur sapa terutama bila berada di luar  kampung / daerahnya.Di Katedral Jakarta, saya bertegur sama dengan orang Manggarai yang datang misa. Kami ikut misa malam pkl 19:00 pm. Kami bertiga. Saya duluan duduk di kursi. Ketika datang, mereka permisi dan menyapa masuk dengan Bahasa Manggarai. "Kae, tabe," seorang  lelaki  bilang. ":Mai ga,"  wajabku.
VMG, Minggu 10 April 2016, JPS 11 April 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang memiliki harapan bisa memiliki daya tahan  demi keberlangsungan hidup. Ini bisa disimak dalam seloka adat: "Porong neho worok eta golo, pateng wa wae". (Semoga kokoh seperti  kayu "worok" di puncak / bukit / hutan  dan berteras  bila berada dalam air). 
Jl. Rawa Indah, di atas motor, awal April 2016  dan JPS 11 April 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang sadar  bahwa diri /kelompoknya terbatas. Karena itu perlu kerja sama dengan pribadi / komunitas / masyarakat lain.  Sadar akan keterbatasan diri ini bisa  disimak dalam seloka adat berikut: "Toe ngance soket le ru lopat one mata"  ( sampah kecil dari luar yang masuk ke mata yang sangat mengganggu tak bisa dikeluarin sendiri oleh penderita).
Inspirasi, ngobrol  via tlpn dengan kakak Yustina Jelita di Golo Karot Lembor, MaBar, Sabtu,  16 April 2016.
 Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa setiap perbuatan manusia ada  resiko, termasuk perbuatan terhadap makhluk hidup lain. Orang Manggarai yakin bahwa  orang yang rajin berburu binatang, suatu saat kena resiko, entah menimpa diri maupun anaknya /keluarganya. Ini semacam  "karma" roh alam. Dalam bahasa Manggarai, karma ini disebut: "kole sai' ".
VMG - 17 April 2016, JPS, 18 April 2016. 
Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa kehidupan ini bersifat siklis (melingkar). Kematian tidak dianggap sebagai akhir kehidupan, tetapi awal kehidupan baru. Pandangan ini tercermin dalam ritus "seha kila" . Ritus ini dilakukan pada malam sebelum dilakukan upacara "Saung Ta". Ritus "saung Ta: merupakan  upacara adat yang menandaakan bahwa masa berkabung keluarga lantaran ditinggal pergi anggota keluarga yang  meninggal. Masa  kabung itu sudah selesai dengan diadakannya upacara "Saung Ta". Orang Manggaai percaya bahwa orang yang meningal itu akan mengalami kehidupan baru, mengalami kelahiran baru, ibarat tumbuhan, berkecambah daun hijau, pertanda fase awal kehidupan baru sedang dimulai. Demikian untuk orang yang sudah meninggal bahwa dia mengalami kehidupan baru. Dalam acara "Seha Kila", dilakukan simulasi persembunyian cincin (kila) dari satu orang kepada orang lain sambil diselingi  dengan nyanyian sebagai berikut: 
 Wale:
Serong kila, serong kila, 
o serong - serong kila, o serong - serong kila, 
kali kila to manga no se'. 
Sako:
O...kila, o...kila, o kila...kila...kila, 
o kila..kila...kila...
kali kila toe manga no se'. 
Cual-1:
Sala one hia.....(saro ngasang data hitut seha kila) 
 Cual-2:
Toe mangna no' se
Wale:
 Serong kila, serong kila, 
o serong - serong kila, o serong - serong kila, 
kali kila to manga no se'.
 
 Ritus "seha kila"  ini memproklamirkan kepada orang Manggarai bahwa hidup ini  bersifat siklis, abadi,  seperti lingkaran cincin  yang tak ada ujung dan pangkalnya. (JPS, 2 Mei 2016).
Orang Manggarai percaya bahwa  ada kehidupan setelah kematian. Tempat tinggal  sebelum meninggal (mati) disebut kampung (beo), sedangkan tempat tinggal  ketika sudah meninggal (mati) disebut  pekuburan (boa).

Orang Manggarai adalah   insan yang memiliki kesadaran dan pemahaman akan  ruang dan waktu. Perihal kesadaran ruang, bisa ditemukan dalam seloka (go'et) : "gendang one, lingko peang" (genderang di dalam, kebun ulayat di luar). Genderang merupakan alat musik adat yang disimpan di rumah adat. Bahasa Manggarai kaya dengan metafora. Seloka  (go'et"gendang one, lingko pe'ang"   ungkapan yang merujuk pada  gender  manusia. "Gendang one" merujuk pada  perempuan, "lingko peang" merujuk pada laki-laki. Jadi di sini, konsep ruang merujuk pada manusia, termasuk pada gendernya. Pemahaman gender orang Manggarai sangat primordial (asali), hanya mengacu pada laki - wanita.Ini sekaligus pembagian kerja bahwa kebun menjadi kedaulatan laki-laki (ata rona) dan rumah menjadi kewenangan  perempuan (ine wai).  Dalam kasus sengketa tanah, yang  hadir di kebun untuk berhadapan dengan musuh, hanya laki-laki. Perempuan menjaga rumah (adat). Bila kaum laki-laki di kebun sengketa  kalah maka benteng terakhir adalah perempuan yang menjaga rumah adat (mbaru  gendang). Perempuan akan berjuang agar rumah adat tidak dikuasai dan dilecehkan musuh. Bila pertahanan mereka  lemah maka rumah adat akan dibakar. Dengan demikain mereka ditaklukkan, mereka  kalah  pihak musuh  menang.  Kekalahan selalu menyakitkan.
 Sedangkan konsep  waktu, bisa disimak dalam  seloka (go'et): lando teu, te' muku, seru wohe " (tebu berbunga, pisang masak, cocokan hidung  kerbau lapuk). Seloka ini mau mengungkapkan bahwa segala sesuatu ada waktu berakhirnya, ada masa edarnya.
Selain itu, konsep waktu ini bisa disimak  melalui  nama-nama  bulan, misalnya Ohet, lenta, lonto rae.
Ini juga bergantung pada musim tanam.
VMG  31 Mei  2016  dan  JPS, 1 Juni 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang kadang egois, bahkan egois yang naif. Hal ini tampak bila berkumpul bersama  dan bersama dengan orang non Manggarai. Dalam kondisi ini  ego orang Manggarai menyeruak, baik dalam aksi maupun dalam tuturan. Dalam tuturan misalnya, bahasa percakapan yang dipakai bahasa Manggarai. Dalam aksipun kerap menampilkan corak kemanggaraian, misalnya dalam mendengarkan musik. Musik diputar keras-keras, seolah-olah hidup sendiri. Terkait egoisme ini saya teringat peristiwa 12 Juni 2016. Saya bermain di kos-kosan anak Manggarai di salah satu wilayah di JABODETABEK. Senja tiba. Saat itu umat Muslim sedang berpuasa. Sedang menunggu saat berbuka pada pkl 18:00. Sekelompok orang Manggarai baru saja pulang ikut kegiatan sepak bola, "Reo Cup". Sesampai di kos, seorang membuka musik Manggarai dengan volume yang keras, padahal bagi warga muslim, saat itu merupakan waktu teduh. Dalam konteks ini, betapa egoisnya orang Manggarai. Kepekaan sosial / lingkungannya  rendah.  (JPS, 13 Juni 2016).
Orang Manggarai adalah insan yang secara adat terikat dalam dua kutup relasi perkawinan yang  saling bergantian pada setiap orang (suku). Dua kutup itu adalah status anak rona - anak wina. Pada saat tertentu seseorang berstatus sebagai anak rona, sebaliknya pada saat tertentu menjadi anak wina. Anak rona merupakan suku / keluarga pemberi pengantin perempuan, sedangkan anak wina merupakan suku / keluarga pemberi pengantin laki-laki. Perihal status yang  tidak tetap ini, orang Manggarai mengungkapkannya dalam go'et (seloka) adat: "Saluk sapu, selong deko" (berganti destar, meminjam celana / pakaian). Maksud seloka ini adalah dalam momen tertentu dalam urusan kehidupan (kelahiran, kematian, perkawinan, sekolah)  orang bisa berubah status. Suatu saat menjadi   berstatus sebagai anak rona, pada momen  lain berstatus sebagai anak wina. Setiap status memiliki sejumput  hak dan kewajiban dalam ranah adat. Ada relasi timbal balik di sini.
JPS, 16 Juni 2016
Orang Manggarai adalah insan yang cenderung memprioritaskan kuantitas (jumlah) daripada kualitas. Hal ini terutama berkaitan dengan  asupan gizi pada apa yang dikonsumsi. Orang Manggarai cenderung  bersikap asal (tamal). Dalam soal makanan dan minuman ada prinsip  asal ada yang dimakan, hal ini tampak dalam  go'et: tamal  penong  bea  (asal penuh perut , asal kenyang). Untuk soal asupan gizi dari apa yang dimakan, itu soal lain.
VMG, 21 Juni 2016,  JPS 22 Juni 2016
Orang Manggarai adalah insan yang suka (senang) berkomunikasi dengan yang lain, suka menegur orang.  Orang Manggarai  mudah bergaul (gewegaes) , termasuk dengan orang asing sekalipun. "Ketika saya berada di Labuan Bajo saat mau mengunjungi Binatang Komodo di Pulau Komodo, di Labuan Bajo banya orang yang menegur saya bahkan minta foto bersama denganku," kata Oktaf, turis asl Perancis yang bertemu denganku dalam KMP  Wilis. Pada  9  - 11 Juli 2016, Oktaf dan saya bertemu dalam kapal Wilis. Kami  naik dari pelabuhan Labuan Bajo  menuju Benoa  Bali. Dalam kapal kami ngobrol, termasuk kesannya tentang orang Manggarai yang rajin menegurnya. Di akhir jumpa dia katakana kepadaku: "It is nice to meet you,". Dalam kapal Wilis, ada anak-anak dari kawasan lain yang akrab dengannya. Mereka meminta photo bersama dengannya. Mereka adalah Nia dan saudaranya. Nia sekitar 3 tahun. Tapi berani mendekati Oktaf dan memanggilnya dengan sebutan. Bule. Nia pada kahirnya photo bersama  dan duduk  di hadapan Oktaf. Nia dan ibunya turun di Bima.

Pengalaman di KMP  Wilis, 9 - 11 Juli 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang dalam urusan mas kawin  / mahar / belis (pasa weki) dibawa sampai mati. Bila  seseorang yang menikah  meninggal sementara  urusan belisnya kepada keluarga pengantin perempuan (anak rona) belum lunas, maka pada acara adat kematiannya, belis yang belum lunas itu tetap ditagih pada acara puncak kematian  yakni kenduri (kelas). Dalam acara ini kerap hubungan anak rona dan anak wina sering kali alot, terutama bila  tidak dikomunikasikan dengan baik.
JPS, 14 Juli 2016.
Orang Manggarai adalah insan yang punya adat. Urusan adat orang Manggarai sangat detail dan formal, misalnya   setiap topik / tema pembicaraan diapresiasi dengan minuman tuak. Hal ini tampak  dalam acara resmi seperti perkawinan, kematian, pesta sekolah. Selain tuak, juga ada ayam. Momen yang menggunakan tuak misalnya: tuak reis,  tuak karong lose, tuak wewa  paki kina we',  tuak toto urat dia. Momen yang menggunakan ayam misalnya, manuk kapu,  manuk teing hang.
(Terinspirasi  acara kelas  kraeng Petrus di Golo Karot Lembor, Manggarai Barat pada  5-6 Juli 2016 dan   acara Kelas Ema Paulus Habut di Wela, Manggarai  pada 6-7 Juli 2016. ** JPS, 18 Juli 2016.

Orang Manggarai adalah  insan yang budaya lisan (oral) nya sangat  kental bahkan sebagai  hal yang primer.  Budaya lisan terawat  terutama melalui acara-acara adat, misalnya torok (manuk haeng nai; Ela haeng nai; ela tekang tana,  saung ta',  kelas (ela we'  dan   ela / kaba  kelas).  Tudak dibawakan secara spontan, lisan dan oleh orang khusus yang mengurusi tudak. Biasanya tudak (torok)  dibawakan dengan  lantang dan agung.
** JPS, 18 Juli 2016.
Orang Manggarai adalah  insan yang  sangat bersemangat bila ada pesta. Hal ini berlaku terutama untuk  orang bujangan  dan keluarga muda. Hal ini sangat kentara di tempat perantauan. Mereka rela tidak tidur demi malam demi memeriahkan pesta itu. Di situ ada acara makan dan  berjoget ria.  Orang muda Manggarai sangat demen (bersemangat)  dengan hal-hal beginian.
Orang Manggarai adalah pekerja keras. Hal ini terungkap dalam seloka adat (go'et): duat gula-gula agu we' mane-mane (pergi kerja pagi-pagi, pulang kerja di sore hari), dempul wuku, tela toni (tumpul kuku, rekah punggung). Maksudnya, kesuksesan hanya bisa diraih dengan kerja keras. (JPS, 25 Agustus 2016).
Orang Manggarai - menurut kesan orang luar Manggarai, termasuk orang Jawa - adalah insan yang persekutuannya kokoh, kekompakannya solid. Hal ini bisa dilihat pada paguyuban-paguyuban di tanah rantau. 
Orang Manggarai  adalah orang yang kalau mengerjakan sesuatu serius (fokus)," demikian kesan orang Jawa, saat ngobrol di Perumahan Cipinang Cipondoh Tangerang, Banten, pada Minggu, 7 Agustus 2016 di sebuah warung kopi di Blok L, Perum Cipinang Cipondoh.
Orang Manggarai  adalah orang yang berprinsip bahwa paras dan  atau pangkat menentukan harga. Hal ini terutama berlaku  bagi perempuan dalam urusan belis pernikahan (perkawinan). Semakin cantik seorang wanita, harganya   belisny menjulang langit, mahal. Hal yang sama berlaku untuk status sosialnya. Bila dia menempuh pendidikan tinggi, tentu belisnya juga mahal. Untuk orang Manggarai, molas merupakan modal untuk menjadi kaya (molas pande bora). Cantik bukan hanya  supaya elok dipandang oleh orang lain, terutama kaum pria. Cantik itu ada resiko yang harus dibayar oleh kaum pria yang menaksir gadis / perempuan tersebut. Soal kecantikan yang  berharga mahal ini, lagu Manggarai mengungkapkannya dengan sangat bagus. "Molasm enu e a...a..e... pitu tondol watu lontom"Molasm enu e a...a..e... pitu lancing watu asim, kali toe a de molas bon weta e....(kecantikanmu beralaskan tujuh lapis  onggokan / sususnan batu, kecantikanmu  dipahat pada tujuh arca perhentian. Tenyata kecantikanmu bukan hanya asal, tapi sangat bernilai mahal). VMG, 27 Agustus 2016, JPS  29 Agustus 2016.
Orang Manggarai  adalah orang yang percaya bahwa warna memberikan makna. Hal ini berlaku bagi masyarakat tradisional dalam memilih  binatang  sebagai bahan persembahan  kepada Wujud Tertinggi atau leluhur. Mereka bisa memilih binatang sesuai dengan intensi persembahan misalnya babi, ayam, kerbau, kuda, kambing, anjing. Ayam misalnya: ayam jantan putih (manuk lalong bakok),  ayam  jantan merah (manuk sepang), ayam jantan hitam biru (manuk lalong rasi),  Ayam jantan  tiga warna (lalong lapak),  ayam.........(lalong rompok). Ayam       (manuk lale), ayam........(manuk welu). Kita sering  dengan ucpana berikut yang mengungkapkan makna setiap warna pada ayam: Lalong  bakok wuat di lako; lalong  rasi  wuat  wai',  lalong lapak sasa raja; lalong sepang to pande wera / pera (piri pera); 
Pada Babi: ela miteng (babi hitam), babi putih kehitaman (ela butung/rae/ kina rae), babi putih (ela bakok )
Pada kambing: kambing hitam (mbe miteng), kambing belang (mbe balo), mbe bakok (kambing putih), kambing merah (mbe kondo / butung / rae)
Pada Anjing: anjing hitam (asu miteng), anjing putih (asu bakok),  anjing pirang (rae), Anjing belang .(asu balo), anjing ........(asu bari),  asu buta (anjing buta, masih kecil).
Kerbau: kerbau hitam (kaba miteng),  kerbau  hitam putih (kaba balo), kerbau bule (kaba pera), 
Kuda: kuda putih (jarang bakok / jampi), kuda hitam (jarang bolong), kuda belang (jarang balo), kuda kuning kecoklatan (jarang rae).
Dalam  suatu acara adat, binatang-binatang ini dibutuhkan, misalnya
Acara  sear sumpeng kilo : 
kaka ata perlu laing: mbe kondo (kambing coklat kemerahan / kekuningan), ela rae (babi hita keputihan / pirang), lalong sepang (ayam jantang merah).
Acara " sebong golo" : jarang bolong, manuk lale (te petu wakar),  manuk bakok, 
Acara naka beka, kaer ulu wae: kaba bakok
Acara kelas/saung taa/tekang tana: kaba  (miteng / pera), ela miteng (butung), jarang  bolong (kuda hitam) sebagai tunggangan ke alam seberang - jarang  leti).
VMG - JPS 1 Sept. 2016.
Orang Manggarai  adalah orang insan yang percaya akan determinasi bahwa hidup ini sudah diatur oleh Yang Kuasa. Nasib manusia: jenis kelamin, kesuksasan, umur, kebahagiaan, penderitaan, kematian, semua ditentukan oleh Yang Kuasa. "E  wada...e  wada ..e wada... cau le Mori Mese" (Duhai nasib...du hai nasib, duhai nasib  dipegang (ada) di tangan Tuhan Maha Besar), " demikian lagu Frangky Sahilatua dalam lagunya E Wada. (JPS, 5 Oktober 2016).
Orang Manggarai  adalah  insan yang untuk sejumlah orang, nama belakangnya dimulai dengan suku kata je, misalnya jelata, jemian, jelahut, jelami, jemen, jelita, jemanu, jeharut, Jebabun, Jemahu, Jebarus, Jebarut, Jeratu, Jemalu, Jemparus, Jeramu, Jemadu, Jehau, Jehaut, Jebatu, Jebatur, Jeramat, Jemparus, Jematu, Jebarus, Jehanu, Jehanus, Jelau, Jemabut, Jebada, Jemalan, Jenahat, Jehanat, Jenu, Jerita, Jelatu, Jemalur, Jemamat, Jehuru, Jekong, Jehalu, Jehamit, Jehola, Jelalu, Jelu,Jetia,  dll. (JPS, 14 Oktober 2016).
  Orang Manggarai  adalah insan yang kebiasaan / tindakan / kecenderungannya bisa diatur. Orang Manggarai zaman  dulu belum memiliki toilet. Bila hendak buang feses / kecing  pada malam hari cukup repot karena situasinya gelap. Ada banyak kekuatiran terhadap kenyaman, termasuk gangguan binatang dan roh jahat. Karena itu, orang tua menganjurkan agar kencing / buang feses bisa diatur / ditahan agar terjadi pada  saat  matahari tiba. Karena itu tubuh diminta untuk menyesuaikan diri dengan waktu yang baik. Tubuh bisa melakukan hal itu. Orang tua bisa menyampaikan hal ini kepada tubuh. Kepada otak disampaikan agar otak sebagai pusat kendali tubuh bisa mengatur hal ini. Orang tua mengajarkan trik ini untuk maksud itu: "Tuku tu's  diang po tai', tuku tu's diang po sio". Tangan dikepalkan sambil memukul pada lutut sembari mengucapkan kata-kata di atas. Terjemahan harafiahnya sbb: Pukul lutut, besok baru buang feses, pukul lutut besok baru kencing")  (JPS,  17 Okt. 2016).
 
Orang Manggarai  adalah insan yang disteriotipkan  lamban dalam bergerak. "Tentu orang itu orang Manggarai," kata Dr. Yohanes Suhardin di  ruang tamu Swiss Bell Hotel, Mangga Besar  Jakarta (Barat) pada 22 Oktober 2016 ketika melihat seseorang berjalan pelan ketika memasuki kawasan Hotel. Kami belum konfirmasi untuk menanyakan orang itu apakah benar orang Manggarai atau tidak. Kami hanya bercakap-cakap ringan. "Dari mana  kraeng tua tahu bahwa dia orang Manggarai. Lihat cara jalannya saja. Bila pelan, itulah salah satu tipikal orang Manggarai. Pelan, santai merupakan salah satu tipikal orang kita (Manggarai). Apakah benar? " tanyaku dalam hati. "Orang-orang di negara lain, sebut saja Singapura, Jepang, Korea, jalannya cepat bahkan sambil berlari. Mereka mengejar waktu," katanya menjelaskan. Kita terlalu santai makanya sulit untuk maju," katan doktor  hukum lulusan UNDIP  Semarang yang kini menjadi dosen hukum di Universitas St. Thomas  Medan. Boleh jadi ya..... (JPS, 24 Okt. 2016). Saya coba mengamati diri saya sendiri melalui CCTV. Ya....ilah..... saya tahu pasti betapa lamban pergerakan saya. Mungkin kualitas kesehatan mempengaruhi pergerakan kita. Bila sakit, pergerakan kita melambat. (Saya amati diri saya di CCTV di JPS  pada  Minggu I Nov. 2016).
 Orang Manggarai adalah insan yang belajar dengan berbuat (toing le toming, tae le pande). Pada zaman dulu, kaum ibu mengajak anak perempuan untuk membantunya di dapur, mengurus rumah, mengayam tikar, bantal dan mengurusi kebun. Lalu sang ayah mengajak anak lelaki ke kebun. Di sana akan diajari bagaimana mengasah parang, membuat pagar, membajak sawah, menabur benih, menggembalakan ternak, berburu, meramu dan lain-lain. (JPS, 15 Nove,ber 2016)
 
Orang Manggarai adalah insan yang menganut prinsip: do leleng sa, sa leleng do (beragam dalam kesatuan), sa leleng do (satu dalam keberagaman). Contohnya:  do leleng sa: Diri manusia terdiri dari kepala, badan, tangan  dan kaki. Rangkaian kepala hingga kaki disebut manusia. Ada banyak komponen di dalamnya. Komponen-komponen  diri itu membentuk manusia. Demikian juga sebaliknya, satu manusia terdiri dari beragam komponen (sa leleng do). Prinsip ini berlaku mulai dari  unit terkecil (misalnya pribadi manusia) hingga  unit yang semakin luas (keluarga),  kampung, desa, kecamatan, negara, dunia dan unit terluas ( semesta). (JPS, 15 Nov. 2016, teringat  judul orasi Rm. Dr. Ino Sutam,Pr dalam dies natalis STKIP St. Paulus  Ruteng,  2016: "Do leleng ca, ca leleng do" = kebinekaan dalam kesatuan, kesatuan dalam kebhinekaan. Saya bisa  pahami ini berinspirasikan artikel berikut dalam situs berikut ini:
http://news.detik.com/wawancara/d-3345371/herawati-sudoyo-secara-genetik-asal-usul-orang-indonesia-itu-beragam
 
 
 
2016/11/15 07:32:22 WIB

Wawancara

Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu Beragam

Jakarta - Dari mana asal usul orang Indonesia? Pertanyaan sederhana itu memantik Prof Herawati Sudoyo, PhD menelisik asal-usul orang Indonesia secara genetik.

Sudah 1,5 dekade terakhir, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman meneliti hal itu. Secara genetik, asal usul orang Indonesia itu beragam.

Prof Herawati Sudoyo, PhD, periset Eijkman yang juga Wakil Kepala LBM Eijkman bidang Riset Fundamental memaparkan sekilas tentang riset ini.

(Baca juga: Herawati Sudoyo, Menguak Jasad Teroris hingga Nenek Moyang Orang Madagaskar)

Dalam dalam seminar bertajuk "Collaborative Research in Population Study: A Story of Human Dispersal in Indonesia" di Ruang Auditorium Sitoplasma Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jl Diponegoro No. 69, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2016), Herawati memaparkan risetnya dalam presentasi berjudul "The Peopling of Indonesian Archipelago: Unity in Diversity".

Dalam presentasi itu, Herawati memaparkan tujuan risetnya yang bisa menentukan sejarah pendudukan 13 pulau besar di Indonesia meliputi waktu kedatangan, pola migrasi hingga relasi kawin mawin dengan menganalisa data genetik DNA serta membandingkannya dengan data non-genetik seperti linguistik, etnografi, arkeologi dan sejarah.

Sudah ada nyaris 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA. Hasil risetnya, sudah dimuat di jurnal ilmiah Nature.

Herawati dalam presentasinya menunjukkan secara riset genetik, termasuk kolaborasi dengan peneliti di dunia, asal-usul manusia di Bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan China hingga menuju Australia.
Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu BeragamFoto: Dok. Istimewa

"Pertanyaannya, siapa sih yang bilang 'Oh oke, saya ini orang Indonesia asli lo'. Siapa? Yang mana yang namanya orang Indonesia asli? Itu penelitian sudah di 80 komunitas di Indonesia dengan pendekatan 3 tadi, kelihatan sekali pada dasarnya kita itu latar belakang genetiknya itu campuran," kata Herawati.

Dalam risetnya, Herawati menemukan bahwa orang di timur Indonesia lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara dan orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan suku asli Taiwan.

"Campuran itu sifatnya gradien. Jadi dia tidak rata semua di seluruh negeri ini. Tapi dari barat ke timur ada penurunan, jadi paling tinggi itu Austroasiatik, itu asalnya dari China daratan, dia turun pada waktu masih ada Paparan Sunda, jadi Sumatera, Jawa, Kalimantan dengan Semenanjung Malaya masih jadi satu. Orang-orang itu turun masuk ke Nusantara, membawa genetiknya, kawin mengawin, dengan sendirinya kita memiliki (genetikanya) kan," imbuhnya.

Berikut wawancara dengan Prof Herawati Sudoyo dalam forum seminar dan wawancara dengan detikcom di sela-sela seminar pada Senin (14/11/2016) di LBM Eijkman:

Mengapa Ibu tertarik meneliti asal usul orang Indonesia secara genetika?

Saya mengambil PhD dan saya bekerja dengan salah satu marka populasi yakni DNA mitokondria, tentu lebih ke arah kedokteran. Tujuannya untuk mempelajari struktur populasi di Indonesia. Dan saat itu tidak ada riset tentang populasi di Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika itu secara konsep tentu bisa dikeluarkan karena riset ini terkait dengan etnisitas di Indonesia.

Secara kedokteran, riset ini bisa mempelajari penyakit darah seperti thalassemia. Misal seorang penderita thalassemia setelah periksa ke luar negeri, diagnosanya negatif. Ternyata penyakit ini merupakan kelainan pada DNA dan beberapa terkait dengan etnis. Berkait dengan etnis tadi, diagnosa tidak perlu berputar-putar melainkan spesifik. Sekarang pasien thalassemia tidak perlu diperiksa jauh-jauh dan banyak-banyak. Kita tinggal tanya "Asalmu dari mana?". Misal orangtuanya keturunan Bugis dan Minang, bisa dilakukan tes spesifik yang berkaitan dengan gen Bugis dan Minang.

Bisa diceritakan presentasi riset Ibu berjudul "The Peopling of Indonesian Archipelago: Unity in Diversity" tentang apa?

Sebenarnya saya ambil topik Peopling of Indonesia Archipelago ini bahwa kita mempelajari manusia-manusia semuanya di Indonesia dengan penekanan pada unity in diversity, bahwa kita itu beragam.

Pada prinsipnya bahwa secara genetik dari berbagai pendekatan yang sudah dilakukan, memang kita itu memiliki latar belakang yang bermacam-macam di satu individu.

Jadi di situ tadi saya mengemukakan apa sih yang mau dicapai dari studi seperti ini. Studi ini akan melihat bagaimana struktur dalam populasi.

Struktur populasi itu apakah memang benar, misalnya di satu daerah, misalnya di Jawa saja, itu sama nggak sih dengan di Sumatera, sama nggak sih dengan di Kalimantan? Lebih kecil lagi misalnya, di desa ini sama nggak dengan di desa lainnya?

Jadi kami nggak hanya lihat, dari satu gambaran besar luas, misalnya orang Jawa di Jakarta. Kita benar-benar melihat bagaimana keadaan mereka di tempatnya, kalau bisa. Jadi originnya.

Dari riset tersebut apa yang bisa kita lihat?

Kita menggunakan berbagai macam marka populasi. Diturunkan dari ibu itu namanya DNA mitokondria, diturunkan dari ayah itu namanya kromosom Y. Tapi sekarang ada yang diturunkan dari keduanya, kalau diturunkan dari ayah dan ibu itu autosomal DNA namanya, itu akan bisa melihat campuran. Karena bapak kita itu asalnya dari 2, ibu juga, demikian seterusnya.
Herawati Sudoyo: Secara Genetik, Asal Usul Orang Indonesia Itu BeragamFoto: Dok. Istimewa


Faktanya, Semua Orang Indonesia "Imigran", Tidak Ada yang Pribumi




Lutfy Mairizal Putra
http://sains.kompas.com/read/2017/10/17/070700023/faktanya-semua-orang-indonesia-imigran-tidak-ada-yang-pribumi

Kompas.com - 17/10/2017, 07:07 WIB
Peta Indonesia
Peta Indonesia(naruedom/Thinkstock)


JAKARTA, KOMPAS.com –- Di Indonesia, ada beragam jenis manusia, mulai dari Jawa yang keling, Sunda yang putih, Tionghoa yang sipit, sampai Papua yang hitam. Lalu, siapa sebenarnya pribumi?
Peneliti Eijkman Institute Profesor Herawati mengatakan, perbedaan fisik diakibatkan oleh adanya pencampuran genetik yang terjadi di tubuh manusia. Peristiwa ini berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu dari sejumlah gelombang migrasi.
Gelombang migrasi pertama terjadi sekitar 60.000 tahun lalu. Bermula dari Afrika, manusia menyebar ke berbagai daerah. Saat itu, kepulauan yang kita lihat di peta Indonesia belum terbentuk.
Kalimantan, Jawa, dan Sumatera masih menjadi satu dataran luas yang disebut Sundaland dengan luas sekitar 1.800.000 Km. Kemudian, Wallacea menjadi daerah sendiri yang kini bisa dikenali dengan wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Sementara itu, Papua masih satu daratan dengan Australia.
Gelombang migrasi kedua terjadi sekitar 30.000 tahun yang lalu dengan datangnya orang-orang Austro-asiatik. Di antara lain mereka berasal dari Vietnam dan Yunan.
“Kemudian bercampur dengan yang (gelombang) pertama kan atau yang pertama tadi sudah jalan terus ke timur sampai ke Papua,” kata Herawati dalam acara Wallacea Week 2017 di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin (16/10/2017).
Gelombang migrasi ketiga datang dari Formosa atau Taiwan sekitar 6.000-5.000 tahun yang lalu. Meski datang terakhir, Herawati berkata bahwa orang-orang Formosa juga turut berpengaruh terhadap bahasa astronesia yang sekarang digunakan.
Meski demikian, pencampuran genetika tak berhenti sampai di situ. Diapit oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Indonesia yang merupakan pusat perdagangan dunia memungkinkan percampuran genetik terjadi lebih banyak.
“Jadi ketika DNA seseorang dites, nanti bisa didapatkan ada China, India, dan Eropa. Kalau Minang kita sudah periksa, ada Eropanya karena itu kawasan maritim,” kata Herawati.
Penelitian Herawati dan koleganya pada tahun 2017 menggunakan sampel DNA dari 500 orang yang berasal dari 25 tempat di regional Asia. Dia juga membandingkan genetika yang telah tersedia di bank genetika dari penelitian sebelumnya.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu menuturkan, dalam konteks indonesia, tidak ada genetika dominan yang menguasai dari barat ke timur. Dari ujung utara, genetika Austro-asiatik lebih banyak.
“Kemudian yang kedua, campurannya astronesia yang dapat dari Formosa tadi, terus baru yang lain. Makin ke timur makin banyak (percampuran),” kata Herawati.
Dia melanjutkan, pencampuran itu juga bisa menjelaskan perbedaan fisik. Karena itu evolusi. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain, semua akan seleksi dan adaptasi, sesuai dengan teorinya Wallace atau Darwin. Yang selamat adalah mereka yang berhasil melewati medan yang sulit.
Adanya migrasi dan analisis DNA juga dapat menjelaskan keberadaan pribumi atau orang Indonesia asli. Bila pribumi sering kali diartikan sebagai orang yang telah mendiami suatu tempat selama beberapa generasi, sains berkata sebaliknya.
“Pribumi itu 100 persen. Nah, yang 100 persen mana kalau kamu melihat hasilnya tadi? Tidak ada satupun yang 100 persen,” kata Herawati.


Orang Manggarai adalah insan yang menyimbolkan manusia dengan matahari. Perjalanan hidup manusia  ibarat peredaran matahari. Matahari itu terbit (par)  lalu perlahan naik hingga tinggi tegak (lesak leso), perlahan turun  menuju ke Barat (sale main leso), wiga kolep (terbenam).

JPS, 24 Januari 2017

Orang Manggarai adalah insan yang mendaulatkan laki-lakai dalam kehidupan  berumah tangga  sebagai penjamin perekonomian bagi  istri dan anak-anak.  Laki-laki harus bisa memberikan ketersediaan nafkah lahir dan nafkah batin  bagi istri. Hal ini antara lain bisa disimak dalam lagu: "E nana e...a, eme ngo pala (landang) pedeng aku kala rantang pala kala data nana e. E nana e...a... eme ngo caci pedeng aku raci rantang pala raci data  nana e. 

VMG - JPS,  4 Februari  2017

  Orang Manggarai adalah insan yang memandang bahwa tujuan hidup manusia, terutama hidup perkkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Perkawinan akan sukses bila memiliki banyak anak, sampai- sampai orang tua kerepotan untuk mengurusnya, bahkan saking  repotnya,  kakipun tak masalah bila kecipratan kotoran  buah hati. Dalam  go'et  dibahasakan demikian: "Porong one kaeng  kilo de meu, manga anak lanar, wing do,  beka agu buar, tai' sala wai' borek sala bosel" (Semoga persekutuan hidup kalian, beranak banyak , beranak cucu,  bertambah banyak, hingga kaki kecipratan kotoran, betis tersiram berak".
VMG - Jalam Raya Bekasi di atas motor  dan JPS, 6 Februari 2017
  Orang Manggarai adalah insan yang melihat ayah (bapa) sebagai sosok pengajar dan pendidik dalam keluarga. Bila seseorang melakukan suatu tuturan atau laku yang tak disukai maka orang itu akan diprotes sebagai orang yang kurang dididik oleh ayahnya. Dalam situasi pertengkaran, seseorang yang kesal  terhadap seseorang bisa saja mengeluarkan kata-kata komplain seperti ini: "Toe toing le emam hau ko?" (Apakah kamu tak diajari oleh ayahmu?), atau "Ne nggitu toing le emam hau ko?" (Begitukah ayahmu mendidikmu?).
VMG - JPS, 11 Februari 2017.
Orang Manggarai adalah insan yang melihat tujuan hidup adalah untuk perkawinan dan tujuan perkawinan adalah  untuk mendapatkan keturunan. Dalam pandangan klasik, perkawinan merupakan satu-satunya opsi hidup manusia Manggarai, tak ada opsi yang lain. Karena itu bila ada orang yang tidak kawin hal ini dianggap sebagai keanehan hidup sosial,  kejanggalan hidup bermasyarakat.  Lebih lanjut bagi orang yang sudah berkeluarga,  mendapatkan keturunan merupakan suatu tujuan utama perkawinan. Pasangan yang tak memiliki keturunan dianggap orang-orang gagal dalam hidup. Orang yang tak punya keturunan bakal punah  batang  pakan yang berasal dari  tumbuhan. Kepunahan ini sering diungkapkan dalam  bahasa adat: "mempo neho elong, puka neho munak" ( binasa seperti pakan - batang  keladi, pisang - , kering kerontang seperti lapisan  kering pisang."
JPS, 4 Maret 2017.
 Orang Manggarai adalah insan yang menganut patrilineal dalam mana laki-laki yang berkuasa pada wilayah publik (sosial), seperti  dalam hidup keluarga, suku, dan kampung. Dalam kaitan dengan hidup perkawinan, terutama dalam pencarian jodoh, laki-laki harus aktif mencari gadis, sedangkan perempuan  pasif menunggu lamaran lelaki. Suatu penyimpangan adat bila berlaku sebaliknya,  perempauan yang aktif mencari, apalagi  memaksakan diri sambil mengklaim seorang lelaki  sebagai suaminya.  Bila ini terjadi, ini memalukan secara adat. Keaktifan tak lazim perempauan ini dalam mencari jodoh dirumuskan demikian dalam seloka (go'et) adat: "nggepo kebor, sau alu " ( harafiah: memeluk irus,  memegang alu).  Irus (kebor) dan alu merupakan simbol  kepriaan (maskulinitas) sedangkaan   periuk (lewing)  dan lesung (ngencung) merupakan simbol kewanitaan (femininitas).  Laki-laki dan perempuan merupakan dua sejoli  yang harus saling melengkapi dalam menunaikan suatu tugas kehidupan, ibarat kerja  periuk (lewing) dengan irus(kebor) dalam menanak nasi  atau lesung (ngencung) dengan alu dalam menumbuk  padi. 
Orang Manggarai adalah insan yang menekankan persatuan dalam hidup  bersama. Dari awal (pa'ng) hingga  ujung (ngaung) kampung diharapkan bisa bersatu. "Pa'ng olo ngaung musi, komong olo, iko musi,  neka bantang bana, neka tuka dio. Landing kali ga, nai sa anggit tuka sa leleng, Ipung sa tiwu neka woleng wintuk, pake sa wae neka woleng tae, muku sa pu' neka woleng curup, teu sa ambong neka woleng lako."  Di sini  tampak bahwa kampung disimbolkan sebagai makhluk hidup, diibaratkan sebagai  binatang yang ditunggui oleh penjaga. Para penjaga, bik di awal (pa'ng) maupun ujung (ngaung)  tetap bersatu  padu.
Terinspirasi dari ngobrol di Cikarang di rumah Leo pada 28 Maret 2017, saat kumpul keluarga saat libur Nyepi: "Komong olo iko musi," demimian Leo. Saya sadar konsep itu mirip  kesatuan suku Lamaholot, Flores Timur, yang mana saat  ada kurban  hewan, tiap-tiap orang punya fungsi saat mempersembahkan  hewan korban kepada wujud tertinggi atau kepada leluhur. Dalam kisa Wato Wele Lia Nurat dikisahkan bahwa ketika  mempersembahkan hewan kurban ada 4 orang (suku) yang menjalankan fungsi saat itu. Kempat orang (suku) itu adalah Koten,Kelen, Marang dan Hurit. Di Flores Timur, pembagian suku didasarkan pada kedudukan dan fungsi dalam melakukan upacara ritual di Nuba Nara. Orang yang bertugas memegang kepala hewan korban adalah suku Ama Koten; yang memegang bagian belakang hewan korban Ama Kelen; yang bertugas membacakan doa Ama Marang, dan yang membunuh hewan korban Ama Hurint (Taum, 1997: 8). (Lihat http://adonarakayan.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html)
JPS, 29 Maret 2017.   
Orang Manggarai adalah insan yang memandang tanah itu sebagai simbol perempuan (ibu). Dalam mitos.  perempuan Manggarai lahir dari ular naga ular sawah (nepa). Kampung dijaga oleh binatang ular sawah ini  (naga beo).
JPS, 28  dan   29 Maret 2017.
Orang Manggarai adalah insan yang tak memiliki perencanaan keuangan yang baik. Hal ini terutama terjadi pada masyarakat tradisional. Hal ini yang membuat berbagai  upacara, terutama upacara kematian dan perkawinan  mahal. Dal;am upacara kematian  pihak keluarga berduka  umumnya tak mempersiapkan   dana demi kelancaran acara itu. Maka demi kelancaran acara,  biaya kematian dibebankan kepada   anak wona (woe) dalam bentuk sida mata. Sida mata adalah  sejumlah uang atau hewan yang harus ditanggungkan anak perempuan atau saudari dalam rangka memperlancarkan acara kenduri anak rona.   Dalam perkawinan ada istilah sida laki. Sida laki adalah  sejumlah uang atau binatang yang harus ditanggung oleh pihak   saudari yang sudah menikah ( anak wina (woe) )  dalam rangka kelancaran urusan perkawinan  saudara (anak rona). 
JPS, 12 April 2017
Orang Manggarai adalah insan  yang mengharapkan kesuksesan dalam perjuangan hidupnya, baik  dalam hidup karier, hidup berkeluarga. Dalam mengerjakan tanah pertanian misanya, ada harapan bahwa segala usaha pertanian sukses. 
* Saat panen padi misalnya, ada harap untuk menuai  kesuksesan. Kesuksesan itu terungkap dalam   seloka (go'et) berikut ini: "Ako neka lako, lalap neka lampa". Neka ndohong woja longko, neka hang le kaka woja laka. Saat  panen jagung ada harapan kesuksesan juga sebagaimana terungkap dalam go'et berikut: "Gok latung soko, mbalur latung galung". 
* Dalam hidup berkeluarga, ada harapan kesuksesan pada manusia sebagaimana terungkap dalam seloka (go'et) berikut: "Wua rasi weri, lebo kala po'ng (pinang berbuah, sirih bertumbuh segar) ; anak lanar wing do, tai sala wai', borek sala bosel ( beranak pinak, hingga sibuk untuk menanganinya saki banyaknya).
 * Dalam  karier ada harapan agar sukses sebagaimana terungkap dalam seloka (go'et) berikut: "Wake seler ngger wa, saung bembang ngger eta (akar terhujam jauh ke tanah, daun  rimbun segar ke atas); uwa haeng wulang, langkas haeng ntala (tumbuh mencapai bulan, tinggi  meraih bintang).
* Dalam hidup komunitas  (keluarga / suku / kampung) ada harapan  tumbuhnya persatuan yang kokoh: Teu sa ambong neka woleng jaong, muku sa pu' neka woleng curup (Tebu serumpun jangan berlainan kata, pisang serumpun jangan berlain tutur) ; Ipung sa tiwu neka woleng wintuk, pake sa wae neka woleng tae (ikan sekolam jangan berlainan  tingkah, katak seair jangan berlainan bicara).  "Neka behas neho kena, neka koas neho kota (Janganlah terlepas seperti pagar, jangan runtuh seperti  batu susun  (katur)  berantakan)).
JPS, 20 April 2017.
  Orang Manggarai melihat kematian sebagai panggilan ilahi. Setiap manusia wajib humumnya  menerima panggilan itu. Ini suatu kepastian. Hanya waktunya yang tak pasti.  Orang yang menginggal dianggap pergi menjawab panggilan Tuhan. "Poli benta le morin hia ga" (Dia sudah dipanggil Tuhan).
 JPS, 20 April 2017.
  Orang Manggarai mengenal prinsip sesama mengenal sesama (bae sama taud), termasuk kekuatan dan kelemahan. Maka untuk mengatasi masalah maka harus  melibatkan  oran dalam keluarga, suku, kampung. Prinsip sesama mengenal sesama (bae sama taud) dipakai untuk memecahkan masalah kehidupan, misalnya, bila ada orang yang hilang dan dicurigai dibawa /dilarikan oleh jin . kuntilanak, peri (darat), maka untuk mencarinya harus menggunakan  gendang. Mengapa menggunakan  gendang? Karena menurut mitos orang Manggarai, gendang itu awal mulanya terbuat dari kulit manusia yang bernama Nggera (Nggerang). Nggerang berasal dari peri (darat).  Membawa gendang, membunyikan genderang sama artinya bahwa sesama sebagai peri (darat)  turut mencari.  Nggerang tahu seluk  beluk kehidupan peri. Bila benar orang hilang itu dibawa oleh peri (darat)  tentu dia akan diketemukan lagi. Prinsip ini dipakai dalam banyak hal kehidupan orang Manggarai, termasuk dalam  kehidupan modern.
  Orang Manggarai adalah insan yang menganut  sistem patrilineal, di mana dalam hidup sosial (keluarga /suku / kampung)  yang berhak memegang kekuasaan adalah laki-laki. Maka laki-laki harus aktif, sebaliknya perempuan pasif menunggu lamaran lelaki.  Adalah sesuatu yang tidal lazim apabila perempauan aktif  melamar atau  mencari laki-laki, apalagi sampai mengkalaim sebagai pacarnya.  Ini hal yang memalukan bagi orang Manggarai. Bila hal ini terjadi maka merupakan suatu deviasi (penyimpangan). Perempuan yang melakukan hal itu secara adat sungguh memalukan. Perempuan yang melakukan hal itu disebut nggepo kebor sau alu (memeluk irus,memegang alu). Ini adalah bahasa simbolis. Irus (kebor) dan alu adalah simbol alat kelamin laki-laki.Sedangkan perempuan dilambangkan (disimbolkan)  dengan periuk (lewing) dan   lesung (ngencung).
VMG, 23 Maret 2017, disalin dari catatan HP Nokia ke blog di JPS pada Selasa, 16 Mei 2017.
Orang Manggarai adalah insan yang menyadari bahwa dirinya terbatas, karena itu perlu bantuan orang lain. Keterbatasan ini diungkapkan dalam seloka (go'et): toe ngance soket le ru lopat (kotoran dari luar yang masuk ke bola mata tak bisa keluarin / diangkat sendiri). 
VMG, 9 April  2017, disalin dari catatan HP Nokia ke blog di JPS pada Selasa, 16 Mei 2017.Inspirasi berdasarkan obrolan dengan keponakan di Mataran Tin Jemumut padaKamis,  6 April 2017, ketika membahas kasus keluarga yang menimpa  Hila.
Siapakah orang Manggarai itu? Orang Manggarai adalah insan  yang percaya bahwa ada kehidupan baru setelah kematian. Kematian dipandang sebagai jalan menuju ke kehidupan baru. Kehidupan baru itu harus diwartakan dan dikumandangkan kepada sesama warga kampung bahkan kepada warga kampung lainnya. Warta harapan ini dinyatakan lewat meriam bambu.  Setiap orang yang meninggal harus dibunyikan meriam bambu. Mengapa harus menggunakan bambu?  Bambu dipakai sebagai sarana pewartaan kehidupan baru  karena  bersadarkan mitos Orang Manggarai,  bambu merupakan  sarana penciptaan manusia manusia. Berdasarkan mitos Manggrai , manusia  pertama Manggarai berasal dari bambu. Kisah penciptaan dari bamboo ini orang Manggarai ungkapkan dalam seloka adat (goet): “Bengkar one mai belang, bok (bo / bokok)  one mai betong”. (pecah dari belang (sejenis bambu) / tunas dari bambu)).  Meriam  bamboo  yang dibunyikan  pada saat kematian merupakan  preseden  warta optimisme  bahwa  orang yang meninggal akan memasuki kehidupan baru. Kehidupan baru sebagaimana yang dikumandangkan dalam seloka  adat (go’et) : “Bengkar one mai belang, bok (bo / bokok)  one mai betong”  pada awal kehidupan, kini  harapan itu  dipertegas kembali  melalui meriam bambu  bahwa  ada kehidupan baru  setelah kematian. Kematian merupakan sarana menuju kehidupan baru.  (Patung Kuda, Ifolia – Harmony, Harapan Indah, di atas motor, 14 Mei 2017. Saat perjalanan ke Gereja untuk ikut misa sore dalam rangka HUT ke -2 Paroki St. Albertus Harapan Indah, Bekasi. Sampai saya  bisa refleksi ke meriam bamboo saat kematian bahwa saat tiba-tiba memikirkan  tulisan meriam bamboo tradisi  Natal / Tahun Baru di Manggarai dengan membunyikan  meriam bambu. Tulisan ini sempat muncul di kompas.com beberapa tahun yang lalu. Ketika membaca artikel ini,  otak saya  sulit menerimanya. Malah saya mengkritiknya. Saat ini saya memahaminya. Saya bertanya-tanya saat itu. Kebingungan ini saya bawa sepanjang hidup termasuk saat ini. Baru saya paham ketika saya memutar memori saya bahwa pada saat orang di kampung meninggal,  orang membunyikan meriam bambu (pande bo). Orang akan memotorng bamboo. Pada buku pertama dilubangi lalu diisikan minyak tanah. Penyekat buku-buku yang lain dihancurkan, sisakan satu penyekat buku agar bisa menampung minyak tanah. Setelah itu   ambil api dari api unggun lalu  dimasukkan ke lubang bambu sehingga bisa menghasilkan bunyi meriam.  Selain pada hari kematian, Meriam bambu dibunyikan lagi  hari ketiga setelah dikuburkan (saung ta’).
Pada saat kelahiran, tali pusat  bayi dipotong menggunakan  bilah bambu (lampek). Bilah bambu dipakai karena berkaitan dengan  kehidupan baru yakni bayi. Jika sebelumnya jabang bayi bersatu dengan ibu, maka dengan dipotongnya tali pusat itu menunjukkan bahwa  sekarang bertambah lagi kehidupan baru dalam diri bayi yang baru dilahirkan.
Bambu memiliki peranan penting bagi manusia Manggarai. Orang Manggarai mengenal beberapa jenis bamboo yakni:
      1 .       Bambu (betong): bamboo yang besar yang biasa dipakai untuk berbagai keperluan misalnya untuk membuat rumah,  perabot rumah tangga, saluran air, kandang, sayur, kayu abngunan, kayu bakar, meriam
      2.       Pering: bamboo sedang yang biasa dipakai untuk berbagai keperluan misalnya untuk membuat rumah,  perabot rumah tangga, saluran air, kandang, sayur, kayu bangunan, kayu bakar,  anyaman sangkar ayam, pelapis ayaman keranjang,
      3.       Belang, jenis bamboo yang ukurannya hampi sama seperti  pering hanya,  belang agak tipis, cocok untuk membuat sangkar ayam (bebek / burung)  dan membuat anyaman nyiru,  wadah simpan padi kering /jagung kering / kopi kering (lancing)
      4.       Aur (gurung / talok /woli). Dipakai untuk membuat ayaman bakul, keranjang, dll.
      5.       Helung, jenis bamboo untuk membuat seruling bamboo. Bentuknya agak kecil
      6.       To’e “ jenis bamboo / aur yang berduri, dipakai untuk membuat pagar, kandang ayam
Patung Kuda - Harmoni - Harapan Indah, di atas motor ketika hendak ke Gereja untuk ikut misa sore pkl 17:30 pm,  Minggu, 14 Mei 2017, pkl 17:05 lalu dicatatt di HP  lalu  diblokan pada 19 Mei 2017 pkl 15:57 pm.
Orang Manggarai adalah  insan yang harus bisa mengatasi (mengakali) masalah. Hal ini sejalan dengan  seloka adat (go'et): "poti paka bae gojing,  nepa paka bae krenda" (setan harus bisa disembuhkan, ular sawah harus bisa diakali).   (VMG Kamis, 15 Juni 2017  dan JPS, 16 Juni 2017).
Orang Manggarai adalah  insan yang harus mengingat dan berbakti kepada tanah airnya. "Neka hemong kuni agu kalo" (Jangan lupa kampung halaman). 
VMG - JPS, 3 Juli and 5 Juli 2017.
Orang Manggarai adalah  insan yang hidup berkelompok, termasuk di tanah rantau. Namun, kadang juga bahwa kebiasaan yang kurang produktif dipraktekan juga pada saat itu, misalnya mengisi  waktu dengan berjudi (main kartu), sambil minum kopi.
VMG - JPS,  5 Juli 2017.
Orang Manggarai adalah orang cenderung  malas pakai akal. Bahkan kadang mengikuti naluri binatang. Koq bisa? Simak saja di kampung-kampung. Suatu kali di  bulan Juli 2016 saya mengunjungi keluarga di  Golo Karot Lembor. Ketika bangun di suatu pagi, saya terkejut melihat kawanan sapi dan kambing serta babi berkeliaran mencari rumput. Mereka mengincar tanaman-tanaman hijau kakakku  yang ada dalam pagar.  Koq binatang-binatang ini  berkeliliaran bebas  kak? tanyaku kepada saudariku. I ya itu hewan-hewan tetangga. Kenapa ya,  tanah dan tumbuhan yang tidak bergerak kita pagari sementara hewan tak  dikandangkan?  Orang Manggarai adalah orang cenderung  malas pakai akal, malah mengikuti naluri binatang-binatang (babi, sapi, kambing) yang berjalan kian kemari mencari rumput hijau, tak peduli apakah  itu pantas atau tidak, boleh atau tidak boleh.
VMG  12 Juli 2017, JPS 13 Juli 2017
Orang Manggarai adalah orang yang cenderung menyukai kestabilan dan homogen, tak mau berubah, tak mau berinovasi, tak mau mencoba. Di suatu kawasan kadang pendatang yang cenderung lebih maju secara ekonomi  daripada tuan tanah. Mungkin karena pengalaman yang homogen, cenderung sama, sementara pendatang, mereka  memiliki  pengalaman yang berbeda. Di sini faktor pengalaman memainkan peranan penting, sebagaimana ujaran leluhur dalam   go'et  berikut: Lahos lako don ita (bae),   lewen lonto don tombo.   
VMG  12 Juli 2017, JPS 13 Juli 2017   
Orang Manggarai adalah orang yang berusaha  menjadikan pengalaman hidup, terutama pengalaman pahit (mose kasi - asi) sebagai bahan pelajaran sekaligus sebagai cambuk untuk menata diri meraih kesuksesan, mengubah keadaan hidup. Orang Manggarai mengungkapkan hal itu dalam seloka (go'et): pa'it-pa'it nai.
Orang Manggarai adalah insan  yang menjadikan nasi sebagai makanan utama pada sajian makan harian. Orang Manggarai tak bisa melepakan diri dari nasi. Ketiadaan nasi menempatkannya dalam kondisi kekurangan (kemiskinan) akut. Ini sangat memalukan, karena nasi menjadi sajian utama (primer) dalam acara makan.Orang Manggarai biasanya  makan tiga kali sehari, yakni pagi, siang dan malam. Biasanya pada pagi, dan sore ada makanan lain, seperti  ubi kayu (singkong), talas, keladi, ubi tatas, pisang, jagung. Meskipun sudah mengkonsumsi makanan jenis ini, orang Manggarai merasa belum makan. Bagi orang Manggarai, yang dikatakan makan itu harus makan  nasi.  Nasi menjadi salah satu prioritas tujuan  hidup orang Manggarai.Jika sesama orang Manggarai bertemu  dalam suatu perjalanan dan bertutur sapa, maka salah satu pertanyaan yang sering ditanya, tujuan perjalanan (ngo apa). Biasanya jaasannya adalah salah satu dari dua hal ini,   pergi cari hidup (ngo kawe mose)  atau cari makan (ngo kawe hang). Pergi cari makan (ngo kawe hang) sering  dieufemismekan dengan sebutan berikut:  pergi cari butir-butir besar yang patah (ngo kawe sewung tepo), pergi cari butiran jagung (nga kawe bombo), pergi cari kolak (ngo kawe labek).
JPS, 21 Juli 2017
Orang Manggarai adalah insan  yang  menyatakan (mengungkapkan)  perasaan secara terukur, terutama perasaan senang dan sedih. Perasaan senang misalnya,  ada ungkapan : Tawa lima gantang, reges lima leke, imus lima ribu ( minggu) (tikung / siku/ timung /  tilung / wingkul /); neho joreng tuka koe, neho jereng tuka mese; kapu toe pau', pola toe gomal, eko toe wetot; kapu neho wua pau, naka neho wua nangka;  su'ng  eta ulu, sepak (lemba) eta ledar; Perasaan sedih misalnya, Lengge leong wase deko; ilong lima kilo, ritak lima bila, senger lima sewe (rewek). 
Permintaan maaf dan memohon izin : sembeng segolo mese, somba selongka
Kualitas seseorang, termasuk  kecantikan dan  status sosial diungkapkan  secara terukur:
Misalnya dalam  goet: Lima tondol watu lonto, lima lancing watu asi; lengge leong wase deko
  Kedalalaman kualitas sesuatu diungkapkan dalam go'et: kimpir neho kiwung - sama kiwung  tuak, sirang neho rimang,  sama rimang rana.
Rasa, terungkap dalam: 
Lemba lojot sama timung / teu lobo
Pa'it sama rea
 
Warna: Miteng  tihel sama riti lewing
 
 

VMG, 28 Juli 2017, JPS, 29 Juli 2017
  Orang Manggarai adalah insan  yang percaya bahwa hidup manusia itu tidak selesai (berakhir) di dunia ini, tetapi masih dilanjutkan di  dunia  lain. Jasad boleh hancur tetapi jiwa abadi. Sesekali jiwa bisa mengungkapkan diri dalam  dalam rupa binatang, misalnya burung, belalang, dll (rengka, adok).  "Saat saya pergi libur pada Juni - Juli 2017 lalu, saat kumpul di Rumah Gendang Wela, ada sejenis belalang (adok) masuk rumah, bertengger di wajah  tangan saya. Ah... ini pasti Monek (Bone Kaso). Beliau datang menyapa saya. Monek, selamat malam, saya sudah tahu, kamu datang untuk menyapa saya. Setelah saya mengatakan demikian, belalang (Adok) terbang keluar rumah. " kata Feus pad Minggu 3o Juli 2017.  Bone Kaso sudah meninggal beberapa tahun lalu (2015?). Feus masih di Jakarta ketika beliau meninggal. Feus tinggal di rumah gendang bersama  Bapak Bone Kaso.
Pada malam Sabtu, 29 Juli 2017, saya main ke rumah saudara saya, Rony Rama di Perumahan Bukit Tempayan River View, Sawangan Permai, Depak, Jawa Barat. Ketika ngobrol dengan Mama Regina yang datang dari kampung Wela pada Rabu, 26 Juli 2017, di  loteng saya lihat sejenis belalang (adok). Saat makan malam, adok itu terbang. Ini ada tamu ini. " kata Festo sambil mengungkapkan pengalamannya di atas. "Mungkin itu  almarhum Bp Gaspar. Beliau  yang jaga rumah ini, menurut pengakuan  Rony," kataku dalam hati. Lalu kami ngobrol-ngobrol sambil nonton TV, dan nonton sambil dengar video rekaman Acara Syukur keluarga besar Jaling - Asang , suku  Maras Welo di Wela , 3 - 4 Juli 2017.
JPS, 31 Juli 2017.
  Orang Manggarai adalah insan  yang percaya  bahwa mimpi memiliki arti (makna). Kalau mimpinya baik tentu membahagiakan. Itu tenta tak jadi masalah. Tetapi, bagaimana kalau mimpi buruk sehingga artinya juga buruk, yang mendatangkan malapetaka bagi pemimpi atau keluarga yang dimimpikan? Menurut orang Manggarai, bila mimpi buruk dan penafsirannya pun mendatangkan kedukaan, maka perlu dilakukan ritus dalam rangka menolak bala (duka)  dalam mimpi itu. Orang harus mengadakan ritus adat  guna menghindari malapetaka sebagaimana yang diperlihatkan dalam mimpi / tafsiran.  Di sini, orang harus mengadakan korban sembelihan binatang , biasanya ayam, yang disebut  ayam tolak bala (manuk kando nipi daat). Biasanya ayam hitam. 
JPS, 2 Agustus 2017
Orang Manggarai adalah orang yang perlu melakukan aksi biar orang tahu kualitasnya. Dalam aksi akan diketahui kualitas seseorang. Di situlah nanti kita dan orang tahun kekuatan dan kelemahan kita ataupun kekuatan atau kelemahan orang lain. "Nitu baen sirang (cirang) agu hembet". 
Perumahan Bukit Tempayan River View, 30 Juli  2017, JPS, 2 Agustus 2017. Inspirasi ngobrol Feus dengan Rino - John.   
Orang Manggarai adalah orang yang perlu bangga  dan puji diri namun jangan berlebihan. Jangan seperti burung Tekukur yang selalu bangga dengan dirinya: "Tekukur ndereng daku wai, tekukur mbilet daku wulu, tekukur sabuk daku loke (Tekukur merah kaki saya, tekukur, mengkilat bulu saya, tekukur abu-abu warna kulit saya). " Perlu  bae (pesing)  weki ru landing neka hemong lelo kole hae ata. Ai du lelo hae ata, ite nganceng wolo weki ru". Perlu bercermin diri sambil melihat (belajar) dari orang lain. Dengan belajar dari orang lain  kita  bisa menilai diri. Dalam hidup bersama perlu mendengarkan juga orang lain, meski orang kecil / lemah sekalipun. "Perlu senget tombo data hae, maram sisa de kole berat". Kode berat (kera bunting) adalah simbol orang lemah , kecil, tak dianggap. Namun, meski demikian secara status sosial ekonomi,  ocehan (suara) mereka  perlu didengarkan.
Refleksi berdasarkan obrolan dengan Om Stef Agus di Perumahan   Jatinegara Baru, Jakarta Timur  pada Minggu 13 Agutus 2017.
Baru ingat Rabu, 16 Agustus 2017 dan catat di blog ini 17 Agustus 2017.
  Orang Manggarai adalah makhluk bersama (sosial) dan sendiri (individu). Tampaknya  sepeprti uang dengan 2 sisi, sisi satu makhluk sosial dan sisi sebelahnya adalah makluk pribadi (individu). Sebai makhluk sosial, ada uangkapan bahwa  bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri, seperti  dalam go'et: toe nganceng pola hanang koen betong se tede; toe nganceng sopat le ru lopat".  Sebagai makhluk  pribadi (individu), ada ungkapan  bahwa " wai woleng lampa, lime wolwng wajong / wejong.
Orang Manggarai adalah makhluk  yang sadar bahwa dirinya merupakan  bagian dari  alam. Namun kesadaran untuk merawat alam sangat payah. Orang Manggarai sangat bersemangat dalam membabat namun sangat  malas dalam menanam. Hal ini bisa dilihat pada kondisi hutan di Manggarai. Kondisi hutannya semakin  gundul. Meski demikian, tak ada upaya sadar untuk menanam kembali kawasan yang telah gundul itu. Malah  usaha penebangan hutan semakin masih daripada usaha untuk menanam kambali pohon baik di hutan maupun di  kebun kamunal / individu. (VMG - JPS, 16 Sept. 2017).
Orang Manggarai adalah makhluk  yang menyadari bahwa pendidikan adalah hal yang penting  menuju perubahan kehidupan individu  dan masyarakat yang lebih baik. Karena itu, pendidikan dipandang sebagai salah satu hal utama. Orang Manggarai rela hidup sederhana bahkan miskin asal  demi meyekolahkan anggota keluarganya. Orang Manggarai akan bergotong royong (dole oles todo kongkol, olo olon - musi - musin) dalam rangka bersatu mengupayakan dana pendidikan untuk anggota keluarganya  malalui kegiatan  galang dana  pada pesta sekolah. Orang merelakan waktu, tenaga dan dana dalam rangka mengumpulkan uang untuk membiayai pendidikan anak-anak atau anggota keluarganya. Bagi  orang Manggarai, pendidikan merupakan  gerbang menuju perunahan kehidupan yang lebih baik. Untuk orang yang sekolah tentu  ada harapan yang disandangkan pada pundaknya agar serius menimba ilmu  sehingga sukses mmeraih gerah sebagaimana terungkapan dalam seloka adat: "porong buku kali nuk, porong sekola kali momang; lemba BA, kapu doktorandus, sogol doktor"  (semoga buku saja yang dipikirkan,  sekolah dicintai, mendapatkan gelar BA, menyandang gelar doktorandus   dan menyegel  gelar doktor). (JPS, 21 Oktober 2017). 
Orang Manggarai adalah insan yang diharapkan berpikir  untuk  bisa  mengatasi masalasah, biisa mengakali sesuatu. Hal ini sesuai dengan seloka adat: "poti paka bae gojing, nepa paka bae krenda (VMG 15  Jan. 2017, dicatat ulang di JPS 22 Okt. 2017).
Orang Manggarai adalah insan yang mengakui bahwa  masalah itu  datang dari dalam dan luar diri. Dari luar diri, kadang sesama merupakan musuh, "ata Manggarai mberes heres agu sempeng pande toe retes agu meler.  (Stasiun  Depok Baru, KRL  15 Okt. . 2017, dicatat ulang di JPS 22 Okt. 2017).
Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa  sangat penting memperjuangkan kesuksesan anak pertama karena  itu menjadi pembuka jalan bagi keberhasilan anak berikutnya. "Ata  ngaso karong salang lako. Nggalong ata ngaso, mburuk ata  susu.  Eme lancar ata tesan, lako ndarut sanggen taung hae wau'. Eme ragok agu mados  ata ngaso, lako angos sesapo  agu  hae kampong. (VMG, Lapangan Blok B, saat jogging  dan JPS, 26 Oktober 2017.)
Orang Manggarai adalah insan yang menjunjunng tinggi persahabatan. Penting untuk mengolah diri, termasuk kemarahan dan dendam. Diharapkan bisa lepas bebas dari amarah dan dendam. Amarah dan dendam itu menyakitkan. Orang Manggarai harus bisa sampai pada level ini. Orang harus sabar dan tetap bersahabat walaupun dalm situasi sulit dan menyakitkan. Permainan caci mengungkapkan hal ini. Meskipun sudah dicambuki dalam aksi  mencambuki dan menangkis secara resiprokal, meskipun ada luka mengenai tubuh, pemain caci  diharapkan tetap sabar, ramah dan gembira  dan bersahabat dengan lawan tandingnya. "Caci  pande ambi nai, tetap tawa  kunem manga dara one ranga." (Caci aksi menata hati, tetap tersenyum walau wajah berdarah).  JPS, 26 Oktober 2017.
Orang Manggarai adalah insan yang  umumnya  memiliki pandangan bahwa hidup ini sebaiknya dijalankan saja daripada dipikirkan. Hidup itu mudah dijalankan, sulit kalau dipikirkan. (Status FB Astrid - istrinya Raffly).
JPS, 27 Oktober 2017.
Orang Manggarai adalah insan yang  meyakini bahwa  kebaikan menang atas kejahatan (keburukan). Penguasa kebaikan yakni Tuhan memiliki kekuasaan untuk mengalahkan kejahatan. Orang manggarai dituntun untuk melakukan kebaikan, walaupun ada orang yang melakukan kejahatan terhadap dirinya. Berhadapan  dengan orang jahat orang Manggarai sering pasrah kepada Tuhan. Bialah Tuhan akan menunjukkan kekuasaannya dan keadilannya. Kebaikan pasti menang. Orang yang melakukan kejahatan tentu akan  mendapat hukuman. Bila bukan pada dirinya maka bisa menimpa keturunannya. Orang Mangarai percaya bahwa Tuhan akan menegakan keadilan dan Tuhan melihatnya. "Bom toe Morin te lelo"  (Ada  Tuhan yang melihat).  Keyakinan ini mengajak orang Manggarai untuk selalu mawas diri karena setiap perbuatan ada resikonya. Resiko itu bukan hanya menimpa dirinya pribadi tetapi juga bisa menimpa keturunannya. Keyakinan ini baik  dan perlu dirawat  dalam rangka melakukan yang baik,  benar dan  sebaliknya menghindari yang jahat dan salah.
VMG, 8 November 2017, Hasil obrolan dengan Mm Regina. Bicara soal kehidupan. JPS, 9 Nov. 2017.   
Orang Manggarai adalah  insan yang percaya bahwa perbuatan baik akan dibalas pahala  dan perbuatan buruk akan dikutuk. Roh semesta dan roh leluhur akan memperhitungkan semua itu. Perbuatan baik yang dilakukan kepada orang lain, terutama kepada orang tua, suatu saat dharma bakti itu akan mereka balas, kalau tak sempat di dunia ini maka akan dibalas dari dunia seberang. Segala kebaikan  semasa hidup akan dikenang dan pada suatu  saat ditunjukkan kepada kita. Perbuatan dan perkataan  kita akan ditunjukkan kembali saat kita kembali ke alam baka. Siapa yang rajin berbuat baik maka perbuatan baiknya akan ditunjukkan kembali. Jaong dise empo : "sara dia' dite du mose, teong one radi kid le Mori agu ngaran. Toem morad. Manga terus kid. Nian kali ga,  neka ngonde te pande dia, neka beteng te pande delek". (Kata leluhur kita: perbuatan baik kita saat hidup, dipajang pada gantungan oleh Tuhan  Sang Pemilik Kehidupan. Perbuatan itu selalu ada, tidak hilang. Maka dari itu,  jangan malas berbuat baik, jangan lalai  melakukan hal yang  menguntungkan).
VMG, 12 November 2017, Hasil obrolan dengan Mm Regina. Bicara soal kehidupan. JPS, 13 Nov. 2017.
Orang Manggarai adalah  insan yang   menekankan kesatuan antara perkataan  dan tindakan. Apa yang diucapkan  harus dilakukan. Dengan kata lain , orang Manggarai harus konsisten. Ajaran ini terungkap dalam seloka adat: "Muku sa pu' neka woleng curup, teu sa ambong neko woleng lako" ; Pake sa wae neka woleng tae, ipung sa tiwu neka woleng wintuk" (Pisang serumpun jangan  berbeda kata, tebu serumpun jangan berlainan jalan; Katak seair jangan berlainan bicara, ikan sekolam jangan berlaian laku).
JPS, 13 Nov. 2017
  Orang Manggarai  adalah insan pemberani. Lihat saja permaianan caci. Orang, terutama laki-laki rela mencucurkan darah dalam permainan tradisional, Caci. Permainan caci merupakan persembahan hidup demi memperoleh  keberkahan dan kelimpahan hidup (caci hitu takung mose tegi lebo).
JPS, 20 November 2017   
 Orang Manggarai  adalah insan yang diharapkan menerapkan prinsip hidup adil dalam hidup berkomunitas sebagaimana prinsip tua teno / lodok dalam membagi lodok (tanah ulayat / suku) kepada warga / anggota  suku. Prinsip itu adalah  pati gisi arit, singke gisi iret. (bagi  keping demi keping. belah bagian-demi bagian. Tanah  ulayat (lingko)   Manggarai dibuat  bundar. Lalu  dibagi adil berdasarkan  ukuran  tertentu, lalu ditarik dari  titik pusat (lingko) menuju titik-titkk periferi (pinggir) . Titik-titik pinggit itu disebut sebagai sising. Hidup orang  Manggarai, baik sebagai pemimpin (tua') maupun sebagai rakyat (ro'eng)  harus  memencarkan keadilan.
 VMG - Kampung Bogor  (di atas motor)  - JPS, 6 Des. 2017
Orang Manggarai  adalah insan yang diharapkan memiliki semangat  juang tinggi dan kerja keras sebagaimana  seloka (go'et) adat: duat gula -gula, we' mane-mane (kerja pagi-pagi, pulang sore hari).
 VMG - Kampung Bogor  (di atas motor)  - JPS, 6 Des. 2017   
Orang Manggarai  adalah insan yang diharapkan bisa mengambil hikmah dari sesuatu pekerja. Bila melakukan sesuatu pekerjaan, sedapat boleh  menimba nilai atau sesuatu yang bermanfaat. Investasikan yang ditanamkan baik oleh orang tua dan anggota keluarga lain atau  kebaikan siapun, dalam rupa uang atau makanan - minuman, poakaian, seyogyanya tidak sia-sia tetapi ada hasil yang bisa dibawa pulang.  Tentang sikap mental yang memiliki tujuan ini,  leluhur  mengajarkan kepada generasinya bahwa sesuatu barang yang telah diterima (dipakai, dimakan, dikonsumsi) harus mendapat  nilai  untuk kita. "Neka hang kanang kaut hang, paka manga hasil. Porong gunan kue wuat, manga nipun koe inung, manga sir  koen jirit " (  Janganlah makanan habis begitu saja. Kiranya ada gunanya sarapan, ada tujuan minuman,  ada hasilnya jalan -jalan. ).
JPS, Kamar Mandi, 11 Des. 2017   
Orang Manggarai  adalah insan yang memiliki kesadaran bahwa  menusia itu rapuh, rentan, mudah jatuh. Hal ini bisa disimak dalam seloka adat (go'et) : Mori, ami ho' dara one galang, wae one wolo (Tuhan kami ini darah di palungan bambu, air dalam wolo (tabung  / tabung  bambu?).   Menyadari bahwa hidup ini rentan, maka  dibangunlah konsep hidup dengan yang lain dalam strata sosial, mulai dari strata yang paling primer, keluarga (kilo)  hingga yang lebih luas, suku (wau'), kampung (beo) / payuyuban  kampung  (pa'ng olo ngaung musi), antara  kampung  (golo (beo) ).  Hal yang sama untuk paguyuban negara, keluarga, RT - RW -  dusun  - kelurahan - kecamatan - kabupaten - provinsi - negara bangsa - PBB. 
JPS, 18 Desember 2017, diketik 19 Desember 2017.

Orang Manggarai adalah  insan yang  cenderung berpikir global lupa berpikir detail. Hal ini dibutikan dengan  kecenderungan melakukan trial  dan error ketika melakukan sesuatu. Orang lain mau meniru design  yang sudah ada (template) tetapi orang Manggarai masih nyeyel menggunakan cara sendiri dengan  sistem trial  dan error. Alhasil gagal total (gatot).  Untuk maju, termasuk dalam bisnis, orang Manggarai  harus  berani meniru orang lain. Setelah  sukses  meniru baru coba membangun design sendiri.
(Hasil  obrolan  di  saat tahun Baru , ` 1 Januari 2018  di Cikarang, bersama Leo, Nando, Bona, Beny, Marcel). JPS, 4 Januari 2018
Orang  Manggarai adalah insan yang percaya pada anggapan bahwa bila sesuatu atau seseorang kenal satu sama lain  itu mendatangkan keuntungan bagi kedua belah pihak  karena saling mengenal bakal mendatangkan  kenyamanan, keuntungan   dan keselamatan.  Prinsip sesama menganal sesama  bakal memudahkan dalam mengatasi masalah.  Konsep sesama mengenal sesama ini bisa simak dalam  kisah -kisah  tragis   Empo Dehong ( nunduk Empo Dehong). Secara singkat Empo Dehong adalah kisah penculikan  dan  pembunuhan warga  oleh tokoh  magis  yang bernama   Empo Dehong  dalam rangka mengambil darahnya untuk dicampurkan dengan   material  bangunan (semen, batu, pasing, air) saat membangun jembatan.  Dalam kisah ini dilukiskan bahwa bangunan yang dicampur dengan darah manusia bakal menjadi kuat, tak  rusak saat banjir melanda karena dalam jembatan ini ada  darah (jiwa) orang. Saat  banjir datang,   roh orang yang  alam jembatan itu akan berteriak. Mendengar terikan itu,  penjaga / dewa  air (sungai / banjir) akan tahu atau mengenal sesamanya sehingga tidak melanjutkan amukannya, malah  tekanannya  atau volume semakin  kecil  sehingga tidak menyebabkan kehancuran jembatan atau merusak  kampung  atau warga sekitar. Dengan demikian mendatangkan  keselamatan, kenyamanan bagi penduduk sekitar.
VMG  - JPS,  17 Januari 2018.
Orang  Manggarai adalah insan yang meyakini bahwa bukti hasil kerja  menjadi bahan kesaksian  dalam menyelesaikan sesuatu dalam hidup bermasyarakat, termasuk sengketa tanah. Dalam sengketa tanah misalnya,  bila ada bukti, berupa tumbuh-tumbuhan (tanaman), pagar, rumah (pondok)   maka itu bisa dijadikan sebagai bukti bahwa  dia telah berkarya di tempat ini  dan bisa menjadi  miliknya dalam sengketa perebutan. Ini salah satu bukti  bahwa dia memiliki karya di tempat itu. Bukti ini penting, terutama  dalam  sengketa tanah warisan. Bukti jejak  hasil kerja ( batu la' / le')   itu menjadi alat bukti dalam menyelesaikan persoalan kepemilikan. Saya teringat akan tanah di belakang dapur rumah Gendang Wela. Tanah itu luasnya tak seberapa. Namun, ada  puluhan pohon kopi, terutama kopi unggul (kopi raja dalam bahasa Manggarai). Kopi-kopi itu dimiliki oleh sejumlah orang, misalnya  Paulus Padur (suku Wangkung) , Wawa (suku Ndiwar), Nobert Jeharut (suku Ker),  Tadeus Tal (suku Nua).  Mengapa sampai terjadi bahwa tanah yang dengan luas sekian dimiliki oleh beberapa orang?  Siapa sesungguhnya pemilik tanah itu? Sesungguhnya tanah ini milik gendang. Rupanya keluarga dari mereka yang disebutkan di atas pernah tinggal di rumah gendang. Mereka menanam kopi di tanah umum itu, lalu kemudian mengklaimnya sebagai tanah  dan pohon  miliknya.  Mereka menunjukkan bukti yakni hasil nyata melalui pohon-pohon kapi itu  (batu l'as) sebagai bukti bahwa mereka pernah menggarap / mengerjakan tanah itu  dan itu sebagai miliknya. Dalam sengketa itu biasanya  data itu  itu sebagai bukti kuat dalam  penyeleasaian sengketa.
VMG - JPS, 19  dan  22 Jan. 2018. Terinspirasi  lihat jejak kaki (le' /  la's)  ketika  jogging  di Blok B. Ada genangan  air di lapangan semen. Saya injak genangan  itu. Lalu saya injak  di lantai kering. Ada jejak kaki  saya  yang basah. Wow.....
Orang  Manggarai adalah insan yang diharapkan  konsisten dalam bertutur dan bersikap. Antara tuturan dan perbuatan diharapkan searah, sejalan. Ini terungkap dalam seloka  (go'et) adat: "Ipo (iso)  wa wancang toe ngance la'it  kole (Ludah di lantai tak bisa dijilat kembali / Jangan menjilat  kembali ludah sendiri).
JPS, 26 Januari 2018   
Orang  Manggarai adalah insan yang diharapkan  bekerja keras sebagaimana seloka adat (go'et): dempul wuku tela toni (kuku tumpul, punggung terbelah).
JPS, 2 Februari 2018.
  Manusia  Manggarai adalah  insan yang berjejaring  dan berproses.  Jejaring  dan proses itu mulai dari dalam diri lalu keluar membentuk sosialita yang lebih luas. Semua jejaring itu berpusat pada diri (manusia).  Ini bisa dilihat dari bentuk rumah  niang  dan  tanah / kebun ulayat  suku yang berbentuk jaring laba-laba (lodok).  
Manusia  Manggarai  adalah insan  lodok sising, ada pusat (lodok) ada pinggiran (sising), ada awal (wangka pu'ng)  ada   akhir  (semol).
 JPS, 10 , 13  Februari 2018.   
Manusia  Manggarai adalah  insan yang  mencari hakekat / pengertian / sistem  dalam mempelajari sesuatu. Ini sejalan dengan anjuran leluhur dalam go'et seperti berikut ini:
Haeng pate  //  bae  pa'el 
Awek  (wa'ek)  wake // Poto somong
Tuluk pu' // batu mbau 
Kukut pu' // poto  lobo
Lonto lodok   // tirik  sising
Sau landuk  //  witir binting

JPS, 21, 23   Feb. 2018
Manusia  Manggarai adalah  insan kadang bahkan kerap  tidak pakai otak meski  mempunyai  otak. Otaknya dibiarkan menganggur. Simak saja kehidupan  masyarakat tradisional. saya mau soroti perlakuan  terhadap  hewan dan tumbuhan. Hewan peliharaanan seperti kambing, kerbau, sapi, babi, ayam dilepasliarkan sementara  tanaman  yang dipagari. Padahal, tanamankan tak memiliki kaki  sementara hewan-hewan di atas memiliki kaki  sehingga  bisa berpindah tempat. Rumah dan tanaman sering kali dipagari  sementara  hewan peliharaan tak dibuatkan kandang.  Di banyak tempat di  kampung-kampung, hal ini masih menjadi pemandangan yang jamak.  Kapan orang Manggarai pakai otak?
VMG  - JPS, 5 Maret 2018.
  Manusia  Manggarai adalah  insan yang memandang hidup ini sebagai masalah. Meski demikian tetap menjalaninya. Walau bermasalah namun tetap mau menjalaninya.  Hidup ini sebagi suatu kesediahan dan kesusahan karena  usia yang terus bertambah  dan penyakit yang menggerogoti tubuh. Maunya  menjadi  kecil lagi.  Ini tercermin dalam nyanyian rakyat " Oe susa uwa go bom neka tuka go ae. O ae  sedi weki go bom neka beti go ae.  (sumber  Dere: danding Manggarai ). 
JPS, 10 Maret 2018.
Dualitas Manusia Dalam Pandangan Orang Manggarai: Materi dan Roh  // Debu dan Cahaya
Manusia  Manggarai adalah  insan yang memandang hidup ini memiliki roh yang bersifat abadi (kekal). Kehidupan itu boleh berakhir (mati)  namun roh itu akan  muncul kembali (reinkarnasi) menyertai  keturunannya. Mengapa reinkarnasi?  Orang Manggarai percaya bahwa kehidupan mengandung unsur cahaya (nur), baik cahaya matahari, bintang maupun bulan.  Sebagaimana matahari, bulan  beredar, demikian juga hidup manusia akan beredar secara siklis. Manusia Manggarai memahami diri sebagai bulan (untuk perempuan, yang digambarkan sebagai  Endong patola). Patola itu  sinar indah matahari  sebelum terbenam (sunset)  lalu dilanjutkan dengan  sinar penguasa malam (bulan).  Dari situ sebenarnya yang mau dikatakan bahwa  manusia terdiri dari materi (daging)  dan  roh (terang / cahaya" matahari / bintang / bulan).  Ini diungkapkan dalam seloka adat (go'et) : " Uwa  haeng wulang, ;langkas haeng ntala, lempo haeng leso", atau juga dalam lagu rakyat: "Endong patola",  wakak betong asa manga wake nipu tae,  muntung  pu' gurung  maknga wungkut nipu curup;  neho wulang: mata, mose  kole."
JPS, 24 Maret 2018
Orang Manggarai adalah  insan yang  menjadikan tatapan mata sebagai  barometer  kepercayaan. Tatapan mata menunjukkan tingkat kepercayaan. Lalu  orang mengungkapkan itu melalui kata-kata seperti : moro mata  = yang benar, sungguh-sungguh, serius. Misalnya dalam percakapan: "Tada moro matag" = Tidak benar / benar-benar tidak; sungguh-sungguh tidak; )
Tingkat kepercayaan diri orang terlihat dari tatapan matanya.
Sumber inspirasi dari  Youtube: menonton  orang luar Manggarai membawakan  lagu Manggarai dengan penuh ekspresi, lalu timbul kesan  dan pertanyaan  lalu paham bahwa  frasa: "moro mata" , dia  tunjukkan matanya.  Trie Utamie menyanyikan lagunya Ivan Nestorman , simak  dalam yutube berikut: (https://www.youtube.com/watch?v=BzKIWxnWhDU)
JPS, 24 Maret 2018 
Orang Manggarai adalah  insan yang percaya bahwa    terang atau redup cahaya hidupnya berada dalam tangan  Tuhan. Ini tampak dalam syair lagu : Mori Sambe, karya Ivan Nestorman: "Par agu kolep leso, one lime de Morin ge a" (https://www.youtube.com/watch?v=ARXs1iu-CCA).
JPS, 24 Maret 2018
Orang Manggarai adalah  insan yang  yang harus   berlaga sepanjang   bernafas, berjuang    sampai tuntas, belajar tanpa batas, berkembang tanpa   lelah, bertumbuh tanpa kenal umur,   mengikuti nasihat leluhur sebagai  seloka adat: “lempo haeng leso, langkas haeng ntala, uwa haeng wulang (melangkah / melompat sampai matahari, meninggilah mencapai bintang, bertumbuhlah mencapai bulan).
JPS, 26 Maret 2018

Orang Manggarai adalah insan yang mendambakan kehidupan moral yang baik. Karena itu  aib dan hal-hal tak tercela segogyanya dihindarkan sebagaimana  anjuran dalam  yang  terdapat dalam seloka adat (go'et): Neka  hembur le   tebur lau. Moralitas ini penting karena  berpengaruh kepada yang lain mengingat bahwa manusia tidak hidup sendiri tetapi hidup berjejaring dalam jaringan hidup  keluarga (kilo), klan (wau)  dan suku (uku)  serta kampung (beo).  Kesalahan satu orang bisa mempengaruhi yang lain.

VMG - JPS, 15, 16  and 17  April 2018. Inspirasi  dari pemandangan air  kolam / situ di padang samping VMG I yang  keruh   (tebur) - hembur le tebur lau -   karena   orang mancing atau melemparkan lumpur ke dalam kolam / danau / situ  pada  saat jogging di sore hari, Minggu, 15 April 2018.


Orang Manggarai adalah insan yang kadang  suka   lari dari kenyataan, menuduh orang lain sebagai penyebab masalah  (mengkambinghitamkan) padahal  penyebab masalah diri sendiri. Sesungguhnya  diri sendiri yang bermasalah tetapi tak mau jujur mengakuinya, malah menuduh orang sebagai penyebabnya. Kondisi mengkambinghitamkan, menuduh ini  dengan bagus diungkapkan dalam  seloka adat (go'et): "daat ranga (tara) gere  sermeng" (buruk muka cermin dibelah).

VMG  dan JPS  20 April 2018

 
Orang Manggarai adalah insan yang seyogyanya bekerja keras. Bekerja seyogyanya bekerja pagi hingga sore, sebagaimana nasihat dalam go'et (seloka) adat: toe toko wa lose (harafiah: tidak tidur di tikar. Maksudnya, tidak suka bermalas-malasan);  duat gula-gula, we' mane-mane (kerja pagi-pagi, pulang sore-sore). Selain bekerja keras, Orang Manggarai seyognyanya bekerja kreatif, dan respons, jangan lamban: "Neka mejeng hese, neka ngonde holes (harafiah: jangan lambat berdiri, jangan malas menoleh). Di sini orang Manggarai diminta untuk bergerak cepat, tangkas, lincah, cekatan. 

VMG  dan JPS  25 April, 4 Mei  2018 
Orang Manggarai adalah insan yang menggenggam kuat  tradisi lisan. Pelisanan / penuturan  merupakan hal penting. Apa pentingnya? Pelisanan / penuturan/ kata-kata itu bisa mencipta (membuat). Simak dalam  hikayat Kera dengan Bangau  (nunduk  Kode  agu Orang). Bangau nan tulus dan suka menolong,  digusur habis-habisan bulunya oleh kera tamak nan rakus. Bangau terlucut. Tak bisa terbang karena tak berbulu. Dalam posisi krisis, bangan tetap percaya pada eksistensi kebenaran. Kebenaran tak ditentukan hanya  oleh pihak yang kuat secara fisik (kera). Tetapi bahwa kebenaran itu kekal, tak akan mati. Kalaupun tampak tak berdaya, bukan berarti bahwa ia  hampa. Kebenaran tetap kebenaran  dan akan  nyata. Berangkat dari perspektif ini, bangau optimis bahwa  kondisinya akan pulih. Dalam kondisi   gundul tak berbulu,  ia menyanyikan tembang harapan: "Par  leso awo mai  todo san siki  daku,  singger, sangger," nyanyinya  sambil meloncat. " (Harafiah: Terbit matahari dari ufuk timur, tumbuh satu bulu saya,  lalu ia melompat perlahan).   Satu demi satu bulu tumbuh  berdasarkan sabda /kata-kata / penurutannya.  Setiap pagi  tembang ini dinyanyikan sambil berlatih. Akhirnya  tubuhnya penuh dengan bulu   sehingga kondisinya normal   sehingga bisa terbang kembali dan  hidup normal sebagaimana sedia kala. 
Hikayat di atas mengekspresikan keyakinan orang Manggarai bahwa  kata-kata itu bisa mencipta. Periksa pengalaman kita. Saya pernah dengar kisah beberapa  orang, bagaimana kata-kata ini  menciptakan dunianya. "Saya ketika masih kecil, dilihat oleh Om (amang) Gaba. Menurutnya, saya bakal menjadi pengacara,". Apa jadinya sekarang? Ya betul, saya menjadi pengacara sekarang."  kisah Feus, pemuda asal Wela, kec. Ruteng, Manggarai. "
Berikut kisah  serupa lainnya yang mana kata-kata itu berdaya cipta:

Saya anak kampoeng. Masa kecil saya dihabiskan di Kampung (Wela). Dulu, di Wela, ada sebuah kapela kecil dan sederhana. Waktu kapela masih ada, biasanya orang di kampung tidak perlu ke pusat paroki untuk berdoa. Suatu waktu, pas saya berlibur sekolah (SMP), ke Gereja dan bertemu dengan saudara ayah saya Philipus Jeharut. Sebagai orang tua yang baik dan rendah hati dia menyapa saya (maklum anak SMP zaman itu, sesuatu sekali) dan melemparkan sebuah pertanyaan tentang kebangsaan Paus Yohanes Paulus II. Dengan polos saya menjawabnya (kebetulan saya tau): “Dari Polandia”. Terus dia berceloteh “Andaikan kita kaya, tentu kita bisa mengunjungi tempat dimana dia dilahirkan dan dididik”. Harapan yang adalah doanya itu tertanam sekali di kedalaman hati saya tapi….apa bukan mimpi di siang bolong? Tentu sangat tidak mungkin untuk orang kampung setipe kami bisa ke Eropa. Tetapi tujuannya jelas…bukan ke Eropa, akan tetapi ke tempat dimana tokoh inspiratif itu dilahirkan. Pada bulan Mei 2010, tiba-tiba saya diundang untuk ikut mendampingi salah satu kelompok dari Paroki tempat saya bekerja, untuk berwisata rohani ke tempat dimana Paus Yohanes Paulus ke II di lahirkan, dibesarkan, tempat dia sekolah, tempat dia bermain ski di salju, tempat dia bekerja sebagai karyawan di pertambangan garam, ditempat dia menjadi uskup dan Kardinal dan sebagainya, dan sebagainya. Melihat rute wisata rohani itu, mata saya berkaca-kaca dan secara tidak sadar air mata jatuh. Saya ingat kembali celoteh tuan Philipus jeharut dihadapan saya. “ke Polandia, untuk melihat dimana Paus dilahirkan”. Saat itu saya berpikir…ternyata harapan yang adalah doa di tahun 1992 itu sudah terbang lebih dahulu ke Polandia dan sudah terdaftar rapih di agenda Tuhan yang merencanakannya. “Segala sesuatu indah pada waktunya”. Di Polandia saya tinggal dan berwisata selama dua minggu. Dan ziarah saya mengenal hidup dan spiritualitas Santo Yohanes Paulus II menjadi lebih sempurna ketika Januari-Februari, 2018 kemarin bisa berdoa di depan kuburan beliau di Basilik Santu Petrus Roma. Sungguh sebuah perjalanan tanpa rencana dan juga tanpa harapan.,"  demikian  penuturan pater  Flory Jaling, SVD
(https://www.facebook.com/florij/posts/10156200832934137
VMG I  inspirasi bangun tidur padi, 4 Mei 2018. Ditulis  di JPS, 4 Mei 2018

  Orang Manggarai adalah insan yang diharapkan bisa melestarikan budayanya (Manggarai) karena itu diharapkan  bisa menjadi  agen budaya.  Ketika seseorang memainkan peran sebagai agen budaya Manggarai orang itu dikenal sebagai pribadi mendapatkan wejangan, memperoleh pesan (haeng tae, repeng pede). 
JPS, 12 Mei 2018
Orang Manggarai adalah insan yang tampaknya  lebih menaruh respect kepada  orang yang meninggal daripada orang yang masih hidup. Apa buktinya? Lihat saja   tempat tinggalnya. Tampaknya tempat tinggal  orang yang sudah meninggal (kuburan)  lebih baik  daripada  tempat tinggal orang yang masih hidup. Lihat saja.  Peti mati  tempat membaringkan  jenasahnya dibuat dari papan yang bagus,  sementara, rumah orang yang  masih hidup boleh jadi  masih menggunakan material yang sederhana seperti  anyaman bambu. Selain itu  kuburan  dibuat dari  semen  bahkan dikeramikin. Sementara  rumah  orang  hisup terbuat  dari  papan, meski ada  juga yang terbuat dari  kayu yang bagus,  tembok   dan keramik  indah.
JPS  19  dan 20 Mei 2018.   
Orang Manggarai adalah insan yang percaya  bahwa suara adalah kekuatan yang bisa mengubah sesuatu. Dalam mitos  terjadinya   gempa bumi (nupung) dikisahkan bahwa gempa bumi terjadi karena Tuhan mau mengetes apakah si bumi (tana lino)  yang dibuatNya ada isinya, terutama manusia. Apakah ada  atau  tidak ada orang di bumi. Cara untuk mengetahunya dengan menggoncang-gancangkan bumi. Saat Tuhan menggoncangkan bumi, terjadilah gempa bumi. Saat itu, manusia berteriak:   " kokohlah bumi beserta isinya". Dalam bahasa lokal orang mengungkapkan berikut : " Ndeng...ndeng... ndeng...., ruha lale... ruha lale... ruha  lale......". Orang Manggarai meyakini  itu adalah cara untuk menghentikan gempa bumi karena ternyata seruan orang-orang di bumi itu samapi ke telinga Pencipta  dan Pencipta  tahu bahwa ternyata  ada orang di bumi.  Andaikan manusia tidak bersuara   boleh jadi bumi  ciptaannya dihancurkan. Namun karena ternyata ada manusia terbukti dengan  seruan dan terikan " Ndeng...ndeng... ndeng...., ruha lale... ruha lale... ruha  lale......", maka Tuhan tahu bahwa   ada manusia di bumi. 
Dalam pelbagai   kesempatan, suara itu penting. Dalam hidup bermasyarakat, beragama dan bernegara, suara itu penting. Tanpa suara seseorang tak memiliki amanat dan wewenang untuk  melakukan sesuatu. Maka bila ada sesuatu yang tidak beres, janganlah diam, bersuaralah karena suara itu penting dan berkekuatan. 
VMG 30 Juli 2018, JPS 31 Juli 2018. Inspirasi dari status FB Yul Mulya, " Ruha lale..."  gempa  di Lombok, NTB, 29  Juli 2018.
 
Orang Manggarai adalah insan yang seyogyanya memiliki mental tangguh,  memiliki prinsip hidup yang kokoh kuat. Perihal mental  andal ini, seloka adat mengajarkan demikian: "worok eta golo, pateng wa wae"  (jadilah kayu worok di puncak, jadilah teras kayu di air). Kayu worok adalah jenish kayu besi,  tak lapuk karena hujan, tak lekang karena  panas. Lalu pateng adalah teras (pateng) kayu yang  kualitasnya serupa  kayu Worok. Kayu Worok  dan Pateng  sering dipakai sebagai kayu untuk membangun rumah, jembatan dan bangunan lain yang membutuhkan kayu yang kuat. Implikasi  dari sikap ini adalah manusia Manggarai harus memiliki mental hidup yang gigih, tangguh, tak mudah menyerah, tak mudah putus asa, harus  berkanjanng sepanjang hayat  dalam meraih sesuatu.
VMG, 8 Agustus 2018, JPS, 9 Agustus 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang mana laki-laki disimbolkan dengan matahari. Dalam  hidup berumah tanggal, bila istri bermimpi mendapat cahaya, maka yang bakal lahir adalah laki-laki. Simbol laki-laki ini dilanjutkan lagi  acara pemimpin regu  pencari kebenuntungan  waktu pada  awal acara caci. Penvari keberuntungan itu disebut ata ba leso. Ata ba leso  selalu laki-laki.  Secara harafiah  Ata ba leso berarti orang pembawa hari. Leso berarti siang, saat matahari beredar siang hari. Maka laki-laki bagi orang Manggarai adalah matahari. Dalam  suatu syair lagu Manggarai ciptaan Ivan Nestorman  ada penggalan syair: "Ai hau ge  mata leso ge". (Karena Engkaulah  mata hariku).  
Sedangkan perempuan disimbolkan dengan  rembulan.  Ivan Nestorman dalam penggalan lagunya menulis : Ai hau ge wulang mongko ge (Karena engkaulah rembulanku). 
VMG, 12 Agustus 2018, JPS, 14 Agustus 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang memberikan kesan baik (manis) di awal lalu di belakang baru yang biasa-biasa, bahkan  pahit. Hal ini berlaku dalam banyak hal.  Kondisi ini diungkapkan dalam  seloka (go'et): Laring sain wae wani, musi main rasi pa'it  (Awalnya madu, di akhir air pinang).   
VMG, 12 Agustus 2018, JPS, 14 Agustus 2018.   
Orang Manggarai adalah insan yang semangat kapitalisasi modal finansialnya rendah. Hal  ini terutama dibandingkan dengan suku-suku lainnya, misalnya Cina. Orang Manggarai tak terlalu punya minat berbisnis. Orang Manggarai lebih suka menjadi petani. Tak heran, sangat susah dijumpai konglomerat atau pebisnis tangguh  dari Manggarai.
 JPS, 25 Agustus 2018. 
 
Orang Manggarai adalah insan yang daya kapitalisasinya rendah. Mengapa? Mungkin karena mayoritas hidup sebagai petani, bukan sebgai pedagang  yang memiliki daya kapitalisasi tinggi. 
VMG, 24   Agustus 2018.
 
Orang Manggarai adalah insan yang memandang anak sebagai aset yang sangat bernilai, setara  emas. Hal ini bisa dilihat dalam penuturan adat: " Ai hau ge emas mongkog e " (Karena engkaulah emas batanganku). 
JPS, 25 Agustus 2018.  
Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa kata-kata itu memiliki kekuatan. Apa yang diucapkan memiliki energi. Hal ini bisa dilihat pada  cerita-cerita klasik, misalnya kisah Kera dengan Bangau (Nunduk Kode agu Orong).  Bangu (Orong)  yang dicabut gundul  bulunya  oleh kera  (kode)  bernyanyi  demikian pada saat matahari terbit: "Par leso awo mai todo san siki daku. Singger, sangger" . (Matahari terbit dari Timur, tumbuhlah buluku. Singger, sangger ), sambil berlompat kecil.  Seiring perjalanan waktu nyanyian / kata - kata bangau  menjadi kenyataan. Bulu di tubuh bangau tumbuh  dan menjadi lebat  kembali  sehingga  bisa  terbang sebagaimana sedia kala.  Hal yang sama terjadi dalam kisah  lain, misalnya: "Uwa Watu Uwa".  Dalam kisah itu anak yang dipingpongkan oleh ayah dan ibunya, putus asa, lalu berubah menjadi batu. Batu itu tumbuh / berkembang seperti manusia. Anak itu bernyanyi sebagai berikut: "Uwa watu uwa... benang  mesak sela dise ema."   "Uwa watu uwa... poe  tese  beles  dise ende. " .  (Bertumbuhlah batu, bertumbuhlah, si bapa menahan jewawut dan sorgum,  Bertumbuhlah batu, bertumbuhlah, si ibu  menahan  ubi -  ubian  empuk.).
 JPS, 28  Agustus 2018.   
 

Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa sesama makhluk - seperti batu, pohon, binatang - adalah sesama makhluk yang perlu disapa. Ketika binatang tertentu berbunyi, misalnya tokek, suaranya itu perlu direspons. Ketika tokek  berbunyi, kek...kek...  teke...teke...teke....teke...., perlu dijawab: dureng , walis. Contohnya: teke..... (dijawab: dureng), teke..... (dijawab:  walis). Begitu seterusnya hingga  tokek  berhenti bersuara. Ini semacama dialog antara keduanya. Teke seolah bertanya, musim umat manusia. Manusia menjawabnya musim hujan (dureng) dan kemarau (walis).
Refleksi di Lapangan Blok B ketika jogging pagi, mendengarkan suara tokek,  Senin, 17 September 2018.
Orang Manggarai  memandang batu sebagai simbol manusia. Dalam beberapa  mitos dikisahkan hubungan manusia dengan  batu. Pertama, mitos yang mengatakan  bahwa batu berasal dari manusia. Ada manusia yang membatu (menjadi batu). Mengapa? Karena tidak dipedulikan oleh sesama (orang tua). "Uwa watu uwa, benang  mesak - sela dise ema". "Uwa watu uwa, po'e  daeng beles (benge)   dise ende". (Bertumbuhlah batu, sorgum tak disizinak untuk dimakan oleh si bapa, bertumbuhlah batu, singkong rebus nan  empuk  tak diizinan makan oleh si mama). Kedua, mitos yang mengatakan  bahwa tetumbuhan dan hewan  berasal dari manusia. Konon ada satu keluarga yang  memiliki seorang anak laki-laki  namun tak memiliki sesuatu untuk dikonsumsi. Mereka meminta kepada Tuhan bagaimana solusi terhadap hal ini. Tuhan melalui mimpi meminta sang ayah untuk mempersembahkan putra tunggalnya di suatu mesbah di pusat kebun yang di kemudian hari disebut lodok. Di lodok itulah sang ayah memppersembahkan putra tunggalnya. Dia membunuh anaknya. Darahnya ditumpahkan ke tanah, dagin tubuhnya disebarkan ke seluruh wilayah kebun. Lalu muncullah tanaman padi, sorgum, jewawut, mentimun, kestela, jagung.  Sang ayah membuat mezbah (compang) di tengah kebuh (lodok) sebagai peringatan bahwa di situ telah dilakukan pengorbanan seorang anak manusia guna mendapatkan makanan. Mesbah itu dikenal sebagai watu weri ata. Beberapa kampung / tempat di Manggarai diberi nama Watu Weri, misalnya di Lembor Selatan, atau Weri, misalnya di Pacar. Di kemudian hari Watu Weri ata itu diabadikan sebagai compang di setiap kampung.  Compang  sebagai watu weri mengingatkan setiap orang akan pengorbanan  anak manusia demi mendapatkan makanan. Bagi orang Manggarai, untuk mendapatkan makanan butuh pengorbanan bahwa jiwa dan raga sekalipun. Dalam relasi  perkawinan, pihak keluarga pemberi mempelai wanita (anak rona) disebut sebagai  ibu batu  yang menggarami (ine watu  cie/ sie) dan  ayah batu yang  memasak (ame watu nare).  Dalam  upacara  kematian, ada istilah  membawa  batu (ba watu). Istilah wa watu   merupakan ritus mengambil tanah dan batu kubur bagi orang yang meninggal di luar kampung untuk dimakamkan di kampung halamannya. Dalam ucacara adat ada mezbah persembahan adat   (compang) . Compang    merupakan altar batu  untuk menyampaikan kurban persembahan adat.
 
JPS, 24 September 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang berpikiran bahwa warna memiliki makna. Warna yang memiliki makna ini merujuk pada beberapa binatang peliharaan, misalnya babi, kambing, anjing, ayam, kerbau, kuda. Untuk upacara penyucian kampung  dari kesalahan warganya misalnya, dipakailah kuda hitam (jarang bolong). Untuk menyampai korban syukur pertama kali suatu suku, dipilihlah kerbau putih (kaba bakok),  korban syukur setelahnya bisa kerbau biasa (abu-abu).  Untuk suatu perayaan syukur bisa dipersembahan  kombinasi beberapa binatang dalam suatu rangkaian ritus, misalnya perayaan  syukur  perkembangan suatu suku (Naka beka) dipersembahkan kerbau putih (kaba bakok),  kambing berbulu tiga warna - merah - putih - hitam  (mbe  kondo), babi  warna merah (ela rae / butung), ayam berbulu merah (manuk lalong sepang),  anjing  buta (asu buta). Untuk suatu penugasan (wuat wai') digunakanlah ayam jantan putih (lalong bakok),  Untuk korban silih penyakit, dipersembahkan  ayam jantan tiga warna - merah - putih - hitam  (lalong lapak), dan korban silih mimpi buruk (kando nipi daat)  dipakailah ayam betina abu abu campur kuning (manuk lale). korban pendamian / pendamaian  (hambor) digunakanlah ayam jantan tiga warna - merah - putih - hitam  (lalong lapak).
  Orang Manggarai adalah insan yang  seyogyanya bertanggung jawab atas kehidupan, baik  personal (sendiri) maupun sosial (komunal). Dalam  suatu penugasan adat, dalam menjawab suatu  sapaan adat orang Manggarai mengngkapkannya dengan ucapan berikut ini: Semua pembicaraan (penugasan) ini kami sambut dengan gembira, ibarat menerima hadiah buah nangka dan mangga. Kami akan menjungjung tinggi di atas kepala dan mendudukannya di bahu, menyimpoannya di hati. (Sangged tombo  dite, nakas laku (lami) neho wua nangka,  kapu neho  wua pau; su'ng eta ulu, tekek lobo bekek, naa one nawa). 
VMG - JPS, 27 September 2018
Orang Mannggarai adalah pekerja keras dan  rajin sebagaimana seloka adat ajarkan,  bekerjalah  dari pagi dan pulalah di sore hari  (duat gula-gula agu we' mane-mane).   
VMG - JPS, 27 September 2018
Orang Manggarai adalah insan yang pecaya bahwa beraktivittas itu penting untuk mendapatkan sesuatu yang penting dalam hiidup. Setiap pribadi harus beraktivitas. Aktivitas itu  wujud tanggung jawab terhadap kehidupan. Ada seloka (goet) yang mengatakan : Eme toe hintes toe manga birek, eme toe lar toe manga hang, eme toe manga gori toe mannga doi, eme toe manga wente (reje) toe manga seng   (kalau tidak bergerak tidak akan kenyang, kalau  datang tidak akan ada makanan, kalau tidak ada kerja, tidak akan ada uang, kalau tidak ada persiapan / ajakan, tak akan mungkin ada uang).
JPS, 13 Oktober 2018
  Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa jiwa sebagai pemimpin raga. Sebagai pemimpin, jiwa berada di depan. Manakala ada suatu kondisi yang membahayakan, jiwa tampil  memberikan peringatan agar raga terhindar dari bahaya. Kehadiran jiwa yang memberikan peringatan bisa dalam bentuk mimpi atau bersin. Tentang bersin ini, saya teringat kejadian  Jumat, 1    Oktober 2018. Hari itu saya belum jogging pagi. Saya mau menggantikannya menjadi sore hari. Saya pulang kerja, tiba di rumah pkl 17:30  pm. Saya mau pergi jogging. Tiba - tiba: "Cirang...." demikain bunyi bersinku. "Apa maksudnya ini?" tanyaku dalam hati. "Jangan-jangan ada maksudnya bersin ini untukku.," kataku dalam hati. Aku ke dapur. Aku memutar keran air, mau cuci tangan. Wow..... air  PAM tak keluar, macet. "Oh..... ini maksud  bersinku. Ini suatu  larangan bagiku untuk  jogging  karena kalau jogging risikonya, pulang tak ada air untuk mandi, sementara air di tong kamar mandi hanya sedikit." kataku membatin. Dari pengalaman ini saya teringat seloka (go'et)  Manggarai: "Wenang te benang, meki te re'ing" (Bersin untuk melarang, batuk untuk melarang).
JPS, 20  Oktober 2018
 Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa jiwa berhubungan dengan  badan. Badan bisa berkomunikasi dengan jiwa untuk berkompromi. Saat ada acara adat, upacaranya mengandung  mitis magis. Penutur adat diyakini memiliki kekuatan supranatural. Saat upacara adat, diharapkan agar tak ada orang yang bersin, termasuk anak-anak yang hadir ada dalam acara itu.  Untuk menghindari hal itu,  maka  orang orang tuanya meminta anak untuk menghindari bersin saat itu. Bagaimana caranya? Dengan  garuk pada ubun-ubun si anak. Gerakan itu diyakini bisa mengingatakan jiwa agar tidak bereaksi saat itu. Menggaruk ubun-ubun bisa dilakukan oleh anak sendiri, bisa juga dilakukan oleh orang tua,  manakala  anak tak bisa lakukan sendiri.
 JPS, 20  Oktober 2018
Orang Manggarai  adalah insan yang tediri dari jiwa dan raga.  Dalam mitos penciptaan Manggarai, dikisahkan bahwa manusia Manggarai itu  ada karena perpaduan sinar matahari yang datang dari langit (awang eta)  dan bambu yang  tumbuh dari tanah (tana wa). Sinar mentari mengenai serumpul bambu yang sedang menari dalam liukan indah karena ditiup  bayu. Perpaduan mentari dan bambu itu melahirkan sepasang manusia. Peristiwa sintese mentari (roh)  dan bambu ini (materi) sibut dalam seloka adat: Bengkar one mai belang, bok one mai betong   (mekar dari belang - bambu - ,  tunas dari bambu - .
VMG  - JPS, 25 Oktober 2018. Inspirasi dari kamar mandi di pagi hari, 25 -10-2018.
Orang Manggarai  adalah petarung humanis. Lihat saja permainan caci. Meski luka karena kena pecutan saat caci, pemain tidak marah, tidak membeci lawan main. Meski  sempat luka, pemain caci tetap ramah, bersahabat  dan sabar, malah masih sempat-sempatnya menghibur penonton melalui gerak tubuh dan nyanyian.  Melalui caci orang Manggrai mewartakan bahwa hidup adalah pertarungan, namun pertarungan harus berlandaskan pada kemanusiaan, yakni, persahabatan, kesabaran, keikhlasan, kedamaian dan pengorbanan.
VMG  - JPS, 28 - 29 Oktober 2018. Inspirasi dari nonton permaian  caci  postingan Pa Yan Sehandi, Caci mahasiswa Manggarai yang studi dan  tinggal di Ende  vs Mahasiswa Manggarai yang tinggal dan studi di Maumere, Sikka pada Oktober 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang diajarkan bahwa  anak harus bisa membalas budi atas kebaikan orang tua. Ketika anak sudah dewasa diharapkan bisa memperhatiakan, menolong  dan peduli terhadap orang tua. Ajaran ini tertuang antara lain melalui penggalan syair lagu berikut: "Eme haeng pakem e anak e, nuk  koe amem e, eme haeng delekm e  anak e, nuk koe endes e,"  
Inspiration jogging in the morning , Blok B Badminton field, November 6, 2018.
  Orang Manggarai adalah insan yang berbicara dalam bahasa simbol. Sebagai contoh, manusia disimbolkan dengan pohon. Supaya pohon hidup baik, diharapkan menancapkan akar ke tanah dan mengembangkan daun ke atas (wake seler ngger wa, saung bembang ngger eta). Buah pohon disambut dengan ramah dan hormat , ibarat memangku buah mangga (kapu neho wua pau) dan dijunjung seperti buah alpukat (pola neho wua advokat / vokat) , disambut seperti buah nangka / nanas ( naka neho wua nagka / pandang).  Lalu suku-suku dibagi dalam  cabang-cabang (panga);  kemudian ada bunga (wela). Selanjutnya orang yang  habis masanya   diibaratkan dengan pisang yang masak dan tebu yang  berbunga ( tee muku, lando teu).Selanjutnya beberapa  jenis tumbuhan (kayu) yang  sering dipakai dalam  ungkapan adat adalah bambu (betong / gurung / belang / talok / helung), ara, kalo, teno, Nao, Lale,  Ruteng / Langke.  Tuturan (Goet)  yang berkaitan dengan bambu, misalnya: bila  batang bambu tumbang, ada akar untuk melanjutkan lisan /tuturan,  bila terbakar aur utama, ada ada  ruas yang menajutkan tuturan / pembicaraan (Eme wakak betong asa, maga wake nipu tae, eme muntung gurung pu' manga wungkut nipu curup).. Tuturan  yang berkaitan dengan dadap (kalo): Jangan lupa dadap dengan ari-ari (neka hemong kuni agu kalo), . Tuturan yang berkaitan dengan pohon gebang (Lale):  Kuat seperti gebang, melilit sepeprti tali  (Ndaleng neho Lale, Rao neho Ajo),. Tuturan yang berkaitan dengan kemtian:  Jatuhnya ranting kering ("Loga loge) , kestela membusuk (botek ndesi), tumbangnya pohon nangka (wakak  nangka), tumbang kayu alpukat (doal  advokat)., kering dadap (dango kalo).
JPS, 21 Nopember 2018.. Refleksi kreatif.
Orang Manggarai adalah insan yang meyakini  bahwa ada hubungan antara  manusia dengan kera (monyet).  Ada keyakinan bahwa nenek moyang Manggarai berasal dari kera. Maka sebagai makhluk yang tahu bersyukur,  orang Manggarai mengadakan penghormatan terhadap leluhur dengan memberikan persembahan kepada mereka. Di rumah adat yang disebut Mbaru Niang, tempat memberikan persembahan kepada leluhur itu disebut  Hekang (Sekang)  Kode (Pondok Monyet). Rumah  adat Manggarai, Mbaru Niang,   memiliki lima (5) ruang, berturut-turut dari bawah ke atas adalah sebagai berikut: : Lutur, Lobo, Lentar, Lempa Rae, Hekang Kode.  Ruang kelima , yakni Hekang Kode  ruang untuk menyimpan bahan persembahan kepada leluhur. Perhatikan gambar berikut ini.
JPS, 24 Nov. 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang adanya ditentukan oleh suaranya. Kalau ada suara (tutur kata / lisan / percakapan) baru dikatakan bahwa seseorang ada. Dalam rangka mengecek seseorang pada suatu tempat, misalnya  rumah, orang Manggarai sering menyapa atau bertanya: Halo,   di mana tuturan / pelisanan / perkacapan?  ( Oe, nia ngaok?). Biasanya kalau ada orang, maka dijawab, Halo, dengan siapa ya? (Oe,  seid  ite?).  Kalau ada jawaban, berati ada orang di tempat itu. Kalau tak ada sahutan berarti tak ada orang.  Di sini, suara (pelisanan / tuturan) menunjukkan ada.
Inspirasi  di VMG, saat lari  pagi,   30 Novemmber 2018.
  Orang Manggarai adalah insan yang  cenderung melangkolis. Coba simak  musik bambu Tule. Musik melangkolis Manggarai ini bisa dinikmati dalam latar belakang  web  berikut ini. https://www.youtube.com/watch?v=NtSU8Nrk-Xk -Lambaleda Seruling -  dan  (https://www.youtube.com/watch?v=6RrCJKjoFws). Juga dalam nyanyian Manggarai, misalnya dalam nyanyian tradisional : Landu, misalnya , Landu KAWE  AME, yang bisa dilihat dalam web berikut: https://www.youtube.com/watch?v=StqY9yxYxBU.
JPS,  1 Desember 2018.
Orang Manggarai adalah insan yang  gigih dan  pekerja keras sebagaimana tertuang dalam seloka berikut ini: " Dempul wuku tela toni" (kuku  tumpul, pungguh terbelah).
JPS,  1 Desember 2018.   
Orang Manggarai adalah insan yang  diajari untuk sopan dalam hidup, terutama bila berhadapan dengan orang yang lebih tua, termasuk orang tua. Anak atau orang yang lebih muda dilarang untuk semena-mena dan berlaku kasar. "Neka kenta ema, neka siek ine / neka weres ende" (Janganlah menghardik ayah, janganlah meneriaki ibu)
VMG, kamar mandi , JPS,  12  Desember 2018.
 
Orang Manggarai adalah insan yang meyakini bahwa hukuman itu penting dalam hidup bersama karena berfungsi  memberikan efek jera kepada pelanggar hukum. Ada kisah bahwa seorang tokoh masyarakat yang  memilki harta seperti  tanaman (mangga, pisang, kopi, fanili, pepaya, dll)  atau ternak (kuda, kerbau, kambing, babi, sapi, anjing). Properti seperti ini didapat melalui kerja keras alias  (nalak dara) maka yang  orang lain wajib menghormatinya, jangan mengambilnya tanpa minta izin kepada pemiliknya alias mencuri. Siapa yang mencurinya wajib diberikan  hukuman. Seorang warga latah mencuri properti warga kampung. Pemiliknya melaor kepada tetua adat di kampung itu. Ketika ditanya, tak ada seorangpun yang mengaku. Akhirnya dicarilah seorang dukun. Orang dukun melisankan mantranya. Lalu muncul seorang di ujung kampung. Tanpa disuruh oleh seorangpun dia  dengan tekun jalan dari rumah ke rumah mengakui perbuatannya sambil membawa barang yang dicurinya dan dalm kondisi telanjang. Dia berjalan dari rumah ke rumah sambil bertutur:  walaupun  saya mengatakan bukan saya, tetapi sesungguhnya sayalah yang mencuri barang ini (Maram toe aku, aku keng). Dia mengucapakan kata-kata ini berulang-ulang.  Seluuruh warga kampung tertegun. Sejak saat itu, di kampung itu tidak ada lagi yang berani mencuri. Properti warga menjadi aman. Di sini, hukuman memberikan manfaat efek tera, supaya suatu kesalahan tidak menjadi kebiasaan  (rantang seke nungan). 
Cikarang Baru, Rumah Leo sekeluarga, Hari Natal 25 Desember 2018, Ngobrol dengan ase Kae Lembor di Cikarang - Karawang. Diketik di JPS, 3 Januari 2019.
Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa suara memiliki kekuatan dan bisa memiliki efek (pengaruh) memberikan rasa aman. Dalam mitos  gempa bumi (nupung) sebagai contoh. Orang Manggarai percaya bahwa  gempa bumi terjadi sebagai suatu tes dari Tuhan terhadap bumi yang telah diciptkanNya, apakah di bumi  masih ada  banyak orang atau tidak. Maka Tuhan memegang bumi lalu mengguncangkannya. Saat Tuhan mengguncangkan bumi itulah terjadi gempa. Dalam rangka menghentikan gempa ini, menurut orang Manggarai, harus ada respons dari pihak manusia terhadap Tuhan pencipta dengan  mengatakan bahwa kami masih banyak di sini. Maka saat gempa, orang Manggarai berteriak:  Orang banyak...orang bamyak... orang banyak......ruha lale, ruha lale, ruha lale, , kuat-kuat...kuat  ("Ata do....ata do...ata do..., ruha lale, ruha lale, ruha lale, ndeng, ndeng, ndeng, ndeng..... ).  Orang Mangarai perlu membrikan kekuatan terhapa rumah agar tetap kokoh. Menurut kepercayaan tradisional Manggarai dengan mengatakan sperti itu Tuhan tahu bahwa masih ada banyak orang di bumi, maka bumi tak perlu dibuang (dihancurkan) tetapi perlu dibiarkan, malah dipelihara karena  ada banyak manusia di dalamnya (ata do...ata do...ata do).
Perihal suara yang memiliki efek ini, ini berlaku juga dalam dunia politik bahwa suara orang itu dibuthkan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan  dalam pemilihan pemimpin atau wakil rakyat. Orang yang mendapat suara pemilihan banyak mendapat legitimasi untuk menjadi pemimpin atau waktil rakyat dalam  suatu lembaga, termasuk dalam lembaga negara, bahkan lembaga dunia (PBB).
 JPS, 8 Januari 2019.
Orang Manggarai adalah insan yang menyakini bahwa manusia itu makhluk pribadi dan makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi ini terungkap dalam seloka: Kaki berlainan langkah, tangan berlainan  ayunan (Wai' woleng lampa, lime woleng wajong /wejong). Sebagi makhluk sosial, orang Manggarai menyadari bahwa seseoorang tidak  bisa hidup sendiri, membutuhkan kehadiran  lain, sebagaimana terungkap dalam  seloka: Bambu  sepohon tak bisa dipikul sendiri (betong setede / sepuu toe nganceng  pola hananng koe). Sebagai   makhluk sosial, untuk hidup yang wajar, maka manusia Manggarai harus   berteman (bersahabat),  akrab,  menyapa, bergembira  (raes, ruis,  reis, raos - RARURERA).
 Lapangan  Badminton  Blok B VMG I  Bekasi,  , saat jogging pagi,  dan  JPS, 9  Januari 2019.
 
  Orang Manggarai adalah insan yang percaya bahwa dalam hidup ini ada  Allah merupakan penilai atau pengadil tertinggi atas kehidupan manusia. Manusia bersandar pada  Allah. Manakala manusia lelah mencari  sesuatu yang luhur (benar, adil) maka   berserah diri kepada Tuhan merupakan benteng terakhir dalam rangka mendapatkan solusi. Manuisa Manggarai  menaruh harapan tertinggi dan teakhir pada Allah sebagaimana tertuang dalam doa pasrah penuh harapan: "Manga le Mori tai ta" (Ada Tuhan kelak yang menilai). 
VMG - JPS, 14 Januari 2019.
 
  Orang Manggarai adalah insan yang menganut sistem patrilineal dalam hubungan perkawinan. Sistem patrilineal menempatkan laki-laki sebagai yang utama dalam hidup berkeluarga. Sebagai insan utama, laki-laki mendapat warisan dari orang tua berupa tanah atau rumah. Wanita tidak mendapat jatah tanah atau rumah karena pengandaiannnya  bahwa wanita mengikuti suaminya dan menikmati warisan orang tua  suami. Mengapa orang Manggarai menganut sistem patrilineal? Menurut saya  karena berdasarkan mitos, laki-lakilah yang telah dikurbankan dalam rangka  adanya tumbuh  - tumbuhan yang bisa dijadikan bahan makanan - padi, jagung, jewawut,  kestela, labu, mentimun, dan hewan peliharaann seperti kerbau, kuda, kambing, sapi, babi, anjing. Dalam mitos penciptaan Mannggarai, sepasang suami istreri memiliki seorang anak laki-laki. Lalu atas petunjuk Sang pencipta, anak itu dikurbankan, dibunuh  di pusat kebun  (compang - lodok)    demi adanya bahan makanan.  Darahnya ditumpahkan di tanah dan mezbah (compang), dagingnya disebarkan di tanah. Beberapa lama kemudian  muncullah bbernagai bahan makanan dan  sayuran  dan  hewan-hewan domestik.
JPS, 18 Januari 2019.  Ide muncul di atas motor, sambil nyanyi Raeng,  perjalanan dari rumah (VMG- Kampung Bogor - Rawa Indah - JPS), 18 Januari 2019.

Orang Manggarai memahami bahwa hidup manusia itu dinamis  ibarat peredaran Matahari dan bulan yang ada waktu terbit dan ada waktu terbenam.  Manusia disimbolkan dengan matahari dan bulan yang  beredar  dinamis dengan pasti. Ada waktunya untuk terbit dan ada waktunya untuk terbenam. Hidup itu bersifat siklis. Meski mati namun ada keturunan yang akan melanjutkan kehiidupan dan peradaban. Orang Manggarai memiliki harapan demikian. Bila manusia  yang disimbolkan dengan Mathari dan bulan itu sempat terbenar, ada harapan ada saatnya akan terbit kembali. Hal ini bisa disimak dalam nyanyian adat, salah satunya dalam Nenggo "PAR KOLE" (Terbit Kembali). Bisa lihat  https://www.youtube.com/watch?v=VETeZQfbasE
JPS, 19 Januari 2019.
  Orang  Manggarai memahami bahwa tujuan perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan, mendapatkan anak (menga wae, manga anak). Untuk masyarakat tradisional, beranak banyak merupakan suatu kebanggaan dan mendapat pujian dari yang lain. Sebaliknya yang mandul akan dicibir dan dicemoohkan.  Dalam doa adat sering diucapkan dan diminta agar diberikan anak banyak dalam hidup berkeluarga sampai berjejer dan berjejal  di sisi dan dalam dekapan ketiak orang tua (ras balik rasap, res baling lele). Doa dan harapan orang tua tradisional zaman dulu beralasan karena saat itu lahan masih luas dan wabah sering kali mendatangkan kematian kerap terjadi. Dalam rangka regenerasi, penting memiliki stok manusia yang cukup sehingga pewarisan gen berlangsung lestari.
JPS, 22 Januari 2019.
  Orang Mannggarai adalah insan yang memandang Tuhan (Mori Kraeng) sebagai penilai tertinggi dan pengadil terakhir untuk semua tindak tanduk dan tutur kata manusia selama hidup di dunia. Dalam hidup sosial memang ada aturan dan tatanan  (repi agu sake) hidup.  Bila ada orang yang melanggar aturan dan tatanan (wedi repi lage sake) maka sandaran terakhir pada Tuhan. Orang Mannggarai mengakui bahwa  nanti ada Tuhan (manga Morin tai tai) untuk menilai dan mengadili  semuanya itu. Orang yang dirugikan atau dikalahkan dalam suatu masalah (pertengkaran /pengkelahiran /perdebatan / pengadilan)  pada akhirnya  menghadarpkan  Tuhan sebagai penilai akhir dan pengatur terakhir  untuk menghakimi  orang yang merugikannya (manga le Morin hau sepisa).
JPS, 25 Januari 2019.
  Orang Manggarai adalah insan yang menagkap bayangan (ata deko nenu).  Dalam kisah tentang Nggerang, konon Awang  melihat bayangan (nenu)  seseorang di rumpun tebunya. Bayangan dia tangkap, gadis rupawan dia dapat (deko nenu, haeng molas rembu).  Dia berjaga di situ karena mau menjaga tebunya yang selama beberapa minggu hilang, namun tak ditemukan siapa yang mengambilnya. Maka pada suatu hari Jum'at  lain dia datang ke kebunnya di Pongkor Rangat Alo Mata Wae di wilayah Ndoso, Mannggarai Barat. Dia penasaran siapa gerangan yang mencuri tebunya. Pada pukul 12.00 siang, dia melihat bayang (nenu) orang di rumpun bambu itu. lalu dia  menangkap bayangan itu. Dan ternyata, dia menagkap seorang  gadis manis lagi cantik. Gadis itu bernama Hendang. Hendang merupakan  peri (darat) karena orang tuanya peri juga. Perkawinan  Awang dengan Hendang melahirkan Nggerang. Nggerang berparas putih (nggera)  nantik. Dia merupakan  gadis  rupawan. banyak  orang yang tertarik kepadanya, termasuk  raja Cibal, Todo dan Bima. Namun, semuanya  lamaran mereka dia tolak. Penolakannya bukan tanpa resiko. Dia dibunuh oleh ayahnya  (Awang)  atas desakan warga  Ndoso yang mendapat ancaman mengerikan dari  pasukan  perang Bima dalam bentuk awan tebal  menyentuh tanah (rewung taki tana) yang menyelimuti dan mengepung  kampung Ndoso dalam sekian waktu.  Ancaman  Bima ini tak bisa  diatasi oleh waraga Ndoso, alhasil mereka mendesak Awang  agar Hendang menyerahkan diri, mau menikah dengan Raja Bima. Awang berada dalam tekanan besar. Raja Bima meminta pasukkannya membunuh Nggerang bila dia tak mau kawin dengannya.  Namun Nggerang tetap kukuh dengan pendiriannya menolak cinta Raja Bima. Penolakannya ini berlaku sampai  seumur hidup, meliputi  jiwa dan raga. Penolakan  Nggerang terhadap Raja Bima bersifat mutlak dan sempurna karena ketika   kulit punggung tubuhnya dijadikan gendang  dibawa ke Bima oleh keluarganya, perahu yang mereka  tumpangai dari pelabuhan Reo itu, ketika tiba di Gili Banta, ombak besar menghadang perjalanan mereka. Mereka diseret ombak. Dari Pantau Utara Flores mereka dibawa arus gelombang menuju Pantai Selatan Flores lalu terus menuju  Pulau Sumba. Pulau Sumbawa tempat kediaman Raja Bima yang menjadi tujuan semula tak pernah menjadi  istana bagi Gendang  Nggerang dan keluarganya,  mereka malah toba di Pulau lain, Pulau Sumba.  Orang Ndoso  ada juga di Sumba.  Dari kisah ini, kita menyimpulkan bahwa orang Manggarai itu insan yang berani menangkap  bayangan (nenu) menjadi kenyataan.  Tentu  tidak  mudah. Ini butuh keberanian lebih dan keahlian tertentu. Awang telah mencontohkannya, kini giliran "awang-awang"  lain.
JPS, 28 dan 30  Januari 2019.
  Orang Manggarai adalah insan yang kalau bertemu berusaha mencari landasan yang sama, berupa pangalaman, pengetahuan. Hal yang sama memberikan arti tertentu bagi orang Manggarai. Misalnya anak-anak berkumpul bersama anak-anak, orang muda berkumpul bersama orang muda dan orang tua berkumpul bersama orang tua. Orang mengelompokkkan diri berdasarkan daerah  asal, sekolah / kampus, suku. 
JPS  30 Januari 2019.
Orang Manggrai adalah insan yang  menyimbolkan dirinya sebagai benda langit seperti matahari, bulan dan bintang. Dalam seloka (go'et)  ada ungkapan dan harapan agar manusia bertumbuh mencapai  benda-benda angkasa itu, seperti ungkapan berikut:  bertumbuh mencapai bulan, meninggi mencapai bintang, melompat samapi matahari) (uwa haneng wulang, langkas haeng ntala, lempo haeng leso). Dalam  nyanyian juga sering muncul ungkapan  yang mengekpresikan manusia sebagai benda-benda angkasa itu, sebagaimana dalam penggalan lagu Manggarai ciptaan Ivan Nestorman berikut: "Karena kaulah matahariku, karena kaulah bintang pagiku, karena kaulah bulan bulatku"  (Ai hau ge mataleso ge, ai hau ge ntala gewang ge, ai hau ge wulang mongko ge).
 
JPS  30 Januari 2019.
  Orang manggarai adalah insan yang terbuka terhadap terhadap perubahan, misalnya  mau belajar membuat sawah, mau menerima makanan  suku lain yang dikembangkan di Manggarai, misalnya kompiang. Konon, kompiang asal usulnya berasal dari Fuzhou, ibu kota Provinsi Fujian, Republik Rakyat Tiongkok. Ada juga yang mengatakan Kompianng itu berasal dari Shaolin, Tiongkok. Kompiang  masuk Manggarai dibawa oleh pada pedagang Tionghoa. Kompiang mulai laku sejak awal tahun 1980-an. Salah satu toko yang menjajakannya adalah Tarzan. Namun sesungguhnya ada sejumlah warga Tiohoa yang mengusahakannya, seperti Coming di Tebing Tinggi,Ruteng . Coming mengusahakan kompiang Longa. Tarsan kemudian mengusahakan Kompiang daging.  Dalam perjalan waktu, kompiang menjadi salah satu kuliner  favorit Manggarai, terutama  untuk para perantau. Setiap kali pulang dari Manggarai menuju daerah lain, rasanya tidak afdol bila tak membawa Kompiang sebagai oleh-oleh.
  Sumber refleksi:  
https://www.facebook.com/giorgio.b.moggi?fref=nf&__tn__=%2Cdm*F-R&eid=ARDyScCsw-1HEoOXKJgUNEIVtjD-KY3-jGHj9kL2UvgEvYKKmM_gcL8EY1fjGF41FnA-5509GmsXOgWA
JPS, 31 Januari 2019.
Orang manggarai adalah insan yang  menjadikan beberapa hal ini sebagai oleh-oleh saat menuku daerah perantauan, yakni ikan Cara (Kencara), Kompiang, Kopi dan Rebok. 
  Sumber refleksi:  
https://www.facebook.com/giorgio.b.moggi?fref=nf&__tn__=%2Cdm*F-R&eid=ARDyScCsw-1HEoOXKJgUNEIVtjD-KY3-jGHj9kL2UvgEvYKKmM_gcL8EY1fjGF41FnA-5509GmsXOgWA
JPS, 31 Januari 2019.
  Orang Manggarai adalah insan yang melihat laki-laki dan perempuan memiliki peran yang khas. Dalam keluarga, laki-laki dianggap sebagai pengayom dan pelindung serta penjaga bagi saudari (weta) dan perempuan (saudari) dianggap sebagai aset bagi saudara (nara) terutama bila saudaranya menikah, saudari merupakan sandaran utama dalam rangka  pembayaran belis kepada keluarga mertua calon istri  saudaranya. Peran saudari yang sudah berkeluarga  terhadap saudaranya yang hendak berkeluarga ini diungkapkan dalam seloka : saudari yang sudah menikah (berkeluarga), belisnya dipakai untuk membelisi saudaranya (wai weta papi, laki nara laing.) Dalam banyak kasus, saudari dan suaminya sebgai tulang punggung ekonomi dalam pernikahan saudaranya. 
JPS, 1 Februari 2019.
Orang Manggarai adalah insan yang kadang terjebak dalam salah kaprah berkepanjangan, terutama dalam soal panggilan kepada kakek nenek.  Kakek adalah sebutan cucu untuk ayah dari bapa atau mama. Sedangkan nenek adalah  nama  panggilan untuk ibu dari bapa atau mama. Salah kaprahnya orang Manggarai adalah  orang tua laki -laki  dari bapa atau mama dipanggil nene (nenek). Padahal nenek itu  sebutan untuk perempuan.  Di kampung - kampung  di Manggarai, hal ini masih sangat jamak. Salah kaprah ini sudah akut, bahkan sudah masuk pada level alam bawah sadar orang Manggarai. Butuh perjuangan ektra untuk  memperbaikinya. Mulai dari mana perbaikannya? Dari keluarga dan  sekolah.
JPS, 7  Februari 2019.
  Orang Mannggarai adalah insan yang kaya dengan bahasa simbol dalam rangka menjelaskan manusia, termasuk metafora  alu dengan lesung (ngencung).  Alu merupakan simbol anak kelamin  laki-laki sedangkan lesung (ngencung)  simbol anak kelamin perempuan. Alu biasanya dipegang oleh perempuan. Apa maksudnya? Perempauan mengarahkan agar masuk pada lobang lesung  (ngencung) dengan  tepat sehingga proses  pengolahan makanan kehidupan berlangsung dengan baik.
Orang Manggarai adalah insan  yang  melihat bukti karya keluarga (terutama orang tua)  sebagai barometer dalam pembagian harta warisan bagi anak. Dalam kasus  pria yang poligami misalnya, pembagian warisan, termasuk tanah, harus berlandaskan  hasil karya dari para istri. Property apa yang dimiliki oleh sang ayah dan istri pertama, demikian pula dengan istri kedua. Biasanya istri pertama mendapat properti  lebih daripada istri kedua. Keturunan dari masing-masing pihak  harus  menyadari hal ini.  Betapa  malang  nasib anak istri terakhir. Sykur bila ada harta, bila  tidak,  bisa tak dapat apa-apa.
JPS, 15  Februari 2019.  Inspirasi  Ngobrol dengan  Micky Makung, Mery Jemen dan Ennde Gina  (12 -14 Feb. 2019).
Orang Manggarai adalah insan  yang  beranggapan bahwa hidup ini ada yang mengaturnya, termasuk kemmatian. Dalam rangka hidup sehat dan umur panjang, maka perlu dibuat persembahan kepada Pengatur hidup.Pada  zaman dulu, manusialah yang dipersembahkan. Namun, setelah itu, binatang bisa dan tumbuhan  menggantikan manusia untuk dipersembahankan kepada Pengatur Kehidupan  dalam rangka keselamatan itu. Dalam  ucacara menyambut  pihak keluarga, terutama  pihak keluarga saudari  yang telah menikah (anak wina)  pada saat menjelang kenduri (kelas), pada saat acara pulang ke rumah  penyelenggara selamatan (Adak Wee), dipersembahkan binatang korban yakni babi  yang disebut ela wee. Penutur adat menyampaikan bahwa  semua keluarga pihak  bibi dan saudari (anak rona)  pulang ke rumah (wee) dengan  babi, jangan dengan manusia, " wee  le  ela neka wee le mensia  (kembali ke rumah ini untuk acara kenduri, dengan babi, jangan dengan nyawa  manusia). Di sini, binatang dan tumbuhan bisa dijadikan  sebagai pengganti manusia untuk bahan persembahan kepada Pengatur dan Pemilik hidup .
JPS,  19 Februari 2019.
Orang Manggarai  adalah insan yang  jika menikah pihak keluarga laki-laki  (anak wina / woe) membayar mahar perkawinan yang cukup besar kepada  pihak keluarga perempuan (anak rona / Ine Ame). Mahar itu berupa  uang dalam jumlah jutaaan , hewan seperti kerbau/ sapi, kuda. Mengapa belis  cenderung  mahal? Ada dua jawaban, pertama, belis itu pengganti (substitusi) wanita yang pindah pergi ke  keluarga lelaki yang melamarnya. Material substitusinya harus sepadan dengan dirinya. Semakin besar mahas belis, semakin tinggi harga dirinya. Di sini, harga diri sepadan dengan  kuantitas dan kualitas  belis. Kedua, belis mahal merupakan isyarat bahwa menjadi atau menikahi orang Manggarai  harus  siap mental untuk  bekerja keras supaya bisa mendapatkan belis yang menjadi beban tanggung jawabnya. 
JPS, 26  Feb. 2019.
Orang Manggarai  adalah insan yang   kadang lamban, baik dalam berpikir  maupun  bertindak (berekasi). Proses  memahami  yang lamban ini  orang  zaman kini mneyebutnya loading  lambat (lola)n ini  memberikan resiko  lamaban bereaksi atau bertindak. Kelemaban bertindak ini orang Manggarai  mengungkapkannya dalam  seloka  target buruan  sudah lewat, baru jerat mengkerut        (awon  ndaot itu po herut serente / ).
VMG  4 Maret 2019, JPS, 5 Maret 2019.
 
Orang Manggarai  adalah insan yang   kadang lamban, baik dalam berpikir  maupun  bertindak (berekasi). Proses  memahami  yang lamban ini  orang  zaman kini mneyebutnya loading  lambat (lola)n ini  memberikan resiko  lamaban bereaksi atau bertindak. Kelemaban bertindak ini orang Manggarai  mengungkapkannya dalam  seloka  target buruan  sudah lewat, baru jerak mengkerut        (laun ndaot itu po herut serente / awon kawo, recek sempe ).
VMG  4 Maret 2019, JPS, 5 n 6  Maret 2019.
Orang Manggarai menyakini bahwa  cita-cita itu melekat dengan diri seseorang. Cita-cita dan diri berjalan beriringan,  ibarat badan dengan bayangannya. Byang-bayang seanjang badan (nenu lako loleng weki). Karena itu penting memiliki cita-cita yang positif, agar diri kita bertumbuh dan berkembang secara   positif. 
Kampung Bogor,Pusaka Rakyat, Tarumajaya  Pom Bensin  dan  JPS,  14 Maret 2019.
Orang Manggarai adalah insan yang kadang terdepan dalam berbicara namun terbelakang dalam aksi,  hanng dala seloka (go'et) adat disebut tombo alang olo, wuli alang musi. Seloka ini menunjukkan bahwa  ada celah dan ketidakcocokan antara tuturan dan  tindakan, hanya berbicara namun tanpa tindakan (NATO = no action talk only). 
 VMG  17  Maret 2019, JPS, 18  Maret 2019.
 Orang Manggarai adalah insan yang merasa bahwa  kabar duka (kematian) harus disampaikan kepada para kerabat agar tak menimbulkan kelaparan atau  kekecewaan, wero mata rantang  darum bara..
Inspirasi  kabar duka kematian Nenek  Lusia (usia kurang lebih 90 - 100 thn)  di Karot  Lelak, Manggarai, 17 Maret 2019.  Ridus  kabarkan kepada Mery  yang lagi di Terang, lalu Mery kabarkan kepada  saya dan saudara-saudara  yang lain. 

 Orang Manggarai adalah insan yang perlu menjaga keseimbangan antara memperjuangkan dan menimati  hidup. Hidup itu perlu diperjuangkan agar memberikan makna bagi diri dan orang lain. Namun, hidup juga peru dinikmati.  Tentang kedua hal ini, orang Manggarai mengibratkan itu sebagai lebah, lebah yang meghasilkan madu (wani isi) dan  lebah yang hanya sekedar bertammsya  ke suatu tempat (wani asi).  Menghasilkan madu kehidupan dulu lalu bertamsya melalang buana, "Ole jiri wani isi,  itu po wani asi.
JPS - Kamar mandi - toilet, 21 Maret 2019.


 Orang Manggarai adalah insan yang pada awal menyambut dengan senyum, gembira  namun pada akhir bisa mengeluh bahkan marah, sebagimana tergambar dalam seloka berikut: 
du wangkan  ranga tawa, turung semol ranga mesot;  
du wangkan  ranga tawa, musi main  ranga rani
du sain wai wani, musi main rasi pait

JPS, 22 Maret 2019


Orang Manggarai adalah insan yang dalam soal percintaan, peran orang tua dalam mencari  joodoh bagi anak mereka  masih menonjol. Orang tua mengnginginkan bahkan mengharapkan anak mereka memperoleh pasangan yang sesuai dengan kemauan mereka. Bahkan kadang mereka yang mencari  lalu menganjurkan dan bahkan memaksa  orang yang mereka taksir kepada anak mereka. Bila sang anak tidak mau,  orang tua memberikan jampi -jampi hati  agar si anak mau. Kondisi  pemaksaan kehendak orang tua atau pihak keluarga seperti ini   dengan sangat bagus dilukiskan oleh penyanyi Lokal Manggarai, Daniel Anduk dalam lagunya: "PATAMO OLE ENDE GE" . Salah satu penggalan syair lagu itu adalah sebagai berikut: "Patam o ole ende ge... de aku to jodog, sotor  wae botol de palang jodo, patam o de ende ge," Frasa ini bila diterjemahkan  artinya sebagai berikut: Kelakuanmu wahai mamaku, saya tak tidak berjodoh, namun diberikan air botol  yang sudah dimantrai  supaya mau. 
JPS, 28 Maret 2019




Orang Manggarai adalah  insan yang memandang buah-buahan atau bijian - bijian tumbuhan  sudah menjadi milik umum sejauh sudah jatuh  atau terlepas dari  pohonnya, misalnya   buah / kopi, buah kemiri, buah kelengkeng. Orang lain bisa memetik atau mengambilnya. Dan itu bukan melanggar hukum sosial. Bila buah / biji masih  mengikat satu dengan pohonya, maka itu menjadi milik tuan kebun, tetapi apabila sudah terlepas dari pohonnya, maka   itu menjadi milik umum. Proses  mendapatkan sesuatu  yang sudah jatuh  dari pohonnya  itu dinamakan tuluk (mencari). 


VMG - JPS, 30 Maret 2019.

Orang Manggarai adalah  insan yang mengedepankan prinsip ekonomi, dengan modal yang sedikit mendapat keuntungan yang  banyak, "gori se hoi, ako  selangkok, doi se hoi, dani selancing"  (kerja sedikit, panen sewadah besar, uang sedikit, hasil  sewadah besar).
VMG - JPS, 2 April 2019.



Orang Manggarai adalah  insan yang memberikan apresiasi yang berbeda terhadapa  jasa laki-laki dan perempuan dalam berkarya, terutama  bila tiba saat panen  atau musim menanam  padi. Laki-laki dewasa dihargai / dibayar  lebih besar daripada  wanita  dewasa.  Pada  musim  panen  pagi pada Maret - Mei 2019  di Terang  dan Lembor, Manggarai Barat, laki-laki dewasa dibayar  sekitar  Rp 60.000 - 80.000, sedangkan  wanita dibayar Rp 40.000 - 50.000. Wow... Mengapa? Mungkin  orang Manggarai berpikir bahwa laki-laki lebih kuat daripada  perempuan. 
NB: Saya  mengkritik  kebijakan dan cara  pandang ini.  Menurut  saya,  harus  ada persamaan penghargaan terhadap laki-laki dan perempuan.  Apakah ada jaminan bahwa laki-laki lebih   kuat daripada perempuan?

JPS, 4 April 2019

 Orang Manggarai adalah  insan yang memandang hidup ini sebagai ziarah yanng bermula dari Allah  dan akan kembali kepada Allah. Allahlah tujuan akhir  ziarah manusia. Penggalan syair suatu llagu berikut menjellaskan hal ini. "Kole Mori go cemon mose go tai ge  (Kepada Tuhan jugalah  tujuan akhir  hidup  ini).)
JPS, 12  April 2019

Orang Manggarai adalah  insan  berjejaring.  Jejaring itu mulai dari  diri sendiiri. Organ-organ  manusia merupakan suatu jejaring maha hebat. Selanjutnya sejaring keluarga (kilo), suku (wau')  dan  kampung.  Hidup berjejaring ini secara indah dilukiskan dalam lingko lodok (pembagian tanah ukayah berjejaring).

Halte BKN - Vawang Jakarta Timur, 17 April 2019, pkl 20:40 am, saat  transit busway dari  Depok munu Cempaka Mas - Asmi - Harapan Indah. Dalam layar info Trans Jakarta ditayangkan Konsep Jak Lingko, sistem transpoortasi DKI yang terintergrasi.
JPS, 18 April 2019.


Orang Manggarai adalah  insan  yang seyogyanya pandai membaca tanda - tanda, baik tanda alam, maupun pada  manusia. Dalam tanda alam misalnya, tanda  alam pada langit. Bagi orang yang hendak berburu di padang atau hutan, bila  di langit  tampak bintang  (ntala) dan  bulan (wulang)  berdekatan, itu berarti perburuan akan berhasil. Itu simbol  bintang burun (disimbolkan dengan bulan)  dikejar  anjing, hewan piaraan manusia (disimbolkan dengan   bulan). Orang yang pergi  berburu saat iitu pasti berhasil menadapt hewan buruan seperti  babi hutan / bagong  ( motang), kera (kode), landak (rutung), rusa (rusa), dll.  Tanda alam  sebagai isyarat berburu ini diungkapkan secara secara padat dalam seloka (go'et)   berikut:  "Tataplah bintang di cakrawala  sebelum  pergi berburu  ("Mana  ntala eta awang du toe di ngo bang")

VMG  -  JPS, 3 Mei  2019.


Orang Manggarai adalah  insan  yang memandang tanah sebagai sesuatu yang penting. Tanah itu sumber hidup  dan merupan warisan leluhur dan peninggalan ayah dan  ibu ( tana serong dise  empo, mbate dise ame, pedeng dise ende). Dalam proses pengerjaan tanah, baik sawah maupun ladang kadang  panenan berlimpang, untung, kalang juga panenan gagal, buntung. Ketika  untung dan buntung,  bersyukur dan berserahlah kepada Yang Kuasa. Untung dan buntung ibarat  roda, silih berganting, yang terpenting tanah tetap ada, tidak hilang (dijual). Walaupun tak ada hasilnya, yang terpenting tanahnya tidak hilang  (maram toem jirid po'ng, asal neka mora tanan).

JPS- VMG, 8  dan  9  Mei 2019


Orang Manggarai adalah  insan  yang seyoyanya  lincah dalam hidup, dengka  agu dangka  nai, neka da'ong  awo, neka da'et  sale  (cepat  dalam bertindak, tidak berlama-lama di timur,  tidak  tertinggal di barat), toe mejeng hese, toe ngonde holes (tidak lambat berdiri, tidak  malas menoleh).

VMG - JPS 11  Mei 2019.


Orang Manggarai adalah  insan  yang kadang berani dan nekad  berbohong   di sini dan kini, di hadapan  mitra berkumpul  atau lawan bicara.  meskipun  sudah tertangkap tangan. Kenekadan  dan keberanian berani berbohong meski sudah tertangkap tangan  dalam  Bahasa Manggarau diibaratkan sebapai  perbuatan  mengingkari kentut di pantat (pali pesu wa riti). 

Rel  KA  Kramat - Pasar Genjing - Pramuka, Jakarta Pusat,  14 Mei 2019  dan - JPS 15  Mei 2019.
 Note

Inspirasi dari  kejadian di rel  kereta api  di Stasiun Keramat, Jakarta Pusat.   Saya   beli buah pepaya di pinggir  jalan , ternyata  hampir basi, ketika  saya komplein  kepada lelaki penjual  buah itu , Namun dia masih ngotot mengatakan bahwa  buah itu  masih bagus, padahal saya yang merasakan. "Karena rasa tak bisa dibohongi" kataku.  Tingkah pedang ini, dalam bahasa manggarai disebut  pali pesu wa riti

Orang Manggarai adalah insan yang mengedepankan pendidikan anak-anak. Karena itu, meskipun  miskin, tetap berusaha menyekolahkan anak-anak. Segala cara halal dirambah, termasuk mengkredit uang atau  harta orang, yang terpenting anak-anak bisa menyenyam pendidikan  demi kehormatan dan nama baik keluarga serta masa depan anak yang lebih baik. Meminjam uang uang atau harta orang demi tujuan baik  menjadi hal yang wajar dan tak perlu dianggap sebagai aib  atau hal yang memalukan. Pengorbanan mengkredit  tanpa digembar gemborkan itu dalam  go'et Manggarai disebut toe turas  tuda, toe tombol sokol  (kredit jangalah dibicarakan, pinjaman janganlah diperbincangkan). 
Orang Manggarai rela makan makanan sederhana, misalnya umbi -umbian, bahkan serangga  serta  air  bahkan "berpuasa" dalam waktu yang lama untuk menikmati  makanan enak,  karena uang dan hasil bumi lebih banyak dipakai untuk membiaya pendidikan anak. Maram mbutak hang gula, longko  hang loho, teko hang leso, daeng hang mane, njieng hang wie  tamal  ngance ongkos anak. (biar sagu makanan pagi, kolang  kaling makanan siang,  keladi makanan  siang, ubi singkong makanan sore  dan  ngieng  makanan malam asal  bisa membiayai sekolah anak)

VMG, JPS 18 Mei 2019


  Orang Manggarai adalah insan yang mengutamakan persatuan dalam hidup berkeluarga dan  masyarakat. Persatuan penting dalam rangka mendapatkan kekuatan dalam meraih sesuatu. Seloka menggarai  mengatakan begini: Neki sa (ca)  te pande manga rang, neki sa te pande garas, neki sa te pande langkas, neki sa te ba nggalas (Bersatu supaya  meraih harkat,  bersatu supaya mendapat kesegaran, bersatu supaya mencapai ketinggian,  bersatu supaya  membawa kebijaksanaan). Selain itu persatuan penting karena bisa  menyelesaikan sesuatu dengan tepat dan benar, sebagaimana go'et  berikut ini: "Ongko (kongkol)  kudut molor,  kengkel kudut  mberes  (bersatu supaya  benar / tepat / baik,  bersatu supaya  kuat).

VMG, JPS 18 Mei 2019


Orang Manggaarai adalah insan yang dalam arti tertentu  dipahami sebagai insan yang  kontrdiktif / bertolak belkang (teing toni tau / teing riti tau / teing gong  tau). Mengpa? Karena di  satu sisi, manusia sebagai makhluk pribadi  yang khas (wai' woleng lampa, lime woleng wejong = kaki berlainan langkah, tangan berlainan ayunan), di sisi lain, sengai makhluk sosial yang tidak bisa  tinggal sendiri (betong setede toe ngancr pola haang koe) . Orang Manggarai hidup dalam tengangan seperti iitu, sebagai makhluk pribadi (individual) dan  nakhluk sosial.  Itu makanya dikatakan sebagai makhluk kontradiktoris (teing toni tau / teing riti tau / teing gong  tau).

VMG - JPS, 23  Mei 2019

Orang Manggarai adalah insan  yang bisa bersahabat dengan binatang tertentu, terutama  tokek. Bila tokek bersuara, bisa ditanggapi.  Tokek, biasanya  mengeluarkan suara: "Teke.." Orang yang mendengarkan bisa merespons  dengan jawaban  musim yang sedang  berlangsung. Indonesia hanya mengenang dua (2) musim, yakni  musim kemarau (lena)  dan musim hujan (usang). Pendengar  bisa menjawab dengan salah satu alternatif di atas, tergantung musim apa yang sedang berlangsung saat itu.  Maka,  bila  toke bersuara: "Teke,"   maka  dijawab : " Dureng:, Teke,: walis". 

VMG - JPS, 28 Mei 2019.

 Orang Manggarai adalah insan  yang diharapkan   bisa  mandiri setelah mengalami ketergantuangn dalam suatu satuan waktu. Haram bagi orang Manggarai  untuk  tergantung salamanya. Leluhur mengajarkan janganlah selamanya menjadi  parasitt, perlulah mendidik diri untuk  pemberi kemanisan  dan kenimatan  (neka tedeng jadi tai'  ntala, perlu toing weki ru te jiri  tai wani agu tai ' gola). 

VMG - JPS, 28 Mei 2019.
 Orang Manggarai adalah insan  yang percaya bahwa pikiran berjalan beriringan dengan kehidupan (nuk lako loleng uwa). Suasana dan stuasi hidup kita  merupakan konsekuensi dari  pikiran kita .  Pikiran baik, maka hidup baik,  sebaliknya pikiran buruk maka  hidup  buruk. 

VMG - JPS, 29 Mei 2019.
 Orang Manggarai adalah insan  yang percaya bahwa setiap karya / kerja  mendapat  upah. Misalnya saat  menyembelih  dan membagi hewan buruan, ada istilah  "lewang kope"  (ganti  rugi parang yang rusak)  atau dalam bentuk lain seng mbako (uang rokok)  atau seng sepa (uang sirih pinang). 
JPS, 31 Mei 2019.
Orang Manggarai  adalah insan pekerja keras sebagaimana terungkap dalam go'et  duat gula wee mane (kerja mulai pagi,  pulang sore hari), dempul wuku tela toni (kuku tumpul, punggung  terbelah). .
Vila  DPR RI kopo, Bogor  JaBar, 1 Juni 2019, VMG,  3 Juni  2019.

Orang Manggarai  adalah  insan yang terbuka terhadap org lain,  ramah menerima tamu dan  mengayomi sesama. Hiang  ata sama  artin hiang weki ru.  Sepa  meka, gatang ata, 
Vila DPR RI  31 Mei 2019.VMG 3 Juni 2019. 

Orang Manggarai seyogyanya merangkul yang galau, memapah yang kalah, memberi  makan yang lapar.
Orang manggarai patut membalas  jasa orang tua. Amanat  moral balas jasa ini tersurat dalam  nyanyian: Eme ghaeng pakeh e anak  e, nuk koe amem e, eme ghaeng  delekh e anak e  nuk koe endem e (Kalau dapat katak wai anakku, ingatlah ayahmu, kalau dapat keuntungan hai anakku ingatlah ibumu).

VMG, 13 -14 Juni 2019, JPS, 15 Juni 2019.

Orang manggarai percaya  bahwa hidup ini  merupakan penyelenggaraan Tuhan. Awal dan akhir hidup manusia ada dalam kuasa Tuhan. Awal manusia yang berasal dari tuhan bisa disimak dari kisah awal penciptaan menurut orang Manggrai,  berdasarkan  prinsip  sebagaimana terungkap dalam seloka adat (go'et)  mekar dari  belang (bambu kecil), tunas dari bambu (Bengkar one mai belang, bok one mai betong).  Kokon di suatu tempat di Manggarai ada serumpul bambu. Suatu hari rumpun bambu ini diterpa cahaya pagi. Tiba-tiba muncul sepasang anak manusia. Peristiwa serumpun bambu kena sinar matahari lalu muncul sepasang manusia itulah yang  merupakan titip awal pencitaan manusia menurut orang Manggrai, yang dalam seloka adat diungkjapkan: Bengkar one mai belang, bok one mai betong. 
Lalu soal akhir kehidupan. Orang Manggarai percaya bahwa  hidup akan berakhir dan kembali kepada Tuhan (Allah).   Keyakinan sebagaimana terungkap dalam  anatara lain terdapat nyanyian, mislnya : " E.... e mose lino o mose lorong Mori. .... one Mori go cemoln moseg o taig e ( Aduh... hidup di dunia ini hidup mengikuti Tuhan.... ....dalam  Tuhan  pada akhirnya muara hidup ini) . Pesan yang sama terdapat dalam penggalan lagu  Felix  Edon berikut ini: ".... Weri latung  gok latung, weri woja ako woja, lawa e..... Aram ta.... latung coko tai ta... woja wole tai ta......one limed Mori mosed e...... (...... one limed Mori mosed e  (dalam tangan Tuhan hidup kita  / Hidup kita ada dalam tangan Tuhan).

VMG , JPS  20 Juni 2019.


Orang Mannggarai harus berintegritas, tepati  janji, pegang komitmen.  Dalam berbagai acara, terutama acara adat, misalnya selamatan kampung, Penti, dan juga acara lain, misalnya kenduri (kelas), selalu dilakuan sesuai waktu yang ditentukan. Pihak terkait dalam hubunngan kawin mengawin biasanya menempati jani untuk hadir dalam acara itu. Peaksanaan ritual yang sudah dijadwalkan / direncanakan itu, dalam seloka adat (go'et) disebut leso remong,  tantu raup, rapak  reke (hari pertemuan, saat perjumpaan, menempati janji)

VMG , JPS  28 Juni 2019.

Orang Manggarai mendasarkan hidup pada aturan, termasuk perkawinan. Bila ada yang melanggar maka dikenai sanksi (hukuman). Bila orang melakukan perkawinan terlarang, misalnya meakukan perkawinan sumbang  sedarah (jurak), misalnya orang tua dengan anak, atau antara kakak dengan adik kandung, maka mereka yang demikian  mendapat hukuman, yakni memandang matahari ( mana mata leso) . Dalam hidup sosial orang yang demikian kerap dikucilkan dari pergaulan.

JPS  3  Juli 2019.

Orang Manggarai percaya akan pewarisan / regenerasi  karakter dari generasi ke generasi, dari  kakek nenek kepada orang tua, dari orang tua kepada anak - cucu. Pewarisan gen ini dilukiskan dalam  selakoa adat:  Katak sisakan kuahnya, Kepiting sisakan sayurnya, Tekukur sisakan aromanya,  tawon sisakan kepalanya,  Babi Landak sisakan bulunya, Ayam sisakan baunya, Musang sisakan serpihan tulangnya  (na' waen pake, na uten kuse, na' ngerun tekur, na' sai'n wani, na' wulun Rutung, na' waun  Manuk, na' ulapn Kula).

JPS - VMG, 13 Juli 2019

Orang Manggarai memandang batu sebagai simbol  manusia. Dalam perkampung adat, banyak ditemukan batu, misalnya di dapur  rumah (likang) , depan rumah (watu wasa wai') , di mesbah persembahan  (compang), juga di mata  air. Di mata air /pancuran  biasanya dipadukan  dengan  air mengalir sari bambu. Air di bambu merupakan simbol laki-laki sedangkan  batu merupakan simbol perempuan. Air jatuh di batu merupakan simbol perkawinan / perjumpaan antara laki-laki dan perempuan.

JPS - VMG, 16 Juli 2019.

Orang Manggarai memandang Tuhan  sebagai andalan terkahir untuk mendatangkan keadilan kehidupan. manakala tidak ada harapan lagi, jalan terkahir adalah mengharapakan Tuhan  melakuan pembalasan sesuai perbuatan seseorang.  Ada Tuhan yang akan membalas nanti  yang akan melihat semuanya   untuk membalas   perbuatan aik dan menghukum pperbuatan jahat (Manga Morin tai le walis sangged gauk di'a  agu waheng sangged gauk da't) )

VMG - JPS,  22 Juli 2019


Orang Manggarai  umumnya, dan Manggarai Timur khususnya, sangat akrab dengan simbol angka lima (5). Angka lima merupakan simbol kesakralan  dalam budaya Manggarai.  Simbol angka 5 (lima) ini  tersebar dalam pelbagai upacara, mulai dari kelahiran hingga kematian. Dalam peristiwa kelahiran misalnya, acara pemberian nama  bayi  sear sumpeng  (cear  sumpe)  dilakukan pada hari kelima setelah  kelahiran.  Dalam rumah adat (Mbaru Gendang / Mbaru Tembong), titian tangga ada 5 (lima), saat  perayaan syukuran adat kampung  (penti)  dilantunkan lagu wajib Sanda 5 (Lima)  pada perayaan puncak. Dalam  upacara kematian, ada  perayaan  saung ta'  seki lima (daun baru pada hari kelima ). Dalam  kepercayaan masyarakat tradisional, selama 5 hari  orang berkabung. Dalam masa kedukaan itu, orang tidak boleh  pergi ke kebun untuk bekerja.  Pada hari keenam orang bebas  bekerja, termasuk pergi  bekerja di  kebun.  Orang yang mendapat ajalnya (mmeninggal)  sering disebut   mendapat  lima  bilah bambu ( tiba lampek  lima).  Dalam khasanah adat   ada  lima hal pokok  yang harus diperhatikan, yakni, pertama,   rumah tinggal (Mbaru bate kaeng) , kedua, kebun medan berkarya (uma bate duat),  ketiga, halaman tempat bermain ( natas bate labar),  keempat, mezbah  batu tempat sesajian (compang  bate dari),  kelima, air  timbaan untuk kehidupan (wae bate teku). Pada saat upacara adat penti, kelima  zona sakral  ini wajib dikunjungi  warga kampung. Dalam sengketa adat, misalnya dalam    dalam masalah perkawinan sumbang, pihak yang bersalah  bisa dikenai hukuman ( denda)  berupa babi besar dengn ukuran tertentu yang  ukuran besar dan postur tubuhnya  berlapis-lapis ibarat tali berlapis lima (ela wase lima) .
(Sumber inspirasi: https://travel.kompas.com/read/2018/04/23/064200627/-peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores?page=all; https://nttbangkit.com/peting-ghan-nalun-weru-ritual-sakral-suku-nggai-di-flores/)

JPS, 25 Juli 2019



Dalam kelahiran  manusia, ada  dua hal utama yang  terjalin satu yakni bayi dan plasenta. Orang Manggarai menganggap bayi sebagai adik (ase / ahe), sedangkan plasenta sebagai kakak (kae). Mengapa demikian? Karena dalam  susunannya organiknyya  dalam rahim / perut,  bayi terletak di bawah, plasenta di bagian atas.  Itu alasannya mengapa bayi disebut adik  (ase / ahe)  dan plasenta (imar?) disebut kakak (kae). 
JPS, 31 Juli 2019
Orang Manggarai memandang  bahwa   manusia itu makhluk  pribadi  dan sosial . Sebagai makhluk pribadi, manusia itu unik sebagaimana  seloka  adat ( go'et)  kaki berbeda langkah,  tangan berlainan gerak (wai' woleng lampa, lime woleng wajong /wejong) . Sedangkan  sebagai makhluk sosial orang Manggarai menyadari bahwa  orang tidak   bisa   hidup sendiri  sebagaimana seloka adat (go'et)  bambu sepohon tak bisa dipikul sendiri  (betong setede toe ngannceng pola hanang koe).  Dalam hidup, terutama hidup bersama, mutlak perlu peraturan demi kehidupan bersama yang  baik. Orang Manggarai diharapkan patuh hukum. Dilarang melanggar hukum (neka  wegi / wedi  repi /seki /seling, neka  lage sake). Melanggar hukum, selaku ada resiko, termasuk kehilangan hidup. Bisa simak kisah Nggerang dari kawasan Ndoso, kecamatan Ndoso, Manggarai Barat, atau kisah istrinya Ndegar Peka  dalam mitos orang  Kolang, Kuwus dan Kuwus Barat. Dalam kisah  Nggerang , ibunya Nggerang  kembali ke alamnya sebagai bidadari (ata pele sina, darat)  karena  ayahnya Nggerang melarang norma (ireng / seki / seling) yang  tekah disampaikan kepadanya, yakni mengucapakan kata-kata tertentu  - teu sa ambong neka woleng lako,  ipung setiwu neka woleng wintuk, pake se wae neka woleng tae -  saat  menghibur Nggerang yang lagi menangis ketika ibunya pergi timba air.  Ternyata ayahnya Nggerang menyebutkan / menrngukangkapkan kata-kata itu. Pelanggaran ini mendatangkan resiko, yakni mamanya Nggerang hilang, kembali menjadi ulr sawah (nepa) lalu kembali ke alamnya sebagai bidadari (ata pele sina, darat).  Hal yang sama terjadi dalam mitos orang Kolang dalam kisah Ngegar Peka. Istrinya  Ndegar berasal dari Tiwu Peka di kawsan Wae Impor dekat Watu Pengang, Ranggu, Kolang.  Ndegar berhasil memperistri gadis cantik  asal Tiwu Peka (Kolam Peka). Lama dia menginggalkan kampung halamannya , Welu ( dalam perkembangan kemudan menjadi Golowelu).  Kakaknya Ndegar yakni Ndegur Welu  merencanakan kenduri terhadapnya (Ndegar) karena  telah lama tak kembali ke Welu. Ndegur  sang kakak  merasa adiknya, Ndegar telah  meninggal. Maka  direncanakan  kenduri (kelas). Namun di dunia seberang (Tiwu Peka), Ndegar yang telah mempersunting bidadari (darat / kakartana/ ata pele sina)  mendengar  rencana ini. Pada hari menjelang acara kenduri dia dan istrinya kembali ke Welu. Sang kakak dan warga Welu bersuka ria. Pesta kenduri  berubah menjadi pesta syukur bahwa  Ndegar yang dikira sudah mati ternyata masih  hidup dan malah memiliki istri yang cantik jelita. Ndegar dan istrinya hidup di Welu (Golowelu).  Istrinya Ndegar meminta agar warga   (Golowelu)  jangan  menggoreng / mengoseng biji wijen (longa).  Ini pantangan bagi istrinya Ndegar.  Suatu  hari istrinya Ndegar pergi timba air ke mata air. Di rumah mertuanya menggoreng biji wijen (longa).  Aroma longa  menyeruak di penciuman istri Ndegar  yang  sedang menimba air. Rasa iba  tiba bahwasanya  dia merasa mertuanya  sudah tak menempati janji. Mertuaya  melanggar janji / peraturan ( wegi seki, lage sake).  Pelanggaran mertua ini mendatangkan resiko. Begitu tiba di rumah, istrinya Ndegar tiba-tiba  berubah rupa,  dia bergerak lagu menjadi belut (tuna)  lalu menghilang. Dia kembali  menuju kampung orang tuanya di Tiwu Peka.  Dari kisah ini mengajarkan agar orang Manggarai harus  taat asas / prinsip.   Melanggar asas selalu  membawa  akibat, bahkan  sampai hal yang fatal berupa kehilangan  sesama. Mamanya Nggerang  dan istrinya  Ndegar sebagai contoh. 

JPS, 2 Agutus 2019.

Orang Manggarai itu orang yang patuh / taat kepada   saudara / abang / kakak. Simak  kisah  Ndegur Welu  dan  Ndegar Peka . Keduanya kakak beradik. Mereka  penyadap tuak. Suatu hari Ndegur meminta Ndedar membawa tuak ke rumah. Ndegar melakukan itu. Sayanng tuanya tumpah  ke tanah ketika tiba di rumah. Ndegur meminta Ndegar  membuntuti  tuak itu. Ndegar menggali tanah mencari tuak itu. Semakain menggali semakin tak dapat. Dia malah menemukan   kolam Peka yang punya pemilik / penunggunya yang sedang bersusah hati karena anak gadisnya sedang sakit leher. Mereka bercakap-cakap. Nedegar punya kelebihan, yakni bisa mengobati sakit anak gadis dari peninggu Tiwu Peka. Sementara Ndegar sangat membutuhan tuak untuk mengganti tuak yang telah ditumpahkannya. Perjanjian terjadi.  Untuk mendapatkan tuak, Ndegar harus membantu menyembuhkan anak gadis pemunggu Tiwu Peka.  Ndegar sukses menyembuhkan gadis cantik itu. Ndegar mendapat durian runtuh. Dia mendapat tuak sekaligus gaids cantik itu menjadi istrinya.  Dari kisah ini, kepatuhan mendatangkan  sesuatu.

JPS, 2 Agutus 2019.



Orang Mannggarai, sebagaimana suku lainnya, berkembang karena  perkawinan lawan jenis antar suku. Ada banyak suku di Manggarai. Saya menyebut dua diantaranya, yakni suku Kolang  di Kec. Kuwus Barat , Kab.  Mannggarai Barat  dan suku Urang di  Kecamatan Lelak, Kab. Manggarai.  Kedua wilayah ini dibatasi oleh pegunungan , yakni Poco Kuwus. Wilayah Kolang berada di sebelah Utara Poco Kuwus, Wilayah Urang, Lelak di Selatan  Poco Kuwus.  Suku  Urang  terkenal dengan kisah konyolnya, yakni menyimpan  minuman tuak  di tanah menjelang pesta.  Orang beramai - ramai menyimpan  tuak di dalam tanah. Lalu mereka tutup. Ketika pesta berlangsung, mereka membuka tutup tempat mereka menyimpan tuak. Mereka mau mengambil tuak. Apa yang terjadi? Ternyata  kosong, tak ada tuak. Tuak sudah diserap  tanah, dihisap bumi. Mereka menyesal setengah mati.  Pesta  kacau karena kketiadaan  tuak.

Mengapa orang Urang  menyimpan tuak ke tanah? Mungkin mereka mendengar kisah dari orang Kolang di Tiwu Peka.  Menurut Orang Kolang, Tiwu  Peka itu  berasal dari tuak yang tumpah keluar melampau Peka (gogong. tabug bambu).  Mungkin  tuaknya orang Urang  larinya ke sebelah gunung yakni menuju ke Tiwu Peka.

JPS, Agustus 2019

Orang Manggari kadang  tidak konsisten, bahkan kontrakdiksi sebagaimana terungkap dalam seloka adat (go'et)  berikut: ireng aku wiwet, hang aku lawo  (saya pantang makan tikus merah, tetapi saya mengkonsumsi tikus). Padahal wiwed  dan   lawo    sama -sama tikus, hanya berbeda usia.

JPS ,  12 Agustus  2019.

Orang  Manggarai diharapkan bijaksana, berpikir  positif dalam hidup sebagaimana kata pepatah: Ngger eta  lemas, ngger wa  rak ( lemas ngger eta, rak ngger wa )  = ampela e atas, paru-paru ke bawah  = yang baik yang ditunjukkkan / ditampilkan, yang buruk ditenggelamkan / dihilangkan / disembunyikan).

JPS  17 Agustus 2019, hari Kemerdekaan RI ke  74.


Orang  Manggarai  harus  kreatif , inisiatif dan  inovatif  (dengka, dangka  nai,  lerong nai jangka wero)  agar  bisa  hidup baik, sukses, tidak melarat. Siapa yang  tidak  kreatif  akan menderita ke manapun akan pergi dan di manapun berada , ke selatan makan tanah merah, ke  utara makan dedaunan (le le hanang tana ndereng, lau-lau hang saung haju). 
Jln. Antilop 8, Cikarang Baru,  19 Agustus 2019  dan  Hotel Sakura, Delta Mas, 20 Agustus  2019. Inspirasi:  Mmendengaran  Celotehan  Mm   Juan  di rumah  mereka , pada 19 Agustus  2019, yang menasihati agar  hidup dengan  mentap sigap, siap, sekatan, kreatif, bersemangat. 

Orang Manggarai percaya pada hubungan sebab akibat. Salah satu  contoh  relasi yang rusat dengan alam bisa memerngaruhi  kondisi  diri. Orang Manggarai memandang bahwa alam adalah makrokosmos dan diri manusia adalah mikrokosmos.  Mickrokosmos bagian dari makkrokosmos, manussia bagian dari alam. Maka  merawat  alam berarti turut serta  merwat  manusia. Bila hubungan itu russak  perlu dilakukan  pemulihan, melalui  kurban sesajian   melalui  kurban sembelihan bonatang, berupa ayam, kerbau, kuda, kambing, sapi. anjing.  Rasa  sakit yang dialami  bisa dikaitkan dengan  relasi  yang reratk sengan alam, maka  perlu dibut kurban persembahan.  Konsep ini  bisa ditemukan  dalam lagu:  ENDE LE'AS GA : Ole  ende le'as  kaban le'as  ge
De damang  benta hi amang tong ge  ...nana
Damang ngo wa  sawa e
De eme manga  rajan e, ala lalong lapak tau caca raja
Ole ende le, ole ema le,  le'as ge.
J P S, 24 Agustus 2019
Orang Manggarai dalam  upacara adat, lebih khusus  menerima tamu resmi, memberkati  dan melindungi tamu.  Itu tampak  dalam tuturannya adat (go'et) : Yo...Mori, eme manga warat, lite sakan, eme mang buru  toka lite  sondan (Ya, Tuhan bila ada badai,  biar Kaulah yang menahannya, bila ada  angin kencang menghempas  biar Tuhan saja yang  menghalaunya.). 


J P S, 26  Agustus 2019



Orang Manggarai memandang bahwa warna itu bermakna, terutama warna bulu binatang persembahan. Dalam upacara adat, ada beberapa binatang peliharaan yang sering dipakai, yakni  kerbau, kuda, babi, ayam, anjing.  Kerbau misalnya,  kerbau putih (kaba  bakok / pera),  dipakai pada saat sykuran suatu suku karena telah beranak pinak (beka agu buar)  dan atau telah berhasil (lonto lobo watu) . Selain itu kaba putih  juga dipakai untuk pemulihan hubungan dan penolakan bala, terutama  untuk hubungan yang masih sedarah supaya tidak terjadi  kecaatatan dalam generasi (kaba lembor paca - untuk  untuk keturunan sedarah. Menurut adat Manggarai, pada lapisan ketiga, anatara sesama saudara  bisa saling menikah, anak laki-laki dari pihak kakak  dan anak perempuan dari pihak adik. Supaya tidak terjadi bala dalam perkakwinan sedarah itu, maka diadakanlah  upacara adat dengan meyembelih kerbau putih (kaba bakok /pera). Ada ungkapan  kerbau putih untuk memohon pengampunan dan  sebagai tanda perdamaian (Kaba bakok te tegi ampong agu te pande hambor)  (Tentang perkawinan  antar keturunan sedarah antara saudara , bisa  lihat Damian N. Toda,  Manggarai mencari pencerahan historiografi, hlm.........).
Kerbau hitam (kaba miteng) dipakai pada perayaan syukur pada umumnya, misalnya penti, syukuran pengresmian rumah adat baru (songko lokap). Sedangkan  kerbau belang-belang (kaba balo / ntalak), saya  belum pernah mendengar  kapan itu  dipersembahkan.
Lalu  Kuda. kuda hitam (jarang bolong) dipakai untuk membersihkan kampung dari  dosa / kesalahan yang dibuat warganya. Ada  seloka (go'et)  kuda putih untuk membersihkan kampung (jarang bolong te koso long ge golo) . Selanjutnya  kuda dengan  dengan beragam warna  dipakai untuk urusan belis. 
Lalu babi (babi). Babi hitam untuk berbagai upacara, baik perkawinana maupun kematian. Dalam upacara kematian ada  babi untuk menyapa dan tutur pisah, permohonan maaf,  pesan, doa  serta harapan   untuk  orang yang meninggal (ela haeng nai) dari pihak pemberi pengantin wanita (anak rona). Selain itu  ada babi untuk  melindungi anak-anak keturunan dari orang yang meninggal yang disebut ela pangga. Juga ada babi untuk penguburan (ela tekang tana). Juga babi  pada saat kelahiran kembali (ela saung taa) ,  dan  babi lapor diri pada saat kembali  ke rumah  keluarga orang meninggal pada saat selamat atau kenduri (kelas) yang disebut babi pulang / kembali (ela / kina wee)  dan babi kenduri (ela kelas). Babi pirang (ela rae) biasa dipersembahkan  pada saat syukuran bertemabahnya keluarga (adak naka beka agu buar). Saya  belum tahun  babi  belang-belang (ela balo)   dipakai untuk apa saja. Pada saat perkawinan  dikenal beberpa jenis upacara dan mmseki siapkan babi untuk tiap tahapannya, misalnya, babi  sebagai  tanda penyatuan keluarga  calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan, yang disebut  ela mbukut.  Selain itu ada babi sebagai tanda pengukuhan persetujuan kesepakatan belis antara keluarga calon pengantin pria dan calon pengantin wanita yang disebut ela lembet. Selain itu masih ada babi perkawinan (ela kawing)   dan babi penyucian  (pembersihan)  diri bagi calon pengantin perempuan yang masuk ke keluarga pengantin laki-laki yang disebut ela tempang pitak. 
Selain itu  kambing. Kambing  pirang (mbe kondo)  dipakai untuk syukuran dan menolak bala.  Sedangkan kambing-kambing warna lain, dipakai saat ucapara  syukur lain. Kambing penting karena kulitnya untuk dibuatkan gendang, alat musik tradisionalk Manggarai.
Satu lagi, yakni ayam (manuk). Ayam sangat sering dipakai dalam perlbagai upacara adat, yakni ayam putih (manuk bakok)  sebagai ritus perutusan ke daerah operentauan misalnya pergi sekolah (wuat wai' ngo sekola).  Ayam jantan merah (manuk lalong sepang)  untuk.........................., ayam jantan hijau (lalong raci)  untuk..............................., ayam tiga warna, merah, putih, hijau  untuk (lalong lapak)  untuk memulihkan  hubungan yang retak atau untuk menyelesaikan persoalan  (ala lalong lapak te sasa raja). Ayam abu kekuningan (manuk lale)  untuk menolak bala. 
Selain itu ada anjing. Anjing kecil terutama anjing yang masih buta (asu buta) , dipakai untuk menolak bala.

Kadang, untuk suatu acara adat dipakai perpaduan bebrapa binatang,  di atas,  kerbau putih (kaba bakok /pera), babi putih kekuningan (ela rae/butung), ayam merah (lalong sepang), kambing pirang (mbe kondo), anjing buta  (asu buta).

JPS, 6 Oktober 2019, singgah  sebentar setelah pul;ang Gereja. Ide warna memiliki makna, ini muncul kembali pada pagi hari ketika mau ke Gereja St. Albertus Harapan Indah, Bekasi,  di VMG, di atas  motor. 

Orang Manggarai  itu  mengenal  seloka  yang dimetaforakan dengan  tumbuhan dan  binatang. Beberapa tumbuhan yang  sering diapkain dalam metafora yaitu  pisang (muku), tebu (teu),. Binatag yag sering dipakai dalam seloka misanya  katak (pake), ..........(ipung)  Contoh metafora dengggunakan tumbuhan: Pisang serumpun  jangan berlainan kata (muku sa puu neka woleng curup), tebu serumpun jangan berlainan  langkah (teu sa  ambong, neka woleng lako). Seloka yang menggunakan hewan misalnya: Kata sekolam (sesungai/seair)  jangan  jangan berlainan kata (pake sewae  neka woleng tae),  ikan kecil sekolam jangan berlainan perilaku (ipung setiwu neka woleng wintuk)

Apa yang mau ditampilkan dengan  seloka ini?  Menurut saya, ini merupakan gambaran bahwa nilai kehidupan manusia Manggarai itu berlapis-lapis (tondol suku tondol). Pisang  dan tebu terdiri dari lapisan-lapisan. Demikian juga  dengan katak (pake)  dan  ikan kecil (ipung). Orang Manggarai memiliki lapisan  nilai, baik pribadi  (weki), keluarga (kilo) klan (panga)  dan kampung (beo).  Dalam pelbagai upacara terdapat nilai-nilai itu, mulai kelahiran (loas), perkawinan (kawin)  maupun kematian (mata). Nilai-nilai itu tertuang dalam berbagai tuturan lisan  misalnya  seloka (go'et),  silsilah /genealogi /sejarah  (tombo turuk empo),  dongeng / cerita rakyat   (nunduk), lagu rakyat    (dere manga de ro'emg), peribahasa (rapang / bundu) .

JPS, 9 Oktober 2019.




Orang Manggarai  menganggp bahwa memiliki anak mendorong dan memotivasi  orang tua untuk berpikir  dan membuat   perencanaan kehidupan. Semakin banyak  anak  semakin  orang diharapkan termotivasi untuk berpikir dan membuat perencanaan yang baik. Jumlah anak menunjukkan jumlah kemampuan dan kematangan berpikir.  Satu anak, satu pikiran, dua anak dua pikiran, tiga anak tiga pikiran  (Sa anak, sa nuk, sua anak sua nuk, telu anak teluk nuk) . 

VMG - JPS, 20 -24  Oktober 2019)


Orang Manggarai  memandang berpikir itu hal yang  penting  bagi manusia. Selagi  hidup  janganlah berhenti  berpikir. "Neka  toko  nuk, jangan  tidur dalam berpikir"  demikian nasihat oang tua yang dituturkan kembali berulang-ulang untuk orang yang  sudah  dewasa atau orang yang sudah berkeluarga. 

VMG - JPS, 10 -11  Nov  2019,  inspirasi  dari  percakapan  dalam FB,  Pendik cs, Nov.  2019.


Orang Manggarai  itu insan yang perlu berbangga  karena memiliki bahasa  dan budaya.  Bahasa dan budaya  menunjukkan identitas, termasuk  asal   tanah air (tombo toto golo, bajar toto tana agu  adak). 

JPS, Nov. 16, 2019.


Orang Manggarai  dalam acara  adat  mengungkapakan doa dan harapan melalui  barang simbolis, terutama  melalui  air  dan minuman lokal  dari pohon  enau (raping) yang disebut  tuak. Tuak   disimpan dalam wadah berbentuk leher angsa yang disebut  robo (tawu). Pada zaman  modern,  orang  llebih pragmatis. Ketika robo  susah didapat  maka  dipakai botol    minuman modern, tepatnya    bir. Maka ketika menyapa tamu dalam acara adat, doa dan harapan itu disematkan dalam  air  dan sarana simbolis  tuak dan botol itu  ( tae one wae, tura one tuak, tombo one  botol). Itu makanya pertemuan selalu dibuka dengan minuman (kopi)  dan setelah makan diselingi dengan  minum minuman tuak atau  bir.


JPS, 22 dan 23 Jan. 2020. 


Orang Manggarai itu insan yang memiliki harapan sebagaimana  terungkap dalam seloka berikut : maut  toe  jari tai, dia'  diang  ( semoga sukses  nanti,  berhasil  besok)

JPS, 13 Feb. 2020


Orang Manggarai memandang bahwa kematian  itu  suci. Maka ketika ada orang meninggal, salah satu batang yang dibawa oleh keluarga adalah kain  putih ( kain bakok). 

JPS, 13 Feb. 2020



Orang  Manggarai memimiliki beberapa instrumen  dalam mendidik sesama, termasuk anak-anak. Instumen itu  berupa  tingkah laku  dan tuturan  serta  nyanyian. Orang Manggrai mengajarkan mendidik melalui perbuatan (teladan), sebagaimana  dituturkan dalam seloka adat: toing le toming.  Selain  itu peranan bahasa tuturan juga  penting. Bahasa  tuturan itu  baik tuturan resmi  dalam bentuk  torok  tae   atau  kepok  tiba (curu/suru) maupun tidak resmi dalam bentuk ujaran harian . Selain  itu  masih  ada nyanyian, baik nyanyian adat, dalam rupa sanda mbata, landu (nenggo) maupun nyanyian profan.  Menurut  orang Manggarai, kedudukan  nyanyian  (dere)  setara, sama penting  dengan tuturan (tombo)   dalam menyampaikan pesan kepada sesama, terutama  kepada generasi   berikutnya,   Kesetaraan peran ini diunkapkan dalam  seloka adat berikut: tombo sama agu  dere, dere  sama  agu  tombo (tuturan sama dengan nyanyian, nyanyian sama dengan tuturan).  Tak  heran, bila  ada  beragam macam sanda  dan  mbata dalam budaya Manggarai. Ragam Sanda msalnya,  Sanda Lima, Sanda Melon, Sanda  Ring, Sanda Gurung, Sanda, Sanda Wela. Ragam Mbata misalnya, Mbata Raeng, Mbata Mulu, Mbata , dll


JPS, 4  maret 2020. 


Orang Manggarai menjunjung tinggi adat istiadat terutama kesantunan berbahasa. Orang harus sopan kepada sesama, termasuk kepada teman sebaya, sebagaimana terungkap dalam seloka adat (go'et) berikut: Cepa hae rebam cama emas lemam. curup hae ubum, cama luju muum (memberika sirih kepada sehabatmu hendaknya  mulutmu bagaikan emas.  bicara dengan tman seusia, tutur katamu harus bernilai luhuur)
JPS  14  dan 16 Maret 2020.

Orang Manggarai  memandang  bahwa masalah itu perlu ada dalam hidup. Apa pentingnya masalah bagi manusia? Maslah menjadi barometer untuk menguji kualitas hidup seseorang apakah kualitasnya  jelek atau  baik. Masalah ada untuk mengetahui  siapakah yang rapuh, siapa yang kuat  ( masala perlu manga te  bae  sei ata aata hembet sei ata  sirang).
VMG  April 2020, JPS 13 April 2020.

Orang Manggarai seyoogyanya bergerak, bekerja, merantau. Aktivitas  berherak, bekerja,merantau merupakan  aktivitas  bertumbuh, berkembang  dan  berubah, dari kecil ke besar, dari penndek ke panjang, dari sedikit ke banyak, kalau saat berangkat kamu ayam kecil (rompok/pondok), semoga pulang dengan ayam beragam warna   (eme lalok rompok/pondong/ du ngom, porong lalong rombeng koe du kolem). 
 VMG - JPS  20-21 April 2020.

Orang  Manggarai memandang leluhur sebagai pereantara antara manusia yang hidup dengan Tuhan

JPS  8  Mei 2020.
Orang Manggarai memandang bahwa nama itu suci, sakral  karena  itu patut untuk dihormati, dijaga, jangan disebut sembarangan, apalagi dipanggil  dengan  semena-mena, diolokkan, dan dilecehkan. Bila nama  dilecehkan  maka pemilik nama akan marah. Orang akan membela  kehormatan  dan kekudusan namanya. Pada saat lahir, pada hari yang ketiga orang Manggarai diberi nama  dan  dimeteraikan dengan  darah hewan  kurban, yakni  ayam  jantan.  Sejak awal nama  orang Manggarai telah disyahkan dengan darah  hewan  kurban, maka  nama itu menjadi  kramat, maka perlu disapa dengan sopan.   Nama hewan kurban- ayam - ini yang  tidak boleh disebut sembarangan.  Itu akan menjadi nama belakang. Panggi pakai nama  depan  bagi yang  masih kecil atau muda  dan  pakai nama  anak   bila  sudah  punya anak, misalnya, anam anaknya pertama namanya  Mery maka dipanggi dengan sebutan Emad Mery (Bapanya Meri). 


JPS, 13 Mei 2020


Orang Mnggarai memandang bahwa adat istiadat, termasuk pemimpin kampung (tua golo/ tua' gendang , tua teno) hal yang penting dalam kehidupan kampung. Pemimpin  atau pemilik kampung yang menjadi pemilik atau penghuni rumah adat (Mbaru Gendang / Tembong)  memiliki peran penting sebagai perangkat yang mengetahui   secara detail  tentang kampung  dan  pemersatu  warga ( nipu riwuongko do )  dan penghangat  dan penjaga  kampung (wong  agu tokong golo). 


JPS, 18 Mei 2020

Orang Mannggarai menghormati leluhur. Leluhur dipandang sebagai  penghubungan / pengantar doa orang hidup kepada Tuha, Maka penting menjaga hubungan baik dengan leluhur, anatar lain dengan memberi  persembahan  korban pada waktu tertentu yang disebut hang kolang , biar  hubungan   dengan mereka selalu hangat  dan akrab.  Sehingga mereka selalu menjaga  dan melindungi orang yang masih  hidup . 

(Simak dalam: Video berikut: https://www.youtube.com/watch?v=qNRO8y_BOiI&t=1615s)
JPS, 18 Mei 2020


Seng Wae luu


Orang Manggarai  merasa bahwa duka merupakan bagaian tak terpisahkan  dari hidup.  Setiap orang mengalaminya, Ketika mengalami duka, mereka orang yang  menagamininya turun bahkan putus asa.  Maka dibuthkan bantuan sesama untuk  bisa  bersemanngat dan bergairah lagi  menjalankan kehidupan. Ketika  seseorang  atau sekelompok orang mengamami  duka maka warga, tetangga, kenalan  mengungkapkan rasa simpati melalui   pelbagai bentuk, baik spiritual  maupun material. Dukungan  spiritual misalnya melaui  doa dan ucapan yang teduh, datang melayat. Dukungan material bisa  berupa materi misalnya beras, kopi, gula    dan atau  uang.  Sumbangan duka berupa uang yang diberikan dalam rangka meringakan beban keluarga berduka disebut  seng wae luu.   Ini meruakan   tanda dukungan kongltit  bagi  berduka  dari kenalan atau tetangga.  Kedukaan  tidak hanya diungkapkan secara  rohani tetapi  juga dinyatakan secara kongkrit, antara lain dalam wujud   seng wae luu ( seng  artinya uang, wae luu artinyya  air  mata).

VMG  26 Mei 2020, JPS 28 Mei 2020

Anak Papa Ngasang

Nama bagi orang Manggarai  memiliki makna kudus atau bahkan magis. Karena itu  patut dihormati.. Kalaupun disebuut, disapalah dengan  hormat.  Nama sebenarmya  atau nama belakang (ngasang tu'ng) dimeterikan dengan  darah ayam.Maka nama itu kidmat, agung, janngan disapa sembarangan. Ketika  seseorang  sudah berkeluarga dan memiliki  anak, nama anak inilah yang kemudian dijadikan sebagai nama panggilan bagi sang ayah. Nama sapaan orang tua , biasanya menggunakan nama anak sulung.  Nama anak yang dijadikan panggilan bagi orang tua, terutama  bagi bapa  disebuut  anak papa ngasang.  (anak  berarti anak, papa artinya bapa, ngasanng artinya nama)


VMG  26 Mei 2020, JPS 28 Mei 2020


Orang Manggarai  penyakini  kekuatan naluri  dan daya   mempertahankan kehidupan pada makhluk hidup, termasuk pada manusia. Di manapun  pentas kehidupan ini dijalankan,  perkembanngbiakan terjadi di situ. Rea;itats ini dirumuskan dengan sangat bagus dalam seloka  (go'et) : sili -sili wisi, sili-sili sing (cing), peang-peang wesak (wecak), peang-peang wela. (Harafiah: Di buka ke selatan, di selatan juga akan bertunans,  ditaburkan ke daerah luar nan luas,  di sana juga akan berbunga)

JPS,  12 Juni 2020
Orang Manggarai, terutama yang beragama Katolik, terkesan  gemar dengan kesedihan. Koq bisa?  Lihat saja  acara  kematiannya, jarang berlangsung  singkat. Cenderung lebih dari sehari. Jarang jenasah  tanpa disemayamkan terlebih dahulu.  Persemayamannya   minimal semalam bahkan lebih.  Semakin lama durasi waktu berkumpul, maka  anggaran makanan / konsumsinya   semakin  besar. Mungkin ini salah satu  faktor mengapa orang Manggarai tidak cepat maju ssecara ekonomi. 
JPS,  12 Juni 2020
Orang  Manggarai  seyogyanya  menghargai  dan  melayani  orang yang  lebih tua. Bila  sudah dewasa dan memiliki rezeki baiklah membantu orang  yang lebih tua. Ini sesuai amanat seperti  dalam naskah nyanyian  adat: "Eme haeng pakem e anak e, nuk koem amem e, eme haeng delekm e anak e , nuk koe endem e (Kalau dapat katak anakku,  ingatlah  ayahmu, kalau dapat rezeki hai anakku, ingatlah akan  ibumu).  Selain itu , hasil sadapan  nira  atau  tuak seyogyanya  diberikan kepada orang tua (yang lebih tua): Pante tuak teing tua', pante mince teing ine, pante  banggeng teing ame (sadap tuak beri paman / om, sadap nira  beri mama, sadap gebang  beri  bapa/ayah).
JPS,  16 Juni 2020


Orang  Manggarai sering menggunakan Bahasa simbol (metafora),  misalnya  dalam ungkapan frasa berikut: ponga mu'. Secara   harafiah, pongo artinya  mengikat, mu' artinya mulut. Maka, ponga mu', artinya  ikat mulut.  Namun,   bukan arti seperti itu yang dimaksudkan.   Secara metafora (simbol),   ponga mu'  berarti makan. Jadi kalau ditanya: Poli pongo mu' maksudnya sudah makan? Frasa lainnya adalah : wai'  secara harafiah artinya kaki, tapi secara simbolis/kiasan/metafor, wai maksudnya  kerbau. Pada zaman dulu, ketika mau membajak sawah, pemilik kebun meminta kepada pemilik kerbau: Sala lingan koe wai' dite te selong  diang te kalek le sawa (apakah kerbau  anda lowong, saya mau pinjam besok untuk membajak sawah di sana). Selain itu, beberapa kata atau frasa lain , misalnya sewo, secara harafiah berarti sarang, tetapi sewo secara  simbolis / kiasan/ metafora  berarti rumah.  Frasa lain, misalnya, renco tesong, secara harafiah  perlindungan ambruk, hanya secara  kiasan  berarti meninggal. Frasa yang sepadan dengan  itu adalah sepek rede,  secara  harafiah  berarti  rusak tangga bambu, tapi secara kiasan berarti  meninggal. 

JPS, 18  Juli 2020. Terisnpirasi  dari percakapan teman Angkatan ke-4 SMP Santu Klaus  di WAG pada WAG, 17 Juli 2020. 



Orang Manggarai   mengungkapkan doa dn harapan  melalui pelbagai cara, termasuk  tuturan penerimaan saat  kepok  tiba via ayam mapun tuak. "One botol lami tombon, one tuak lami turan (Dalam botol (beer) kami sampaikan, dalam tuak kami tuturkan. 

JPS, 22 Juni 2020

Orang Manggarai   menyakini bahwa  Rumah adak yakni Mbaru Gendang (Tembong)  sebagai tempat untuk memperoleh kehangatan bagi seluruh warganya. Ini tampak dalam baigian lirik lagu Sanda Rembong atau  E a tura Leleng : " E    tembong dirit leso " (https://www.youtube.com/watch?v=HR2K69jAdI8)

 JPS, 25 Juni 2020


Orang Manggarai  menekankan pentingnya persiapan dalam melakukan sesuatu, termasuk  dalam perkawinan  agar hasilnya  bisa  maksimal dan memuaskan.  Sangat beresiko bila memasuki  suatu tahapan penting kehidupan  bila tidak disertai  persiapan, Resiko itu misalnya sakit berat yang berujung kepada kematian,  kesulitan ekonomi sehingga ditinggal pergi oleh istri, dan lain-lain. Tentang pentingnya  persiapan menghadapi  suatu tahapan kehidupan ini , dengan sangat bagus diungkapkan salam penggalan lagu Dindu Dandur karya Paskalis Baut, berikut ini: | Hitup to kesa e, bom toe poli tombo laku olo, eme nanang anak data e, olo rimu uma ranam e, eme ndai laki kesa e, olo duat uma puar e. Hoo cemoln kesa e, legong hang koem le kilom e, hoo cemoln kesa e, titong hanang koem anakm e,: (Itu sudah saudaraku, saya sudah  sampaikan  sejak awal, kalau mengincar anak gadis orang,  terlebih dahulu  menngerjakan atau membuka kebun baru,  kalau mau menikah, terlebih dahulu mengerjakan ladang  hutanmu).


VMG   dan  JPS, 7  Juli  2020



Orang Manggaarai mengajarkan  agar sesama manusia saling menghargai dan berbela rasa. Kita perlu turut  merasakan apa yang dirasakkan orang lain, terutama  orang yang sedang menderita, karena akan tiba dilirannya kita  juga akan mengalam pengalaman duka. Ketika orang lain mengalami duka kita dipanggil untuk  menghiiburnya. Tentu ketikka kita  mengaalami penglaman sedih, orang lain akan membantu mmeringankan derita kita. Kita saling memberi dan menerima. dalam interaksi kehidupan. Pengalaman sedih dan gembira akan  bergantian  mendatangi kita,,  sebagaimana ditutukan dalam seloka  sina maring hia, see maring aku  (sesuatu akan tiba saatnya menimppa dia di sana dan juga akan mmeninpa saya di sini)   maka  perlu  sikap tenggang rasa anara sesama. 

JPS, 27 Agustus 2020. 
Sumber inspirasi: status FB  Ambrosius  Adiman , 26 Agustus 2020  dalam  https://www.facebook.com/ambrosius.adiman







 


 


 
 
 
 
 

 



 

 
 



 


 




 
 
 


 

 
 




 




 

 

 


 

 
 


 
 
 
 

 
 
 


 
 
 

 
  
 


 
 
 



 






 







 




 
Ada tiga kata kunci dalam hal jenis perkawinan adat Manggarai, yaitu kawing tungku (perkawinan dalam suku sendiri, antara anak saudara dengan anak dari saudari), kawing cako (perkawinan antara anak dari saudara dalam patrilineal), dan kawing cangkang (perkawinan di luar suku).
Ada tiga kata kunci dalam hal jenis perkawinan adat Manggarai, yaitu kawing tungku (perkawinan dalam suku sendiri, antara anak saudara dengan anak dari saudari), kawing cako (perkawinan antara anak dari saudara dalam patrilineal), dan kawing cangkang (perkawinan di luar suku).
Ada tiga kata kunci dalam hal jenis perkawinan adat Manggarai, yaitu kawing tungku (perkawinan dalam suku sendiri, antara anak saudara dengan anak dari saudari), kawing cako (perkawinan antara anak dari saudara dalam patrilineal), dan kawing cangkang (perkawinan di luar suku).
Ada tiga kata kunci dalam hal jenis perkawinan adat Manggarai, yaitu kawing tungku (perkawinan dalam suku sendiri, antara anak saudara dengan anak dari saudari), kawing cako (perkawinan antara anak dari saudara dalam patrilineal), dan kawing cangkang (perkawinan di luar suku).