1. Lingko Pe’ang -------- Empedocles
Lingko adalah tanah
ulayat komunal. Tanah memiliki
arti yang sangat
penting bagi orang
Manggarai. Ketika seseorang
dilahirkan saat itu juga
dia menjadikan tanah sebagai saudaranya. Mengapa? Karena bagi orang Manggarai, ketika seseorang dilahirkan, dia datang bersama yang lain.
Ketika proses persalinan terjadi,
ada dua unsur yang keluar
dari rahim ibu, yakni kae (kakak = mbau =
plasenta / ari-ari) dan ase (manusia). Kae langsung dikuburkan ke
tanah. Ia langsung berinteraksi dan menyatu dengan tanah. Sedangkan ase disapih dan
diasuh oleh ibu. Di sini, sejak kelahirannya, manusia
Manggarai sudah bersaudara
dengan tanah. Tanah merupakan dasar pijak kehidupan orang
Manggarai. Tiada tanah tiada
kehidupan. Hampir pasti bahwa semua
orang Manggarai memiliki tanah. Suatu saat di akhir hidup orang
Manggarai akan berjumpa
dan bersekutu kembali dengan
saudaranya, tanah. Saking pentingnya
tanah, orang Manggarai berusaha
sedemikan rupa untuk
memilikinya dan mencintainya.
Lingko
merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari 5
unsur konsmologi budaya Manggaria.Kelima unsur
itu adalah: Gendang one (Rumah Gendang) ,lingko peang (uma
duat) , natas bate labar, compang bate dari, wae
bate teku.
Berkat tanah (lingko)
manusia memiliki kehidupan
melalui tumbuh-tumbuhan dan tanaman
yang datang dari
tanah. Kisah awal kehidupan orang Manggarai memperlihatkan betapa manusia dan
tanah memiliki hubungan yang
sangat istimewa. Berkat
penyatuan manusia dengan
tanah maka segala
jenis tumbuhan dan pohon buah
serta sayuran ada.
Segala dimensi kehidupan
orang Manggarai selalu
berkaitan dengan tanah. (Simak Jilis Verheijen, SVD dalam Manggarai dan Wujud Tertinggi p......; Maribeth Erb: The Manggaraians: A Guide to Traditional Lifestyles - Vanishing Culture of the World, p. 22-24).
Bagi orang Manggarai, tanah merupakan bagian dari dirinya. Gangguan terhadap tanah adalah gangguan terhadap hidupnya. Karena itu tak heran bila orang Manggarai mati-matian untuk mempertahankan sejengkal tanah miliknya dari ancaman, serobotan, rongrongan orang lain.Hubungan antara tanah dan dirinya bersifat polos nan suci. Bila ada persoalan tanah tak jarang itu diselesaikan di tempat sengketa dengan mengucapkan doa adat - wada - yang mana roh tanah / (Wujud Tertinggi) sendiri hadir menyelesaikan masalah ini. Pelibatan roh semesta ini bernuansa sakral karena ini memiliki efek kepada orang yang sedang bersengketa. Bila salah satu salah, maka akan diberikan tanda oleh alam / roh semesta sesuai dengan isi doa Wada itu. Doa sumpah ini tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan apapun, selain kebenaran dan kejujuran itu sendiri. Daya uang dan politik / pendidikan / sekolah akan luruh bila tidak disertai kebenaran dan kejujuran. Terbetik kisah di salah satu kampung di Rahong - Manggarai perihal sengkarut tanah antara orang yang jujur dengan orang yang tidak jujur hanya karena keluarganya mengeyam pendidikan tinggi dalam hukum positif. Sebut saja ibu A. Ia seorang janda. Dia memiliki tanah. Dia hidup dari tanah itu. Pada setiap kesempatan pada hari Minggu dia berusaha ke Gereja. Dia rajin membaca Kitab Suci. Ada Ibu lain, Ibu B. Dia memiliki keluarga yang sekolah hukum hingga bergelar Sarjana Hukum (SH). Saking bangga dengan keluarga dengan gelar SH, Ibu B semena-mena terhadap Ibu A. Batas kebun dia pindahkan sesuka hati. dia menyerobot tanah Ibu A. Ibu B yakin bahwa gelar pendidikan hukum keluarganya memberikan rasa aman dan menang. Dia yakin itu. Perkaralah mereka. Ibu B menghendaki penyelesaian sengketa tanah menggunakan hukum positif: laporkan ke polisi lalu diselesaikan di lembaga pengadilan negara berdasarkan hukum positif. Ibu A tidak setuju. Dia meminta agar diselesaikan secara adat lalu dengan mendatangi langsung tanah sengketa di sana dilakukan sumpah adat nan suci di atas Kitab Suci. Kalau memang benar harus berani bersumpah di atas Kitab Suci. Tak perlu biaya perkara besar-besar. Tanah akan diberikan kepada Ibu B bila dia berani sumpah / Wada di atas Kitab Suci bahwa tapal batas yang ditatanya benar adanya. Ketika diberikan tantangan demikian, Ibu B keukeuh. Dia enggan bersumpah di atas Kitab Suci. Karena dia keukeuh maka petugas adat menancapkan batas sesuai kondisi sebenarnya, berdasarkan rumusan hukum adat Manggarai, yakni tali / kayu dibentangkan dari lodok (pusat) hingga sising (jari-jari). Ibu A lega. Dia mengandalkan kejujuran. Dia melihat bahwa tanah itu bagian dari dirinya dan bersifat suci maka kita perlu hidup jujur. Jangan mengatakan punya saya bila memang punya orang ( neka daku ngong data). - (Inspirasi tombo de Kraeng Bp......................./ Langke - Rahong - Manggarai, VMG - HI - Bekasi, 18 Pebruari 2014, pkl 22.00 - Du poli ngaji te latang Kraeng Lazarus one Sesa - Cibal ata rowa 18 Peb. 2014 one Sesa).
(http://sailkomodo2013.nttprov.go.id/index.php/destinasi/2012-12-10-05-53-40/manggarai/173-lingko-cara
Bagi orang Manggarai, tanah merupakan bagian dari dirinya. Gangguan terhadap tanah adalah gangguan terhadap hidupnya. Karena itu tak heran bila orang Manggarai mati-matian untuk mempertahankan sejengkal tanah miliknya dari ancaman, serobotan, rongrongan orang lain.Hubungan antara tanah dan dirinya bersifat polos nan suci. Bila ada persoalan tanah tak jarang itu diselesaikan di tempat sengketa dengan mengucapkan doa adat - wada - yang mana roh tanah / (Wujud Tertinggi) sendiri hadir menyelesaikan masalah ini. Pelibatan roh semesta ini bernuansa sakral karena ini memiliki efek kepada orang yang sedang bersengketa. Bila salah satu salah, maka akan diberikan tanda oleh alam / roh semesta sesuai dengan isi doa Wada itu. Doa sumpah ini tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan apapun, selain kebenaran dan kejujuran itu sendiri. Daya uang dan politik / pendidikan / sekolah akan luruh bila tidak disertai kebenaran dan kejujuran. Terbetik kisah di salah satu kampung di Rahong - Manggarai perihal sengkarut tanah antara orang yang jujur dengan orang yang tidak jujur hanya karena keluarganya mengeyam pendidikan tinggi dalam hukum positif. Sebut saja ibu A. Ia seorang janda. Dia memiliki tanah. Dia hidup dari tanah itu. Pada setiap kesempatan pada hari Minggu dia berusaha ke Gereja. Dia rajin membaca Kitab Suci. Ada Ibu lain, Ibu B. Dia memiliki keluarga yang sekolah hukum hingga bergelar Sarjana Hukum (SH). Saking bangga dengan keluarga dengan gelar SH, Ibu B semena-mena terhadap Ibu A. Batas kebun dia pindahkan sesuka hati. dia menyerobot tanah Ibu A. Ibu B yakin bahwa gelar pendidikan hukum keluarganya memberikan rasa aman dan menang. Dia yakin itu. Perkaralah mereka. Ibu B menghendaki penyelesaian sengketa tanah menggunakan hukum positif: laporkan ke polisi lalu diselesaikan di lembaga pengadilan negara berdasarkan hukum positif. Ibu A tidak setuju. Dia meminta agar diselesaikan secara adat lalu dengan mendatangi langsung tanah sengketa di sana dilakukan sumpah adat nan suci di atas Kitab Suci. Kalau memang benar harus berani bersumpah di atas Kitab Suci. Tak perlu biaya perkara besar-besar. Tanah akan diberikan kepada Ibu B bila dia berani sumpah / Wada di atas Kitab Suci bahwa tapal batas yang ditatanya benar adanya. Ketika diberikan tantangan demikian, Ibu B keukeuh. Dia enggan bersumpah di atas Kitab Suci. Karena dia keukeuh maka petugas adat menancapkan batas sesuai kondisi sebenarnya, berdasarkan rumusan hukum adat Manggarai, yakni tali / kayu dibentangkan dari lodok (pusat) hingga sising (jari-jari). Ibu A lega. Dia mengandalkan kejujuran. Dia melihat bahwa tanah itu bagian dari dirinya dan bersifat suci maka kita perlu hidup jujur. Jangan mengatakan punya saya bila memang punya orang ( neka daku ngong data). - (Inspirasi tombo de Kraeng Bp......................./ Langke - Rahong - Manggarai, VMG - HI - Bekasi, 18 Pebruari 2014, pkl 22.00 - Du poli ngaji te latang Kraeng Lazarus one Sesa - Cibal ata rowa 18 Peb. 2014 one Sesa).
(http://sailkomodo2013.nttprov.go.id/index.php/destinasi/2012-12-10-05-53-40/manggarai/173-lingko-cara
Sawah berbentuk lodok yang menyerupai
sarang laba-laba ini hanya terdapat di Manggarai saja. Memiliki
filosofis yang tersembunyi dibalik bentuknya, oleh nenek moyang
masyarakat Manggarai dibagi dengan begitu unik. Zaman dahulu ketika
warga kampung hendak membagi sebuah lingko, titik pusatnya ditandai
dengan sebuah kayu sebesar paha orang dewasa yang disebut haju teno,
dinamai seperti itu karena diambil dari kayu teno. Titik pusat inilah
yang disebut lodok dan sering diadakan upacara adat. Saat musim tanam
dan musim panen, warga mempersembahkan korban binatang berupa ayam
jantan agar mendapat berkat dan bersyukur atas hasil kerja yang telah
diperoleh.
Masyarakat Manggarai mengakui adanya
Yang Ilahi, Tuhan Pencipta. Untuk menentukan besaran bagian tanah, ketua
adat menentukan dengan ukuran jari tangannya pada Haju. Ada yang
mendapat 1 jari ada yang dua jari sesuai pertimbangan-pertimbangan yang
dilakukan ketua adat. Ukuran jari tangan pada Haju selanjutnya ditarik
hingga batas Lingko, itulah bagian tanah yang akan diterima seorang
warga kampung adat tersebut. Salah satu sawah lodok yang sampai sekarang
masih bertahan dengan bentuk seperti ini terletak di Kampung Cara,
daerah Cancar, sekitar 12 km ke arah barat Ruteng, ibu kota Kabupaten
Manggarai dan di Lembor, Manggarai Barat.
Anda dapat menggunakan kendaraan pribadi
atau rental dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Setelah menemukan
Pasar Cancar, ada jalan masuk untuk menuju ke lokasi tersebut, yaitu
sekitar 3 km.
Setelah mendaki tanjakan kecil , anda akan bertemu dengan penduduk setempat yang mengarahkan anda untuk masuk kerumah adat dan bertemu dengan Ketua Adat. Tua Adat akan membawa anda menuju perbukitan dimana lahan Lodok bisa terlihat sejauh mata memandang. Jika cuaca bagus, dari lokasi tersebut bisa terlihat belasan Lodok berbentuk lingkar-lingkar yang menyerupai jaring laba-laba.
Setelah mendaki tanjakan kecil , anda akan bertemu dengan penduduk setempat yang mengarahkan anda untuk masuk kerumah adat dan bertemu dengan Ketua Adat. Tua Adat akan membawa anda menuju perbukitan dimana lahan Lodok bisa terlihat sejauh mata memandang. Jika cuaca bagus, dari lokasi tersebut bisa terlihat belasan Lodok berbentuk lingkar-lingkar yang menyerupai jaring laba-laba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar