Etika adalah cabang Filsafat yang mempelajari baik - buruknya tindakan manusia. Dalam kaitan dengan lingkungan, manusia memiliki pandangan bahwa dirinya merupakan bagian dari alam. Dalam5 pilar kehidupan orang manggarai, alam berupa wae bate teku ( mata air sumber hidup) merupakan satu bagian untuh dengan 4 elemen lainnya : rumah (mbaru bate kaeng), halaman, ( natas bate labar), compang bate dari (compang mezbah persembahan), kebun (uma bate duat). Mata air diyakini bersumber di hutan (puar) atau padang (satar). Orang Manggarai diminta untuk melindungi kedua kawasan ini. Ini terungkap dalam syair yang sering dibawakan dalam lagu adat: "Neka poka puar rantang mora usang, neka tapa satar rantang mata kaka puar, kudut kembus kid wae teku, mboas kid wae woang, (jangalah membakar hutan agar jangan sampai hujan hilang, jangan membakar padang agar agar jangan mematikan binatang hutan, supaya air minum tetap membual dari sumbernya dan air kehidupan tetap tersedia dengan melimpah)
Hutan bagi Manggarai dipandang sebagai ibu - bapa kehidupan. Anatara kampung - tempat manusia hidup - dengan hutan memiliki hubungan erat. Manusia dan kampung merupakan hasil perkawinan kosmos. Nenek moyang Manggarai percaya bahwa roh leluhur yang menurunkan manusia - yang tinggal di kampung - tinggal di hutan yang berada di gunung-gunung. Karena itu, hutan dan gunungnya dipandang sebagai Ibu dan bapa kosmos yang memberikan kehidupan, terutama air. Karena itu hutan dipandang sebagai anak rona (pemberi wanita) sekaligus pemberi kehidupan. Dalam ritus mendirikan rumah baru, ada bagian acara mengambil tiang utama (siri bongkok) di hutan untuk dijadikan tiang utama (siri bongkok) rumah adat. Kegiatan mangambil kayu tiang utama ini untuk dibawa ke kampung disebut "Roko molas poco" (Membawa lari gadis gunung). Kayu dipercayaai sebagai perempuan yang dipinang oleh kampung (beo) untuk bersama-sama merawat, menagsuh anak mausia di kampung. Maka bagi orang Manggarai, rumah adalah simbol manusia. Bagian kayu utama merupakan simbol perempuan, sedangkan bagian kepala (ngando) adalah laki - laki.
Dalam bundu Manggarai ada ungkapan: Ninik riti run hi empo, yang mau dikatakan bahwa hidup selaku manusia jangan lupa diri. Kisah awal penciptaan manusia adalah dari bambu.Bambu ketika sudah semakin dewasa dan tua akan merunduk . melihak ke bawah /ke dalam dirinya(ninik riti run).Ini mengisyaratkan suatu pedoman bagi Manggarai untuk tahu diri bahwa awal muda hidupnya selaku manusia berasal dari tanah (tanah) yang dikombinasikan dengan langit (awang). Bambu pada mulangnya menjulur menuju langit lalu kemudian menunduk memandang bumi.Bundu Ninik riti run hi empo juga sekalian menggambarkan bahwa manusia manggarai adalah makhluk rohani (bambu yang terarah ke langit) serentak makluk jasmani ( pada saatnya juga akan tunduk ke bumi). Filosofi bambu: tengadah memandang angkasa lalu tunduk menatap tanah. Suatu gerakan kembali ke asal, yang rahanian sekaligus yang jasmaniah.
Dalam bundu Manggarai ada ungkapan: Ninik riti run hi empo, yang mau dikatakan bahwa hidup selaku manusia jangan lupa diri. Kisah awal penciptaan manusia adalah dari bambu.Bambu ketika sudah semakin dewasa dan tua akan merunduk . melihak ke bawah /ke dalam dirinya(ninik riti run).Ini mengisyaratkan suatu pedoman bagi Manggarai untuk tahu diri bahwa awal muda hidupnya selaku manusia berasal dari tanah (tanah) yang dikombinasikan dengan langit (awang). Bambu pada mulangnya menjulur menuju langit lalu kemudian menunduk memandang bumi.Bundu Ninik riti run hi empo juga sekalian menggambarkan bahwa manusia manggarai adalah makhluk rohani (bambu yang terarah ke langit) serentak makluk jasmani ( pada saatnya juga akan tunduk ke bumi). Filosofi bambu: tengadah memandang angkasa lalu tunduk menatap tanah. Suatu gerakan kembali ke asal, yang rahanian sekaligus yang jasmaniah.
(JPS 6 Januari 2014)
Keharmonisan dengan lingkungan menjadi elemen penting daalam hidup orang Manggarai. Makhluk infra human (binatang dan tumbuhan) harus dihargai sebagaimana manusia. Siapa yang menyengsarakan binatang atau tumbuhan maka dia atau merka juga akan disengsarakan. Kisah 2 orang cacat dan seekor anjing menjelaskan hal ini. Dua orang cacat - orang butan dan lumpuh - yang secara tidak sengaja menyengsarakan anjing dengan mengikat puntung apipada ekornya, dibinasakan dan dihancurkan bersama kampung dalam kawah lumpur panas Ulumbu. Legenda ulumbu ini mengajarkan kepada orang Manggarai betapa pentingnya hidup toleran dengan binatang.
Selain kisah Ulumbu, kisah lain yang mengungkapkan pentingnya memelihara keutuhan lingkungan adalah Nunduk Watu Paung. Kisah / Nunduk Watu Paung mengajarkan kepada manusia Manggarai bahwa orang perlu belajar katakan tidak pada keserakahan. Dalam kisah ini orang yang serakah terhadap lingkungan - air dan isinya - maka ia akan mendapat kutukan berupa menjadi batu.
Tentang keserakahan ini, kisah Melombong bisa dijadikan pelajaran akan pentingnya menghormati binatang sebagai sesama ciptaan Tuhan. Melombong, sang pemburu binatang sangat rakus. Dia mengimpikan dapat daging binatang yang besar-besar.Bila mendapat binatang yang kecil-kecilmakan dia membunuhnya namun tidak dimakan, dibuang begitu saja. Sang penguasa binatang marah - Roh penjaga binatang -. Mereka mematahkan dan membelok arah kaki Melombong. Tapakan kaki Melombong diubah arahnya ke belakang bukan seperti kaki manusia pada umumnya yang tapakannya arahnya ke depan.
Bukan hanya terhadap binatang manusia berlaku pantas tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Karena dari tumbuh-tumbuhan jugalah manusia bisa mendapat makanan dan zat lain untuk hidup terutama Oksigen (O2). Siapa yang menyengsarakan binatang / tumbuhan atau secara tidak sengaja melakukan itu, maka ia akan mendapat kesengsaraan juga, misalnya sakit atau penyakit yang tak kunjung sembuh-sembuh. Orang Manggarai percaya bahwa sakit yang tak kunjung sembuh sembuh mengisyaratkan bahwa ada binatang / tumbuhan yang menderita lantaran ulah manusia, misalnya menebang pohon di mata air menimpa binatang di tempat itu lalu binatang itu menderita berkepanjangan. Situasi yang ada pada binatang tiu juga yang dialami oleh manusia. Konsep ini dalam Bahasa Manggarai disebut rudak.
Selain kisah Ulumbu, kisah lain yang mengungkapkan pentingnya memelihara keutuhan lingkungan adalah Nunduk Watu Paung. Kisah / Nunduk Watu Paung mengajarkan kepada manusia Manggarai bahwa orang perlu belajar katakan tidak pada keserakahan. Dalam kisah ini orang yang serakah terhadap lingkungan - air dan isinya - maka ia akan mendapat kutukan berupa menjadi batu.
Tentang keserakahan ini, kisah Melombong bisa dijadikan pelajaran akan pentingnya menghormati binatang sebagai sesama ciptaan Tuhan. Melombong, sang pemburu binatang sangat rakus. Dia mengimpikan dapat daging binatang yang besar-besar.Bila mendapat binatang yang kecil-kecilmakan dia membunuhnya namun tidak dimakan, dibuang begitu saja. Sang penguasa binatang marah - Roh penjaga binatang -. Mereka mematahkan dan membelok arah kaki Melombong. Tapakan kaki Melombong diubah arahnya ke belakang bukan seperti kaki manusia pada umumnya yang tapakannya arahnya ke depan.
Bukan hanya terhadap binatang manusia berlaku pantas tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Karena dari tumbuh-tumbuhan jugalah manusia bisa mendapat makanan dan zat lain untuk hidup terutama Oksigen (O2). Siapa yang menyengsarakan binatang / tumbuhan atau secara tidak sengaja melakukan itu, maka ia akan mendapat kesengsaraan juga, misalnya sakit atau penyakit yang tak kunjung sembuh-sembuh. Orang Manggarai percaya bahwa sakit yang tak kunjung sembuh sembuh mengisyaratkan bahwa ada binatang / tumbuhan yang menderita lantaran ulah manusia, misalnya menebang pohon di mata air menimpa binatang di tempat itu lalu binatang itu menderita berkepanjangan. Situasi yang ada pada binatang tiu juga yang dialami oleh manusia. Konsep ini dalam Bahasa Manggarai disebut rudak.
(JPS 7 Januari 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar