Jumat, 03 Januari 2014

EMPEDOCLES dan relevansinya dalam Kosmologi Manggarai

   

1.     Lingko  Pe’ang   -------- Empedocles
Lingko  adalah  tanah  ulayat  komunal. Tanah  memiliki   arti  yang  sangat  penting  bagi  orang  Manggarai. Ketika  seseorang dilahirkan saat  itu  juga  dia  menjadikan tanah  sebagai saudaranya. Mengapa? Karena  bagi orang Manggarai, ketika seseorang  dilahirkan, dia datang bersama yang  lain.  Ketika proses persalinan  terjadi,  ada dua  unsur  yang keluar  dari  rahim  ibu, yakni kae (kakak = mbau = plasenta / ari-ari) dan  ase (manusia).  Kae  langsung dikuburkan  ke  tanah. Ia langsung berinteraksi dan menyatu dengan tanah. Sedangkan  ase  disapih  dan  diasuh  oleh  ibu. Di sini, sejak kelahirannya, manusia Manggarai  sudah  bersaudara  dengan  tanah. Tanah  merupakan dasar  pijak kehidupan  orang  Manggarai. Tiada  tanah  tiada  kehidupan. Hampir  pasti  bahwa semua  orang  Manggarai  memiliki tanah. Suatu saat di akhir  hidup orang  Manggarai  akan  berjumpa  dan bersekutu  kembali dengan saudaranya, tanah.  Saking  pentingnya  tanah, orang  Manggarai  berusaha  sedemikan  rupa  untuk  memilikinya  dan  mencintainya.
Lingko    merupakan  bagian  yang  tak  terpisahkan  dari  5 unsur  konsmologi budaya  Manggaria.Kelima  unsur  itu  adalah: Gendang  one (Rumah Gendang) ,lingko  peang (uma  duat) , natas  bate  labar, compang bate  dari, wae  bate  teku.

Berkat  tanah (lingko)  manusia  memiliki  kehidupan  melalui  tumbuh-tumbuhan  dan tanaman  yang  datang  dari  tanah. Kisah  awal   kehidupan orang Manggarai  memperlihatkan  betapa manusia  dan  tanah  memiliki hubungan  yang   sangat  istimewa. Berkat penyatuan  manusia  dengan  tanah  maka  segala  jenis tumbuhan dan pohon  buah serta  sayuran    ada.  Segala   dimensi kehidupan orang  Manggarai  selalu  berkaitan   dengan  tanah. (Simak  Jilis  Verheijen, SVD dalam Manggarai dan Wujud Tertinggi p......; Maribeth Erb: The Manggaraians: A Guide to Traditional Lifestyles - Vanishing Culture of  the  World, p. 22-24).

Bagi orang Manggarai, tanah  merupakan  bagian  dari  dirinya. Gangguan terhadap tanah  adalah gangguan terhadap  hidupnya. Karena  itu  tak  heran bila orang Manggarai  mati-matian untuk mempertahankan sejengkal tanah miliknya  dari  ancaman, serobotan, rongrongan orang  lain.Hubungan  antara  tanah dan dirinya bersifat polos  nan  suci. Bila ada persoalan tanah tak  jarang  itu diselesaikan di tempat sengketa dengan  mengucapkan doa  adat - wada -  yang mana roh tanah / (Wujud Tertinggi)  sendiri  hadir menyelesaikan masalah ini. Pelibatan roh semesta ini  bernuansa  sakral karena  ini memiliki efek kepada orang yang sedang bersengketa. Bila salah satu salah, maka  akan diberikan  tanda  oleh  alam / roh semesta  sesuai  dengan  isi  doa  Wada  itu. Doa  sumpah  ini  tidak  bisa dipengaruhi  oleh kekuatan apapun, selain  kebenaran  dan kejujuran itu sendiri.  Daya  uang  dan  politik / pendidikan / sekolah  akan  luruh  bila tidak disertai kebenaran dan kejujuran.  Terbetik kisah di salah satu  kampung  di Rahong - Manggarai  perihal sengkarut  tanah  antara  orang  yang  jujur  dengan  orang yang  tidak jujur  hanya  karena keluarganya mengeyam pendidikan tinggi  dalam  hukum  positif. Sebut  saja  ibu A. Ia seorang  janda. Dia memiliki tanah. Dia  hidup dari tanah  itu. Pada setiap kesempatan  pada  hari Minggu  dia  berusaha ke Gereja. Dia rajin membaca Kitab Suci. Ada  Ibu  lain, Ibu B. Dia memiliki keluarga  yang sekolah  hukum hingga bergelar  Sarjana Hukum (SH). Saking  bangga  dengan keluarga dengan gelar SH, Ibu B semena-mena terhadap Ibu A.  Batas kebun  dia  pindahkan sesuka  hati. dia menyerobot tanah Ibu A. Ibu B yakin bahwa  gelar pendidikan hukum keluarganya memberikan rasa  aman dan  menang. Dia yakin  itu. Perkaralah mereka. Ibu B menghendaki penyelesaian sengketa tanah menggunakan hukum positif: laporkan ke polisi  lalu diselesaikan di lembaga pengadilan negara  berdasarkan  hukum positif. Ibu A  tidak setuju. Dia meminta agar diselesaikan secara adat lalu   dengan mendatangi  langsung tanah sengketa  di sana  dilakukan sumpah adat nan suci di atas  Kitab  Suci. Kalau memang  benar  harus  berani bersumpah di atas Kitab Suci. Tak perlu biaya perkara besar-besar. Tanah akan diberikan kepada Ibu B  bila  dia  berani sumpah / Wada  di  atas  Kitab  Suci bahwa  tapal batas  yang  ditatanya  benar  adanya. Ketika  diberikan  tantangan demikian, Ibu B keukeuh. Dia  enggan bersumpah di atas  Kitab Suci. Karena  dia keukeuh  maka petugas adat menancapkan  batas  sesuai kondisi sebenarnya, berdasarkan  rumusan  hukum  adat Manggarai, yakni tali / kayu dibentangkan dari  lodok (pusat)   hingga  sising (jari-jari). Ibu A  lega. Dia  mengandalkan kejujuran. Dia melihat bahwa  tanah itu bagian dari dirinya  dan  bersifat  suci  maka  kita  perlu hidup  jujur. Jangan mengatakan punya saya  bila memang  punya  orang ( neka  daku ngong  data). - (Inspirasi tombo de  Kraeng Bp......................./ Langke - Rahong - Manggarai, VMG - HI - Bekasi, 18 Pebruari 2014, pkl 22.00 - Du  poli ngaji te  latang  Kraeng  Lazarus   one  Sesa - Cibal  ata  rowa   18 Peb. 2014  one  Sesa).




(http://sailkomodo2013.nttprov.go.id/index.php/destinasi/2012-12-10-05-53-40/manggarai/173-lingko-cara
Sawah berbentuk lodok yang menyerupai sarang laba-laba ini hanya terdapat di Manggarai saja. Memiliki filosofis yang tersembunyi dibalik bentuknya, oleh nenek moyang masyarakat Manggarai dibagi dengan begitu unik. Zaman dahulu ketika warga kampung hendak membagi sebuah lingko, titik pusatnya ditandai dengan sebuah kayu sebesar paha orang dewasa yang disebut haju teno, dinamai seperti itu karena diambil dari kayu teno. Titik pusat inilah yang disebut lodok dan sering diadakan upacara adat. Saat musim tanam dan musim panen, warga mempersembahkan korban binatang berupa ayam jantan agar mendapat berkat dan bersyukur atas hasil kerja yang telah diperoleh.
Masyarakat Manggarai mengakui adanya Yang Ilahi, Tuhan Pencipta. Untuk menentukan besaran bagian tanah, ketua adat menentukan dengan ukuran jari tangannya pada Haju. Ada yang mendapat 1 jari ada yang dua jari sesuai pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan ketua adat. Ukuran jari tangan pada Haju selanjutnya ditarik hingga batas Lingko, itulah bagian tanah yang akan diterima seorang warga kampung adat tersebut. Salah satu sawah lodok yang sampai sekarang masih bertahan dengan bentuk seperti ini terletak di Kampung Cara, daerah Cancar, sekitar 12 km ke arah barat Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai dan di Lembor, Manggarai Barat.
Anda dapat menggunakan kendaraan pribadi atau rental dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Setelah menemukan Pasar Cancar, ada jalan masuk untuk menuju ke lokasi tersebut, yaitu sekitar 3 km.
Setelah mendaki tanjakan kecil , anda akan bertemu dengan penduduk setempat yang mengarahkan anda untuk masuk kerumah adat dan bertemu dengan Ketua Adat. Tua Adat akan membawa anda menuju perbukitan dimana lahan Lodok bisa terlihat sejauh mata memandang. Jika cuaca bagus, dari lokasi tersebut bisa terlihat belasan Lodok berbentuk lingkar-lingkar yang menyerupai jaring laba-laba.



Cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar