Senin, 06 Januari 2014

ETIKA LINGKUNGAN ORANG MANGGARAI


Etika  adalah  cabang Filsafat   yang mempelajari baik - buruknya  tindakan manusia. Dalam  kaitan  dengan  lingkungan, manusia  memiliki  pandangan  bahwa  dirinya  merupakan  bagian  dari  alam. Dalam5 pilar kehidupan  orang  manggarai, alam berupa  wae bate teku ( mata  air  sumber  hidup)  merupakan   satu  bagian  untuh  dengan 4 elemen  lainnya : rumah (mbaru bate  kaeng), halaman, ( natas bate labar), compang  bate  dari (compang  mezbah persembahan),  kebun (uma bate  duat). Mata  air  diyakini bersumber  di  hutan (puar)   atau  padang (satar). Orang Manggarai  diminta  untuk  melindungi  kedua  kawasan  ini. Ini  terungkap dalam syair  yang  sering  dibawakan  dalam  lagu adat: "Neka  poka  puar  rantang  mora  usang, neka  tapa  satar  rantang  mata  kaka puar, kudut kembus  kid  wae  teku, mboas  kid  wae  woang,  (jangalah membakar  hutan agar jangan  sampai hujan  hilang, jangan  membakar  padang  agar  agar  jangan mematikan binatang hutan, supaya air   minum tetap  membual dari sumbernya   dan air kehidupan tetap tersedia dengan melimpah)

Hutan  bagi  Manggarai  dipandang  sebagai  ibu - bapa  kehidupan. Anatara  kampung - tempat  manusia  hidup - dengan  hutan  memiliki  hubungan  erat. Manusia  dan kampung  merupakan   hasil perkawinan  kosmos. Nenek  moyang  Manggarai  percaya  bahwa roh leluhur  yang  menurunkan manusia  -  yang  tinggal di  kampung  -  tinggal  di hutan  yang  berada  di  gunung-gunung. Karena  itu, hutan  dan  gunungnya  dipandang  sebagai  Ibu dan  bapa  kosmos  yang  memberikan  kehidupan, terutama  air. Karena  itu  hutan  dipandang  sebagai  anak  rona (pemberi  wanita)  sekaligus  pemberi kehidupan. Dalam  ritus mendirikan  rumah  baru, ada   bagian  acara  mengambil tiang  utama (siri bongkok)  di  hutan  untuk  dijadikan tiang  utama (siri bongkok) rumah adat. Kegiatan mangambil  kayu   tiang  utama  ini  untuk  dibawa ke kampung  disebut "Roko molas  poco" (Membawa  lari  gadis  gunung). Kayu  dipercayaai sebagai perempuan  yang  dipinang oleh  kampung (beo) untuk bersama-sama merawat, menagsuh  anak  mausia  di  kampung. Maka  bagi  orang  Manggarai, rumah  adalah  simbol  manusia. Bagian kayu  utama  merupakan simbol  perempuan, sedangkan  bagian kepala (ngando)  adalah  laki - laki.


Dalam  bundu Manggarai  ada  ungkapan: Ninik  riti  run hi  empo, yang mau  dikatakan bahwa hidup selaku manusia  jangan  lupa diri. Kisah  awal penciptaan  manusia  adalah  dari  bambu.Bambu ketika  sudah  semakin  dewasa  dan  tua  akan  merunduk . melihak  ke  bawah  /ke  dalam  dirinya(ninik  riti  run).Ini mengisyaratkan suatu   pedoman  bagi  Manggarai  untuk  tahu  diri bahwa  awal muda  hidupnya  selaku  manusia  berasal  dari  tanah (tanah)  yang  dikombinasikan  dengan langit (awang). Bambu  pada  mulangnya menjulur  menuju  langit  lalu  kemudian menunduk  memandang  bumi.Bundu  Ninik  riti  run hi  empo  juga  sekalian  menggambarkan  bahwa   manusia manggarai  adalah  makhluk  rohani (bambu yang  terarah  ke  langit)  serentak  makluk  jasmani  ( pada saatnya  juga akan   tunduk ke  bumi). Filosofi bambu: tengadah memandang  angkasa  lalu tunduk menatap  tanah. Suatu  gerakan  kembali  ke  asal, yang  rahanian  sekaligus  yang  jasmaniah.


(JPS 6 Januari 2014)


Keharmonisan dengan lingkungan  menjadi elemen  penting  daalam hidup orang  Manggarai. Makhluk  infra human (binatang  dan  tumbuhan)  harus dihargai  sebagaimana  manusia. Siapa yang menyengsarakan  binatang atau tumbuhan maka dia atau  merka  juga  akan disengsarakan. Kisah 2 orang cacat dan  seekor anjing menjelaskan  hal  ini. Dua orang cacat - orang butan  dan lumpuh -  yang  secara  tidak sengaja menyengsarakan  anjing  dengan  mengikat puntung  apipada  ekornya,  dibinasakan dan dihancurkan bersama  kampung dalam kawah lumpur panas Ulumbu. Legenda  ulumbu  ini mengajarkan  kepada  orang  Manggarai betapa pentingnya hidup toleran dengan  binatang.

Selain  kisah  Ulumbu, kisah lain yang mengungkapkan  pentingnya memelihara keutuhan lingkungan adalah Nunduk Watu  Paung. Kisah /  Nunduk Watu  Paung  mengajarkan  kepada manusia  Manggarai bahwa orang  perlu belajar  katakan  tidak  pada  keserakahanDalam kisah ini  orang   yang  serakah terhadap lingkungan - air  dan isinya  -  maka ia akan mendapat kutukan  berupa menjadi  batu.

Tentang  keserakahan  ini, kisah Melombong  bisa  dijadikan  pelajaran  akan  pentingnya menghormati binatang sebagai sesama  ciptaan Tuhan. Melombong, sang pemburu binatang   sangat  rakus. Dia  mengimpikan dapat daging binatang  yang  besar-besar.Bila  mendapat  binatang  yang kecil-kecilmakan  dia  membunuhnya namun tidak  dimakan, dibuang  begitu  saja. Sang penguasa  binatang  marah - Roh penjaga binatang -. Mereka  mematahkan dan membelok  arah kaki Melombong. Tapakan  kaki  Melombong  diubah   arahnya  ke  belakang  bukan  seperti  kaki  manusia pada  umumnya  yang  tapakannya  arahnya ke   depan.

Bukan  hanya terhadap  binatang  manusia  berlaku  pantas  tetapi juga  terhadap  tumbuh-tumbuhan. Karena  dari  tumbuh-tumbuhan  jugalah  manusia  bisa  mendapat  makanan  dan  zat  lain  untuk  hidup  terutama  Oksigen (O2). Siapa  yang  menyengsarakan  binatang / tumbuhan  atau  secara  tidak  sengaja melakukan  itu, maka  ia  akan  mendapat kesengsaraan  juga, misalnya  sakit  atau  penyakit  yang  tak  kunjung  sembuh-sembuh. Orang  Manggarai percaya  bahwa  sakit  yang tak  kunjung  sembuh sembuh mengisyaratkan bahwa ada binatang / tumbuhan yang  menderita lantaran  ulah  manusia, misalnya  menebang  pohon  di  mata  air  menimpa binatang  di  tempat  itu lalu binatang  itu menderita berkepanjangan. Situasi yang ada  pada  binatang  tiu  juga  yang  dialami  oleh  manusia. Konsep ini  dalam  Bahasa  Manggarai  disebut  rudak.

(JPS 7 Januari 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar